Sajak Petani
Misalkan lumbung padi
setia mananti
sampai musim panen tahun
ini, mungkin tak ada luka
di pematang dan
parit-parit irigasi
yang dipenuhi air mata
lalu, anak-anak akan
menabuh rindu
sambil bermain
layang-layang
sepanjang siang
Tapi cangkul terlanjur
berkarat
sebab beras yang dikirim
dari desa tetangga
telah mengeringkan
sawah-sawah
dan mematikan kerbau,
serta menggenangi
lambung petani
hingga menyisakan risau
Dari balik gubuknya,
petani bermimpi
tuan memberikan replika
kemakmuran
hanya replika dari batu,
atau kayu
itu pun hanya mimpi,
seperti sepotong lukisan
gugusan pulau-pulau
yang hijau, yang subur
tapi dihuni hama-hama
yang bersarang
di hati tuan
Barangkali di dapur,
istrinya sedang menggerus nasib
sambil menanak pasir
yang selalu tuan taburkan
di sawah mereka.
sehingga tumbuh menjadi dendam
atau kembang kemiskinan
2006
Notasi Hujan
Dari balik bukit
meranum, hujan turun
mencumbui air mata
tergenang
di bangku taman dan
sungai sepanjang boulevard
yang tiba-tiba berubah
asin,
mengalir ke papan-papan
reklame
sebelum bermuara di
halte
Tempiasnya merasuk ke
dalam lambung
pengemis yang setia
menunggui stasiun tua,
dan setiap gerbong
kereta yang menjanjikan puisi
di malam-malam asing
ketika dingin dan hening
Lampu-lampu hinggap di
kepala, anak-anak
yang mengamen sambil
menyalakan lilin
di jantungnya. tanpa
korek api
tanpa cahaya, tanpa
nenek seperti dalam cerita andersen
yang mengajak pergi ke
negeri yang hangat.
sebab salju selalu
mencair di awal januari
dan menggenangi kota ini
Lalu plaza-plaza semakin
asing
seperti onggokan sampah
yang tak pernah kering
tergerus roda kereta dan
hujan
setiap senja,
setiap makan malam
selalu tertunda
2006
Ensiklopedi
Aku masih setia mengumpulkan
cintamu yang tercampak di kanal-kanal
dengan perahuku
sebelum memuntahkan semua mimpi kita
tentang pulau, gunung-gunung
dan penjara
Desah nafasmu berurutan
seperti abjad di halaman-halaman
yang membekas sepanjang tubuhku
sebelum bedil menyalak
dari pucuk-pucuk kamboja
yang berakar di atas pusara dan wangi dupa
Kini aroma pasir mulai melucuti
almanak dan jarum kompas
di meja, tempat kau terbiasa menancapkan sauh
sambil menyeduh puisi dan cerita
setelah jam duabelas malam
Lain kali, aku akan menyimpan cintamu
di balik lipatan buku-buku
dan kususun berdasarkan catatan
yang terserak sejak dari hulu matamu
hingga ke dasar hatimu yang galau
2005
Buitenzorg
Masih membekas jejak tiga puluh dua ekor kuda
membelah batavia, dengan pecut di kepala
malam dimeriahkan wangi dupa
dan bulan mengambang sepanjang ciliwung
seperti sekerat roti di stasiun
Mungkin, para pengemis
terus mengutuki daendels yang tertawan
bersama ratusan rusa di istana
sambil sesekali bersiul menyanyikan
dua komposisi vivaldi yang tercemar
bubuk mesiu
Beberapa serdadu,
setia menunggui bintang jatuh satu-satu
sebelum disambar parade burung hantu
yang bersarang di taman kencana, kebun raya
dan setiap celah rambut klimis, louis
Malam semakin dingin
dua pertiga garnizun kompeni mengepung ranjangku
dan bedil menyalak. darah membanjiri buku sejarah
sepanjang seribu halaman
di atas dua belas ribu potong kepala
2005
Lalu Lambung Pun Membusung
:nyanyian kepedihan
Di negeri kami, masih ada sedu sedan. liur terkubur
anak-anak pun lahir dari ketuban kemiskinan. ketika
rahim
terus digali dan dialirkan menjadi air mata, remuk
redam.
lalu mereka melagukan gurindam kelam:
“abah, kapan kita harus berhenti mengungsi di
kampung sendiri?
sementara darah kita terus
ditambang,
dan dibakar. sampai tanah kita hanya menyisakan
nanah!”
Akankah kita mati oleh dendam?
ketika di ujung tanjung, aroma laut terus membusung
dan di ladang-ladang, masa depan semakin terbuang
dalam sujud keriput mereka berdoa dengan bahasa
luka.
sambil mengepalkan tangan ke udara: kami tak akan
kalah!
sampai semua mata terbuka, melihat jazirah luka
di atas peta(ka) negeri kita
Nun, puisiku yang berkarat masih saja melihat
sejarah tersayat
almanak dipermainkan nasib. abjad-abjad usang
merenung, di sudut-sudut kampung
lalu lambung pun ikut membusung. menciptakan cerita
murung
ah, sampai kapan burung-burung memahat rotasi
dalam lingkaran sunyi sepanjang hari?
Gubuk-gubuk kayu: bayi-bayi layu
cenderamata sepanjang masa. sebait puisi bisu
adalah mimpi penyair dalam kantuk yang menusuk
masih adakah malam pertama? sebelum kusemai kembali
rahim melayu yang hijau.
“sungguh aku merindukan bujang dara menari di
buritan
semerbak ombak mewangikan lautan
dan gerak lancang mengikuti irama kompang”
2005
Perahu Kita Masih Bersayap
Dari rahim puisi telah kuterima kabar. retakan luka menganga di negeri yang
terus bergetar dan berdebar
kueja berbait-bait airmata yang menjelma sungai-sungai
seperti diksi yang mengalir
setiap kita zikirkan puisi dalam sunyi paling sunyi
“Sungguh, duka serambi mekkah mencipta cemas
seiring lengking pilu ribuan camar di langit nias”
Dan anak-anak menangis di bawah gerimis,
sambil terus mengeja warna-warna masa depan
yang terlipat di balik reruntuhan puing-puing masa silam
Tapi detak jam belum berhenti, kawan
meskipun waktu terus menggeliat
dan menyayat nadi di musim yang diawali dengan ziarah air bah,
yang membabat rumah-rumah
mengurung kampung-kampung
dan merajam setiap peradaban
hingga timbul tenggelam seperti hikayat negeri nuh
yang sering kita baca sehabis subuh melepas sauh
Perahu kita belum tenggelam, inong
dalam lingkaran gelombang yang memabukkan.
dan sayap-sayap doa masih membentang serupa kasidah panjang
yang mengiringi setiap gerak kita. saat mengayuh kampung-kampung pulau-pulau
sambil menarikan seudati dan melompati batu-batu.
“Tuhan, kami masih ingin berlayar beribu tahun lagi….!!!”
Perahu kita masih bersayap, abah
meskipun peta negeri terkoyak
lusuh ditimbun patahan bumi amuk laut
“Teruslah kayuh tanah kita, nak!
masih ada gelombang asa di balik petaka”
kita bangun lagi rumah-rumah, meunasah
di atas perahu, dengan tiang-tiang seteguh batu karang
kita lukis masa depan
dengan warna pelangi, sepanjang semenanjung dan pantai
sambil menyulam harapan
dari sabang sampai gunungsitoli
lalu kita alirkan perigi abadi
2005
Ke Muara Mengayuh Cerita
:solilokui riau
Dengan
bahasa sungai aku bekukan dingin
di
langit gerimis masih saja menikam
riak
ombak yang semakin legam
kepada
cuaca kukirim kabar,
akankah
datang seorang kalifah, membelah lautan gundah
sepanjang
siang sepanjang malam
saat
ikan-ikan menyusu pada limbah
sambil
mengayuh siripnya yang patah
anak-anak
sungai memainkan lumpur kali sebelum iramanya mendangkalkan nyali
dan
catatan harian masih berisi
daftar
musim banjir, musim kerontang yang meradang
jembatan-jembatan
tak sampai ke seberang
tersangkut
bangkai kapal kayu yang karam dihempas
waktu
(Nun, dalam
cerita lama. nyala api masih saja membakar peta
dan
jerebu selalu membuat kelabu. mata melayu)
Di
dermaga aku singgah, melepas lelah
kuseduh
sejenak peluh yang bertamasya di ujung sauh
rumah-rumah
panggung
tetap
tabah menahan gerusan abrasi
dan
ziarah air bah
yang
menjarah setiap jengkal tanah
dan
perahu tongkang menyalak
membawa
balak yang terserak
dimainkan
gelombang
sebelum
melaju melebihi kecepatan sampan
(Tubuh atan
telah meringkih. ketika kampungnya dibingkai pipa
namun
irama kemiskinan masih serupa tetabuhan derita)
Lalu,
ke muara kumaknai kata-kata
seperti
arus yang kukayuh menuju hulu
diam
dan membisu
sedang
dayung masih terkurung murung di tubir sungai
memainkan
bahasa rerumputan
di
ranjang musim semi, musim birahi
“Telah
kusetubuhi setiap belantara dan sungai
namun
selalu saja melahirkan asap dan limbah industri
yang
dibuang seperti bayi-bayi hasil onani!”
2005
Setelah Kabut Membingkai
Mimpi Kita
Kita masih belum selesai mengeja silsilah matahari
atau membingkai peta negeri kita
dengan pipa-pipa yang mengalirkan airmata sepanjang hari
dada kita masih nyeri,
sebab api pembakaran di lahan-lahan tidur terus mendengkur
menciptakan irama dan tanda baca yang menyala
kabut tumbuh subur
dan sajak-sajak tetap dibacakan dengan suara serak
sampai tulang belulang dan sisa keringat nyaris terkubur
kata-kata terserak
menenggelamkan setiap adzan yang kita kumandangkan
dan menyemai kemiskinan yang terus mereka hidangkan
Aku lupa menulis sajak cinta di pagi yang jenaka
anak-anak ke sekolah
mengayuh peluru yang bersarang di hatinya
meskipun gelisah,
namun masih sempat menyeruput segelas kopi
sambil menggambar sketsa negeri
dalam bidang putih atau warna warni
“Kita selalu dihantui rupa dan asal muasal
mendangkalkan makna persaudaraan yang kekal”
Biarkanlah darah menyatu, dalam bejana rindu
toh, aroma cinta tak akan layu
meskipun gelombang dan badai terus menghempas waktu
kita akan menjadi burung yang tetap tumbuh
bersama di rimba melayu
Di halaman rumah
orang-orang masih setia merangkai setiap lengan dan jemari
bagai rumput-rumput yang menari bersama angin
seperti burung-burung
yang berlayar dengan sejuknya gelombang
dan cakrawala masih menyuguhkan senja
sebelum warna bulan menerangi malam kita yang buta
lalu kita mengaramkan cerita duka
dan petaka yang terus melanda
Kabut yang bermukim di malam kita
terus saja mengintai ranjang
yang dipahat seperti arca
membingkai setiap resah
resah puisi
dan membangkitkan aliran darah yang mengendap
dalam senyap
“Ingin kusibakkan kabut dari mimpi yang keriput
sebab segelas embun masih cukup untuk membasuh sujud kita
dan selembar sajak tetap saja menjadi bermakna”
2005
Di Gerbang Kota
Lengkung bukit masih menandai setiap jejak yang ditinggalkan pengelana
setelah semak belukar tumbuh menjadi bangunan-bangunan kekar
dan aroma kopi tetap mengepul di setiap perbatasan
sambil mengeja irama air yang mengalir dari bibir sungai
menguji kesetiaan dari pagi hingga petang
ketika orang-orang beranjak pulang
Di tepi-tepi jalan pepohonan tumbuh bersama detak nadi
sebuah kota yang merangkak pelan-pelan
menyimpan warna kehidupan yang mulai mekar
dan menjulang seperti sebuah mercusuar
lalu lampu-lampu mulai menghiasi rumah-rumah
yang berbaris di setiap jengkal tanah
Di depan gerbang selembar peta telah terbuka
dan membentang dari utara hingga selatan
sambil menandai setiap perbatasan
lalu singgah di alun-alun
untuk menanam rindu di bangku-bangku taman
Musim ini angin masih berhembus
mengalirkan soneta daun-daun hingga ke lembah
melukiskan rahasia alam yang tak pernah tenggelam
ditelan sejarah dari tahun ke tahun
sebab keindahan kota tetap mengendap di rahimnya
dan mekar ibarat legenda kampung-kampung
yang tumbuh menjadi gedung-gedung
2005
Maka di Depan Kebesaran
Tuhan
Kita Cuma Debu*
Ketika bangun pagi, aku terkejut, kata-kata telah tergeletak di sisi
ranjang
semalaman tak sempat bersulang, apalagi berdendang
di sepanjang jalan sambil meniup terompet menyakitkan;
jiwaku memar melihat jasad terkapar
berguguran dalam gelombang sembilan skala ritcher
suatu pagi berselimut badai
di ujung tahun berwajah murung
Ah, lebih baik mabuk zikir sampai pagi
sambil menulis catatan duka di depan serambi
bukankah kita cuma debu? setiap saat dihempas waktu
Tanah masih basah, ketika petuah itu singgah
dan kelopak mata terasa berkabut
sebab sisa gerimis seperti mengabarkan maut
bukankah malaikat menandai kiamat
dengan lengking terompet?
dan rahasia Tuhan, terselip di pusat gempa
sepanjang samudera hindia yang membelah katulistiwa
juga jiwa kita
Alangkah kecilnya kita, ketika alam porak poranda
dan tak sempat sujud berdoa
apalagi mengeja setiap dosa yang kita ciptakan
sepanjang pagi hingga malam
sebab kita cuma debu, di mata Tuhan
2005
*penggalan sms dari Hasan Junus (alm).
2 comments
Karya siapa kak ? Izin bacain
Karya siapa kak ? Izin bacain
Post a Comment