Politik Media dalam Pemilukada
PEMILIHAN Umum Kepala Daerah (Pemilukada) tak hanya diramaikan persaingan antarcalon kepala daerah, tapi juga diwarnai persaingan politik media. Sebab kebebasan berpartai politik dan kebebasan pers yang lahir sejak era reformasi, menyuburkan tumbuhnya media partisan. Sehingga sebagian media pun ikut larut dalam politik tidak sehat. Hal tersebut tentunya kontraproduktif dengan makna kebebasan pers itu sendiri.
Kebebasan pers selain berarti bebas dalam pemberitaan juga dapat dimaknai dengan kebebasan dari belenggu kepentingan. Ketika pers masih bersikap partisan dan mengedepankan kepentingan kelompok tertentu dibandingkan kepentingan informasi publik, maka kemerdekaan publik untuk mendapatkan informasi yang independen akan terenggut. Dalam kondisi demikian kebebasan pers hanyalah sebatas realitas semu.
Hal ini memang terjadi di manapun, bahkan di negara yang sejak lama memberi kebebasan kepada pers, seperti Amerika Serikat (AS). Faktanya jelas terlihat pada Pemilu AS 2008 lalu. Banyak media terpecah menjadi dua kubu, masing-masing bersikap cenderung partisan kepada partai dan kandidat presiden yang didukungnya. Perang politik media pun mewarnai hajatan politik di negara itu.
Politik media merupakan wujud dari politik redaksional setiap media dalam menyikapi momentum tertentu. Menjadi ironis memang ketika media yang dituntut independensinya untuk memberikan informasi yang benar dan berimbang tanpa keberpihakan kepada kelompok atau golongan tertentu malah terjebak dalam politik praktis. Akibatnya banyak media yang mengedepankan kepentingan kelompok yang dibelanya, tanpa dilandasi konsep kerja jurnalistik berdasarkan fakta dan makna.
Ketika media menjadi partisan, sedikit kesalahan kelompok yang tidak sepaham akan diberitakan dengan bombastis. Sedangkan kesalahan besar pada kelompoknya akan ditutup-tutupi. Sehingga muncul sentimen tertentu yang berpotensi memicu konflik. Pada akhirnya masyarakat akan dibanjiri informasi-informasi yang sarat dengan kepentingan kelompok. Sehingga fungsi media tak lebih dari hiburan ”sandiwara” politik semata. Menihilkan fungsinya sebagai sumber informasi yang kredibel, kontrol sosial dan pendidikan politik yang sehat.
Kondisi ini sepertinya membenarkan pendapat Sudibyo (2006) yang menyebut, media sebagai instrumen ideologi, melalui mana satu kelompok menyebarkan pengaruh dan dominasinya kepada kelompok lain. Media bukanlah ranah yang netral di mana berbagai kepentingan dan pemaknaan dari berbagai kelompok akan mendapat perlakukan yang seimbang. Media justru bisa menjadi subjek yang mengkonstruksi realitas berdasarkan penafsiran dan definisinya sendiri untuk disebarkan kepada khalayak.
Dalam pandangan penulis, setidaknya ada lima bentuk politik media yang biasanya muncul dalam memberitakan Pemilukada. Pertama, visi dan misi calon kepala daerah yang didukungnya akan menjadi cetak biru politik redaksional. Kedua, pilihan fakta sosial sebagai bahan pemberitaan akan bertumpu pada fakta yang dianggap menguntungkan calon kepala daerah yang didukungnya. Ketiga, menonjolkan narasumber yang mendukung orientasi politik calon kepala daerah yang didukungnya. Keempat, pilihan angle berita yang berpihak pada calon kepala daerah yang didukungnya. Kelima, dominasi pemberitaan positif calon kepala daerah yang didukungnya dibanding kandidat lainnya.
Profesionalisme Media
Dalam berbagai literatur tentang kajian media dikatakan bahwa sebenarnya tidak semua media dapat benar-benar netral, baik secara teoritis maupun praktis. Teori analisis wacana bahkan mengungkapkan pemilihan atas peristiwa apa yang menjadi headline, siapa yang menjadi narasumber, bahasa apa yang digunakan, atau sudut pandang apa yang dipakai dalam membaca fakta, semuanya adalah pilihan-pilihan yang tak terhindarkan oleh media bersangkutan.
Apalagi dalam peristiwa politik, teori agenda setting lazim digunakan media massa untuk memengaruhi pemilih. Di sini media lebih dari sekadar pemberi informasi dan opini. Melalui agenda yang dibuatnya, media mendorong pembaca atau pemirsanya untuk menentukan apa yang perlu dipikirkan.
Meski ada kecenderungan tidak netral, tapi profesionalisme media tetap menjadi tuntutan publik untuk mendapatkan informasi yang benar. Media diharapkan tetap lebih proporsional dalam pemberitaan Pemilukada dengan mengedepankan kebenaran informasi yang dilandasi pada etika jurnalisme.
Ada beberapa poin yang menjadi harapan agar media menjunjung tinggi martabat bangsa dengan mengawal jalannya demokrasi pada momentum Pemilukada. Pertama, menjalankan jurnalisme damai dengan menghindari pemberitaan politik yang memicu konflik. Kedua, membuat politik redaksional pemberitaan Pemilukada yang objektif dan edukatif. Ketiga, menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial terhadap penyimpangan dalam Pemilukada. Keempat, menjunjung tinggi etika dan norma pemberitaan Pemilukada. Kelima, memberitakan Pemilukada dengan adil dan berimbang.
Namun di sini yang patut dicatat, media tidak mungkin bersikap apolitis. Begitu juga politik yang tidak dapat lepas dari peran media. Keduanya saling membutuhkan. Namun biarlah keduanya saling berinteraksi sebagai dua pihak yang sejajar. Meminjam istilah Iqbal (2005), jika keduanya berselingkuh, keniscayaan akan bias media justru akan semakin menjadi-jadi. Dan korbannya adalah kebenaran itu sendiri, serta rakyat yang berhak untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Dengan menjalankan politik redaksional yang memihak pada kebenaran, diharapkan masyarakat tidak memandang kebebasan pers sebagai sesuatu yang utopis. Tapi kebebasan yang membebaskan masyarakat untuk mendapat informasi yang objektif sehingga dapat menentukan pilihannya dengan cerdas. Tanpa terpengaruh pemberitaan media yang menyesatkan dan mendiskreditkan. Bagaimanapun, sebagai agent of informations, media berperan penting dalam mencerdaskan bangsa. Dalam konteks ini juga dapat diartikan, wajah politik media mewakili wajah politik bangsa. (*)
No comments
Post a Comment