Di Antara Kabut dan Badai
Kabut beriring di lereng
gunung
Menari menuju lembah
Matahari masih tampak
murung
Wajahnya pucat dan gelisah
Wajahnya pucat dan gelisah
Gerimis tidak menghalangi rencana perjalanan kami melewati liburan di
wilayah Puncak, Jawa Barat. Bayangan udara dingin, jalan licin dan berkabut
kalah oleh aroma jagung bakar, ayam bakar dan hijau lanskap alam yang
membentang sepanjang mata memandang. Barangkali ini liburan terakhir kami,
mahasiswa Magister Komunikasi Pembangunan IPB angkatan 2005, yang sebagian
sudah mulai meninggalkan kampus. Liburan bersama menjadi sangat berharga di
tengah kesibukan dengan berbagai aktivitas dan rutinitas yang cukup membelenggu.
Sebenarnya liburan ke Puncak adalah alternatif kedua, setelah rencana ke
Kepulauan Seribu terhalang oleh gelombang pasang dan badai tropis. Tapi itu
tidak masalah, sebab esensinya adalah kumpul dan tertawa bersama: melepas
suntuk karena tesis yang belum selesai dan sederet cerita yang mewarnai studi.
Untungnya saya masih bisa menikmati liburan ini, sebab beberapa hari sebelumnya
sudah ujian akhir dan lulus. Namun beberapa teman? Ah, lupakan sejenak urusan
kampus! Liburan hanya untuk senang-senang dan melegakan pikiran.
Jadilah saya, Pak Ponti (saat ini sudah pulang Pontianak dengan
MSi di belakang namanya), Alif, Haris, Firmanto, Rizka, Selly, Muslim, Ikhsan,
dan si kecil Nabilah menembus jalanan macet menuju Puncak. Perlengkapan barbeque sudah menumpuk di bagasi. Tunggu apa lagi?
Akhirnya roda kendaraan perlahan-lahan menanjak di tengah hujan, kabut dan
macet. Kami berhenti sejenak di Masjid At Ta’awun untuk menunaikan sholat
zhuhur, setelah sebelumnya menghabiskan segelas coklat panas untuk menghangatkan
tubuh. Cuaca memang tidak terduga. Begitu kami mulai memasuki Cipanas ternyata
cuaca di sana lumayan panas.
Kontras dengan sisi Puncak yang masuk wilayah Bogor. Agaknya julukan kota hujan masih berlaku di sana.
Jalan sempit, berliku dan terjal
menghantarkan kami menuju lereng Gunung Gede - Pangrango. Tujuannya ke Kawasan
Agropolitan yang letaknya persis di lereng gunung. Selly dan Ikhsan yang
sebelumnya pernah melakukan penelitian di sana segera memesan
satu vila di tengah kebun sayur yang hijau, di lereng gunung yang
eksotis. Dari sana kami bisa melihat lekuk gunung dengan jelas, juga
indahnya lembah yang dipenuhi sawah dan rumah.
Setelah istirahat sejenak, kami kemudian
menelusuri jalan setapak. Menyapa petani sayuran yang sedang panen. Beragam
komoditi sayuran di tanam di sana. Ada juga perkebunan bunga
yang menambah semerbak perjalanan. Aroma pedesaan menyegarkan nafas kami yang
sebelumnya sesak oleh polusi. Menjelang senja, kabut mulai turun diiringi
gerimis yang sekilas mirip salju. Menyelimuti tubuh kami dengan belaiannya yang
lembut, khas alam pegunungan.
Untung segera sampai vila. Kalau
tidak, barangkali kami terjebak di gazebo tepi jurang tempat kami menikmati
pemandangan alam. Padahal jauhnya, sekitar 500 meter dari vila. Tidak
terbayang bagaimana rasanya terjebak di bawah hujan dan kabut dengan udara
dingin selama berjam-jam. Apalagi si kecil Nabilah, kasian sekali dia kalau itu
sampai terjadi.
Tak ada yang mandi sore hari! Dinginya
udara dan air pegunungan cukup menjadi alasan. Malam pun merambat
perlahan-lahan, sehingga lampu-lampu di lembah mulai terlihat seperti ribuan
kunang-kunang. Perut mulai keroncongan. Beberapa ekor ayam dan sekarung jarung
sudah menunggu. Maka Ikhsan sang kepala suku segera menyiapkan alat pemanggang
di depan vila. Namun karena angin terlalu kencang, acara bakar-bakar
terpaksa dilakukan di dapur vila.
Ayam bakar, sate ayam dan jagung bakar
cukup untuk menenangkan perut. Rasanya pun tidak kalah dengan
buatan warung makan di sekitar kampus. Malah terasa lebih nikmat, apa karena
dingin ya? Entahlah, yang jelas makanan itu tak tersisa. Segelas kopi
melengkapi kehangatan suasana malam itu. Suara gitar menambah suasana menjadi
meriah, mengalahkan desahan angin yang bergesekan dengan dedaunan.
Di lembah, kembang api beberapa kali
memercik ke angkasa. Menebar pesona di antara lampu-lampu. Kami melihat itu,
sambil mendendangkan lagu-lagu yang membuat hanyut pada suasana riang gembira.
Sampai gerimis tiba dan memaksa kami kembali ke vila. Hasrat ingin bermain
domino, tapi lupa membawa kartunya. Warung-warung sudah tutup. Terpaksa kami
menjemput kantuk dengan bercanda: haha-hihi.
Waktu tidur pun tiba. Tapi tidak
berlangsung lama, karena teriakan angin segera membangunkan kami. Malam itu
hujan badai membuat risau, suaranya mendesau. Membuat cemas, sebab akhir-akhir
ini bencana terjadi di mana-mana. Kami takut vila kayu itu tidak
terlalu kuat menahan terjangan badai, lalu roboh. Juga lereng gunung yang
gundul itu bila tiba-tiba longsor dan membungkus tubuh kami. Tak ada yang tidur
malam itu, sampai menjelang pagi ketika angin mulai tenang: dan kami pun
senang, ternyata Tuhan masih melindungi kami.
Nasi goreng, jagu bakar dan segelas kopi
menyambut pagi kami dengan hangat. Sebab matahari sampai tengah hari tak juga
menyapa. Kalah oleh kabut yang menyelimuti gunung. Gerimis turun berkali-kali,
menjebak kami di dalam vila. Sebab tak bisa kemana-mana, bayangan indahnya
sunrise dari lereng gunung hilang sudah. Menjelang siang, kami pun pulang… (*)
1 comment
Aduh ayam bakarnya.... jadi lapar nih, O..O kiranya aku puasa, terpaksalah nunggu bedug nanti, selamat berkarya mas. salam
Post a Comment