Loktong
Cerpen M Badri
Masih ada gurat kepedihan di wajahnya yang kuning pucat. Seperti bulan langsat yang berlayar di depan jendela. Melewati gelombang awan yang hitam, berarak menuju utara. Ia teringat dusun di tepi Sungai Yan Tse Kiang yang ditinggalkannya puluhan tahun lalu, dengan kapal dagang yang menyelundup di gelap malam. Selalu ada kenangan yang tak pernah hilang. Angin dingin membisikkan irama terompet penjual mie bakso keliling, sate padang, atau sumpah serapah pemabuk yang tersungkur di tepi jalan. Bau asap rokok, jelaga hio, beradu dengan aroma alkohol kelas bawah yang berserakan di meja. Sisa kecantikan di wajahnya membentuk relief yang hampir sama dengan usia trotoar di bawah jendela.
Ia mendengarkan lagu ngilu perempuan belia di sudut
jalan, seperti boneka plastik yang tak henti-henti mengunyah sabun2.
Selalu ada cerita, seperti bunga di pot-pot yang dikerdilkan sejarah. Di
pemukiman itu, dia tumbuh menjadi perempuan yang nilainya tergantung naik
turunnya mata uang. Dibayangkannya seorang pangeran, seperti dalam legenda
Dinasti Ming, yang datang dengan pasukan berkuda, mengambilnya dari kastil yang
pengap. Tapi di pemukiman yang kumuh ini terlalu banyak pangeran yang datang,
membawa cinta dan nafsu kuda. Juga kereta kencana yang terus mendesah setiap
melihat bulan memerah di balkon.
Ia tersenyum kecut. “Aku hanya gadis dusun,” bisiknya.
“Perjalanan panjang telah membuatku menjadi pesakitan, di ranjang kenikmatan.
Aku terus meratapi mimpi yang datang setiap malam. Lampu-lampu diskotek,
musik-musik cafe yang menusuk, parade penari telanjang. Mungkin suatu saat aku
akan menjadi gumpalan salju yang beku, saat nyala lampion singgah di menara
usiaku. Sampai seorang penyapu jalan menemukanku tergeletak penuh lalat di
dalam got, dan tak seorangpun mengenaliku.” Ia melemparkan puntung rokok kretek
filter yang terbakar sampai ke pangkal, seperti meteor jatuh dari langit
Nanking yang sunyi.
Di Nanking, ia pernah lahir sebagai gadis lugu dan pemalu. Bekerja di pabrik pembuat mie yang cukup laku. Gadis tanggung, pipinya seperti bunga puding, tubuh semampai yang dibalut kulit seputih salju. Rambutnya bergelombang lembut bagai aliran Sungai Yan Tse Kiang yang dingin. Hingga datang suatu malam, lima lelaki bercadar hitam menculiknya dari rumah kecil, yang setengahnya mengambang di sungai. Cukup kasar, sampai tirai-tirai bambu berserakan di lantai, berbaur dengan darah ayahnya, setelah tertebas samurai. Irama kecapi dan bunyi lonceng gereja, kemudian menjadi nyanyian luka yang mengabadi.
Kapal dagang tua telah menunggu di pelabuhan. Menyatu
dengan rinai hujan dan cahaya bulan yang mengambang dimainkan gelombang. Di
dalamnya telah menunggu seratusan gadis sebaya dengannya, tak ada percakapan,
hanya mata mereka yang menatap hampa. Ia lalu dimasukkan ke dalam dek,
bergabung dengan mereka, juga beberapa lelaki yang terus siaga, menghunus
pedang dan senapan. “Sepertinya nasib kami telah ditentukan jarum kompas, arah
mata angin, dan kemudi kapal yang terus menembus badai dan hempasan gelombang.”
Berbulan-bulan terombang-ambing di Laut Cina Selatan.
Sebelum akhirnya singgah sebentar di Teluk Tonkin, dan merapat di pelabuhan Ha
Tinh, Vietnam. Ia bertemu Nguyen, gadis berambut lurus yang juga diculik dari
dusunnya, bernasib seperti dirinya. Kapal terus saja mengikuti irama gelombang,
menembus luasnya samudera yang tak pernah ia bayangkan, kecuali dalam lukisan
bulu yang terpajang di dinding kuil. “Ya, kami kemudian terdampar di pulau ini.
Masih terasa asap industri dan kapal-kapal tanker yang melemparkan jangkar
berkarat di dasar kelamin kami.”
***
Begitulah, akhirnya para penculik itu menjual
kelaminnya setiap ada kapal yang merapat di dermaga. Berbagai warna kulit dan
aroma keringat akhirnya ia rasakan, seperti mata tombak yang terus merajam; ia
hidangkan seonggok daging bernanah dan ketuban berisi peluru. Suatu ketika
mungkin akan menjelma cacing dan kecoa yang selalu terekam di surat kabar. Dan
ia akan tertawa mengutuki diri, sambil menelan pil pahit dari langit, yang ia
percayai kiriman Dewi Kwan Im. Abad gelap telah pergi?
Di pemukiman itu, wangi dupa dan asap ganja menandai
pergantian pagi dan petang. Serupa jarum jam dan detak revolusi yang begitu
meriah, karnaval badut-badut bertaring dan pawai lendir di ranjang-ranjang
reformasi belum selesai menelan kekalahan. Ia tak pernah mengaku kalah; sampai
seribu lelaki meregang nyawa di ujung lidahnya yang beracun dendam. Semak
belukar yang tumbuh di rahimnya mungkin akan menebarkan duri, lalu mengalirkan
ketuban dengan suhu melebihi lahar dari gunung-gunung berapi.
Parade penari telanjang di atas ring tinju, tubuhnya
meliuk seperti ular betina sedang birahi. Dan mata lelaki, mungkin juga
suami-suami nyonya, sedang menelan ludah ke dalam kerongkongannya yang sepengap
cerobong pabrik. Limbah industri segera meleleh dari mulutnya yang menjelma
kelamin ganda. Maka, segera saja radio-radio dan televisi menyiarkan
perkembangan virus mematikan yang belum sempat dikarantika di toilet dan kamar
mandi kompleks prostitusi.
Sekali lagi ia akan tertawa; melepaskan dendam sebelum
ajalnya sendiri tercerabut dari tulang-tulang ringkih, mulut berbusa, dan
bereinkarnasi menjadi anjing gila atau serigala. Kemudian setiap malam purnama,
saat bulan bugil bulat, dia akan melolong sepanjang trotoar mengikuti awan yang
berarak menuju utara. Berharap langit Nanking yang dingin akan membawanya
menyelami Sungai Yan Tse Kiang, sampai ke hulu masa kanaknya. Dan ia akan
bersujud di kuil sampai jelaga hio yang bersimpuh di telapak kaki Dewi Kwan Im,
satu persatu mulai membatu.
Sungguh ia tak pernah mengerti, apalagi memahami peribahasa serangga yang jatuh di kepalanya. Kunang-kunang tak pernah lagi meninggalkan cahaya ketika awan menutupi bintang-bintang yang mengelupas dan jatuh dari langit. Semangkuk sop wortel dan denting kecapi, tinggal kenangan masa lalu yang tanggal dari usia ibunya. Ia selalu ingin mengubur senja ke dalam lambungnya yang dipenuhi rama-rama, kasino, dan jutaan sperma. Lalu segera membangun sebuah monumen di antara payudaranya yang mulai mengendur, seperti sepasang gedung angkuh yang runtuh di tengah kota yang jenaka.
“Dan kita bercinta tanpa batuk yang tersimpan,
membiarkan gumpal darah di gelas itu menghijau. Dan engkau bertanya mengapa
udara berserbuk di antara kita?3 Kubenamkan kepalamu yang
bertanduk ke dalam kelaminku, sayang. Kau akan menemukan sejuknya ketuban yang
tak pernah engkau rasakan, sebab engkau lahir dari zaman tabung-tabung
sintetis. Barangkali juga engkau spesies hasil kloning dengan iblis!”
Ia masih memandang bulan yang rebah di balik Holiday
Nite Club. Puluhan kelelawar melengking nyaring, sambil mengepakkan
sayapnya, menciptakan irama kematian. Tak ada burung hantu di kota ini. Hanya
puluhan hidung belang yang setiap akhir pekan pelesiran menyeberangi Selat
Singapura, dengan kapal-kapal feri4. Di sini harga syahwat terlalu
murah untuk ditukar dengan keringat sehari, di negeri tetangga. Atau
keberuntungan dari enam mata dadu yang terus menggelinding seperti bolarolet,
mickey mouse dan togel para pribumi.
Lantai lima rumah susun tempatnya tinggal mulai mengelupas catnya. Tumpukan batu bata terlihat menonjol di antara puing-puing botol bir, sepatu bot, kelamin karet, sabu-sabu, dan puluhan kondom menghiasi dinding yang dipenuhi lukisan Darwin sedang bersetubuh dengan kera. Sepasang cermin terlihat ganjil memantulkan wajahnya. Sebuah wajah kanak-kanak tersenyum lucu, melumat kembang gula sambil mengamati atraksi barongsai di alun-alun kota.
Dia menghitung usia, seperti menghitung jarak dari
lantai lima sampai paving block di atas tanah becek, juga
kecepatan angin yang akan menghantarkannya pada dermaga terakhir. Jarum kompas,
gemuruh motor kapal, dan erangan kepedihan; di sini tak ada lelaki bertopeng
dan pedang. Suara-suara gadis tanggung merintih, irama kecapi dan tirai bambu
terkoyak mulai menyibak jarak yang teramat tinggi. Adakah Dewi Kwan Im di bawah
sana? Ia ingin segera mencium pipinya yang ranum.
Apa berita malam ini? Sepertinya siaran televisi ikut
memenggal nyalinya. Lima botol whiskey dan secangkir anggur
merah mulai meyusup ke dalam sel-sel darah, menyalakan lampion yang mulai redup
di jantungnya. Ia merindukan Laut Cina Selatan yang jalang. Menari di atas
gelombang, asyik bukan? Ya, dia mencoba mengingat jalan pulang sambil
menghitung uban di atas kepalanya, pulau-pulau di tubuhnya, dan tato naga yang
melingkar dari bahu sampai ke pusar.
“Di atas tubuhku, ribuan kapal telah menancapkan sauh!
Seperti ladang-ladang pembantaian, mereka memancung kelaminnya sendiri. Banyak
bendera penuh warna berkibar dan terbakar, bedil menyalak dan para pecandu
tersungkur. Sebab aku telah meniupkan racun di lehernya yang penuh liang luka;
perlahan sambil menikmati dendam.”
Ia memungut perih di jendela. Seperti bunga-bunga
plastik yang mulai dipenuhi debu. Di bawah, para peronda masih setia dengan
rokok kretek yang membatu. Tak ada percakapan yang lebih indah, selain desah
nafas yang merajam di balik gorden. Mungkin bom telah meledak di dalam
kepalanya, yang dipenuhi ulat-ulat dan virus mematikan. Ia merasakan desir
angin yang lembut menuju utara.
Bulan mulai meredup, dan langit jatuh dari ketinggian
maya. Dia menghitung kerikil yang mengendap di dalam ginjalnya. Cukupkah untuk
membangun patung Dewi Kwan Im yang jelita? Di tubuhnya yang mulai menua. Ia
merasa semakin dekat dengan Sungai Yan Tse Kiang yang lembut, juga langit
Nanking yang dipenuhi semak belukar dan kelelawar. Tiba-tiba ia merasa sedang
terlelap di balai-balai bambu rumahnya. Setelah membunuh seribu lelaki,
dengan racun yang berpusat di kelaminnya.***
Catatan:
1 Loktong yang berarti pelacur,
dari catatan Hasan Junus di rubrik Rampai, Riau Pos, Minggu, 28
November 2004. Esei sastra yang menceritakan tentang penculikan ratusan gadis
tanggung oleh sindikat pelaku kriminal di daratan Cina, untuk dijadikan pelacur
di beberapa negara. Konon, mengutip dari tulisan di majalah TIME berjudul
“The Sky is Falling”, dampak pelacuran tersebut ikut meningkatkan jumlah
perempuan bunuh diri di Cina. Menurut TIME, Cina tercatat sebagai
satu-satunya negeri di dunia yang jumlah pembunuhan diri lebih banyak perempuan
dibanding lelaki. Esei tersebut juga mengilhami penulisan cerpen ini.
2 Dari cerpen Triyanto
Triwikromo “Pelayaran Air Mata”, Koran Tempo, Minggu, 16 Oktober
2005.
3 Bait kedua sajak Goenawan
Mohamad “Di Kota Itu, Kata Orang, Gerimis Telah Jadi Logam”, dari buku Goenawan
Mohamad: Sajak-sajak Lengkap 1961-2001, Metafor Publishing, 2001.
4 Setiap akhir pekan biasanya
para lelaki hidung belang dari Singapura melakukan pelesiran ke beberapa
lokalisasi yang ada di Batam.
No comments
Post a Comment