Revolusi Industri Generasi Milenial
Sudah lebih dua abad,
revolusi industri mengubah tatanan ekonomi dunia. Kini gerakan serupa muncul, dimotori
generasi milenial. Basisnya ekonomi digital.
Perubahan mendasar pada revolusi industri digital adalah adanya
pemerataan peluang masyarakat untuk menjadi bagian dari pertumbuhan ekonomi.
Revolusi industri digital mengubah penguasaan bisnis oleh segelintir pemodal
menjadi milik publik. Pada ekonomi konvensional modal menjadi faktor produksi
utama untuk melakukan bisnis, pada ekonomi digital peran itu semakin terkikis. Media-media
sosial sebagai platform pendukung terus
muncul dan mengutamakan peran berbagi dibanding dominasi.
Munculnya berbagai start
up bisnis terus memberi peluang pada laku business sharing. Dimana individu-individu tanpa modal dapat menjadi
bagian dari bisnis digital, terutama sektor industri kreatif, e-commerce, dan transportasi. Pemerataan
ekonomi ini tentunya juga akan mengubah pola kerja dan kekuatan yang sebelumnya
relasi buruh-majikan menjadi pola kemitraan. Gerakan ini dimotori oleh generasi
milenial, yaitu mereka yang lahir pada rentang tahun 1980 hingga 2000-an.
Bukti bahwa generasi milenial mempunyai peran penting dalam
revolusi industri digital dirilis KATADATA.CO.ID, dimana remaja usia dibawah 19
tahun atau sering disebut Gen Z, serta usia muda 20-39 tahun atau Gen Y menjadi
generasi yang cenderung beralih memakai platform
online untuk aktivitas mereka. Riset dari Nielsen menunjukkan bahwa sekitar
38 persen Gen Y dan 40 persen Gen Z mengaku lebih memilih sesuatu yang berbasis
online dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Hasil riset
penulis pada 2015 terhadap 100 generasi milenial berusia 18-22 tahun juga menunjukkan
bahwa sebagian besar mereka merupakan adopter media sosial Facebook (100%), Instagram
(82%) dan Twitter (70%). Melihat fenomena tersebut maka wajar bila generasi milenial memiliki peran penting menggerakkan ekonomi
digital. Apalagi jumlah generasi tersebut 10 hingga 20 tahun mendatang akan
mendominasi kelompok usia produktif di Indonesia.
Dua tahun setelah itu KATADATA.CO.ID merilis terjadinya perubahan,
dimana Instagram kemudian menjadi aplikasi media sosial yang paling sering
digunakan di Indonesia. Survei Ekosistem DNA (Device, Network &
Application) dan Awarness yang dilakukan oleh Masyarakat Telematika Indonesia
(MASTEL) dan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebutkan
Instagram digunakan oleh 82,6 persen responden. Sementara itu Facebook di
posisi kedua sebesar 66,5 persen. Survei ini dilakukan pada 20 Oktober hingga
20 November 2016 kepada 1.020 orang respoden yang tersebar di berbagai daerah
di Indonesia. Responden terdiri atas usia 19-36 tahun (80%), usia kurang dari
19 tahun (15%), dan di atas 37 tahun (3%).
Perubahan paradigma pelaku bisnis ini penting dilakukan.
Apalagi menurut Presiden Joko Widodo (Jokowi), Indonesia memiliki potensi
mengembangkan ekonomi digital. Jokowi juga yakin Indonesia mampu menjadi negara
ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara. Untuk itu dia menginginkan adanya
percepatan implementasi pengembangan ekonomi digital. Apalagi ketika
menghadiri KTT G-20 di Cina,
negara-negara besar mulai menggaungkan revolusi industri baru dengan basis
ekonomi digital. Hampir semua negara berbicara mengenai ekonomi digital. “Saya
melihat kita punya potensi besar untuk mengembangkan ekonomi digital dan
memiliki potensi pasar ekonomi digital yang cukup besar dengan jumlah penduduk
250 juta, di mana 94,3 juta di antaranya adalah pengguna internet,” kata Jokowi
ketika memimpin rapat kabinet terbatas (ratas) membahas ekonomi digital, di Jakarta, Selasa (27/9/2016) seperti dirilis
BKPM.
Percepatan bisnis digital ini mendapat dukungan
infrastruktur dari pemerintah. Berdasarkan riset dari Akamai Technologies, dikutip
KATADATA.CO.ID, pada kuartal IV-2016, kecepatan rata-rata koneksi internet di
Indonesia terlihat sudah cukup baik. Tercatat kecepatan rata-rata internet
dalam negeri mencapai 6,7 Mbps. Angka ini meningkat lebih dari 200 persen sejak
kuartal I-2015 sebesar 2,2 Mbps. Dengan hasil seperti ini, pertumbuhan koneksi
di Indonesia termasuk di atas rata-rata global sebesar 72 persen
Jumlah konsumen online di Indonesia juga mengalami peningkatan signifikan. Pada 2016, riset dari eMarketer dikutip KATADATA.CO.ID memperkirakan akan mencapai 8,6 juta orang yang berbelanja melalui internet. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai 7,9 juta orang. Dengan bertambahnya jumlah penduduk yang mengenal internet seiring lahirnya generasi Z (Gen Z) yang lahir di era digital membuat kebiasaan belanja barang dan jasa yang sebelumnya secara konvensional akan beralih menjadi online. Hal ini menunjukkan bahwa dalam industri e-commerce, Indonesia sudah punya modal dasar berupa volume pasar yang sangat besar.
Data jumlah konsumen tersebut sejalan dengan pesatnya
pertumbuhan transaksi perdagangan digital Indonesia. Data eMarketer dikutip
KATADATA.CO.ID menunjukkan bahwa transaksi e-commerce Indonesia mencapai Rp
25,1 triliun pada 2014 dan akan naik menjadi Rp 69,8 triliun pada 2016, dengan
kurs rupiah Rp 13.200 per dolar Amerika. Demikian pula pada 2018, nilai
perdagangan digital Indonesia akan terus naik menjadi Rp 144,1 triliun.
Jumlah populasi yang mencapai 250 juta penduduk membuat
potensi perkembangan perdagangan elektronik Indonesia sangat besar. Hal itu
didukung dengan penetrasi pengguna internet yang terus tumbuh, harga sambungan
internet yang semakin terjangkau, serta antusiasme masyarakat dalam menggunakan
internet untuk mendukung kehidupan sehari-hari. Indonesia tercatat sebagai
negara dengan pertumbuhan pengguna internet tercepat di dunia. Riset yang
dilakukan oleh Google dan Temasek, untuk periode 2015-2020, proyeksi
pertumbuhan rerata tahunan (CAGR) Indonesia adalah 19 persen. Di kawasan Asia
Tenggara (ASEAN) lainnya, pertumbuhan pengguna internet yang cukup tinggi
terjadi di Vietnam dan Filipina masing-masing 13 persen dan 11 persen.
Terus melejitnya pembayaran digital ini akan mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi digital, atau sebaliknya, tumbuhnya ekonomi digital juga
mendorong lajunya bisnis finansial teknologi (Fintech), dimana potensi domestik
Indonesia masih butuh hingga Rp 988 triliun, dan itu belum mampu dipenuhi oleh perbankan. Pembayaran
digital yang semakin mudah diakses menggunakan perangkat smartphone menjadikan
konsumen terus meminatoi transaksi e-commerce. Berbeda dengan satu dekade lalu,
transaksi e-commerce masih tetap menggunakan pembayaran konvensional melalui
perbankan bahkan ada yang masih membutuhkan kartun kredit.
DUKUNGAN PEMERINTAH
Kabar baik bagi pelaku ekonomi digital. Pemerintah akhir
2016 lalu menerbitkan paket kebijakan ekonomi khusus untuk mempermudah dan
melindungi bisnis perdagangan secara elektronik (e-commerce) di Indonesia. Dalam paket kebijakan yang dipublikasikan
Kementerian Koordinator Bidang Bidang Perekonomian itu dijelaskan bahwa
pemerintah memiliki visi untuk menempatkan Indonesia sebagai negara dengan
kapasitas digital ekonomi terbesar di Asia Tenggara pada 2020.
Dengan populasi dan produk domestik bruto (PDB) terbesar di
Asia Tenggara, Indonesia merupakan pasar potensial bagi sektor ekonomi digital.
Saat ini pengguna internet di Indonesia mencapai 88,1 juta dan transaksi
e-commerce diperkirakan mencapai US$ 20 miliar pada 2016. Selain e-commerce, pasar ekonomi digital di
Indonesia mencakup sektor finansial, internet of things (IoT), dan penyedia jasa
daring.
Melihat potensi tersebut pemerintah menerbitkan Peta Jalan E-Commerce untuk
mendorong perluasan dan peningkatan kegiatan ekonomi masyarakat di seluruh
Indonesia secara efisien dan terkoneksi secara global. Peta jalan e-commerce
ini sekaligus dapat mendorong kreasi, inovasi, dan invensi kegiatan ekonomi
baru di kalangan generasi muda.
Dalam Perpres tentang Peta Jalan E-Commerce ini terdapat 8
aspek regulasi, yaitu:
1.
Pendanaan berupa: (1) KUR untuk tenant
pengembang platform; (2) hibah untuk inkubator bisnis pendamping start-up; (3)
dana USO untuk UMKM digital dan start-up e-commerce platform; (4) angel capital;
(5) seed capital dari Bapak Angkat; (6) crowdfunding; dan (7) pembukaan DNI.
2.
Perpajakan dalam bentuk: (1) pengurangan pajak
bagi investor lokal yang investasi di start-up; (2) penyederhanaan
izin/prosedur perpajakan bagi start-up e-commerce yang omzetnya di bawah Rp 4,8
Miliar/tahun; dan (3) persamaan perlakuan perpajakan sesama pengusaha
e-commerce.
3.
Perlindungan Konsumen melalui: (1) Peraturan
Pemerintah tentang Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik; (2)
harmonisasi regulasi; (3) sistem pembayaran perdagangan dan pembelanjaan
barang/jasa pemerintah melalui e-commerce; dan (4) pengembangan national
payment gateway secara bertahap.
4.
Pendidikan dan SDM terdiri dari: (1) kampanye
kesadaran e-commerce; (2) program inkubator nasional; (3) kurikulum e-commerce;
dan (4) edukasi e-commerce kepada konsumen, pelaku, dan penegak hukum.
5.
Logistik melalui: (1) pemanfaatan Sistem
Logistik Nasional (Sislognas); (2) penguatan perusahaan kurir lokal/nasional;
(3) pengembangan alih data logistik UMKM; dan (4) pengembangan logistik dari
desa ke kota.
6.
Infrastruktur komunikasi melalui pembangunan
jaringan broadband.
7.
Keamanan siber (cyber security): (1) penyusunan
model sistem pengawasan nasional dalam transaksi e-commerce; (2) public awareness tentang kejahatan dunia maya; dan
(3) Penyusunan SOP terkait penyimpanan data konsumen, sertifikasi untuk
keamanan data konsumen.
8.
Pembentukan Manajemen Pelaksana dengan melakukan
monitoring dan evaluasi implementasi peta jalan e-commerce.
Paket kebijakan tersebut didukung upaya penguatan dan pemerataan infrastruktur internet melalui proyek Palapa Ring, yaitu proyek infrastruktur telekomunikasi berupa pembangunan jaringan serat optik yang akan menjangkau 440 kota/kabupaten di seluruh Indonesia. Proyek ini akan mengintegrasikan jaringan yang sudah ada (existing network) dengan jaringan baru (new network). Jaringan ini akan menjadi tumpuan semua penyelenggara telekomunikasi dan pengguna jasa telekomunikasi di Indonesia dan terintegrasi dengan jaringan yang telah ada milik penyelenggara telekomunikasi. Megaproyek tersebut kini tengah ditangani Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Kominfo membagi
pembangunan Palapa Ring ke dalam tiga paket. Pertama, Paket Barat mencakup wilayah Riau dan Kepulauan Riau sampai
dengan Pulau Natuna dengan total panjang kabel serat optik sekitar 2.000 km. Kedua, Paket Tengah meliputi wilayah
Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku Utara, sampai dengan Kep. Sangihe-Talaud dengan
total panjang kabel serat optik sekitar 2.700 km. Ketiga, Paket Timur yang mencakup Nusa Tenggara Timur, Maluku,
Papua Barat, dan Papua sampai dengan pedalaman Papua dengan total panjang kabel
serat optik sekitar 6.300 kilometer.
Kalau Proyek Palapa Ring tuntas, pengaruhnya sangat besar
terhadap pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia. Pemerataan pembangunan
sektor teknologi informasi dan komunikasi akan mewujudkan interkoneksi
antarwilayah. Harapannya kesenjangan digital antara wilayah kota dan desa semakin menipis. Masalahnya apakah pemerataan akses teknologi berbanding lurus
dengan pemerataan pertumbuhan ekonomi digital, atau ini hanya dinikmati generasi
milenial perkotaan?
LITERASI
Literasi terhadap pengguna internet diperlukan, agar tidak
terjadi kesenjangan antara generasi milenial perkotaan dan pedesaan. Menurut ICTWatch literasi digital merupakan kemampuan menggunakan teknologi informasi dan
komunikasi (TIK), untuk menemukan, mengevaluasi, memanfaatkan, membuat dan
mengkomunikasikan konten/informasi, dengan kecakpan kognitif maupun teknikal.
ICT Watch merilis tawaran alternatif “Kerangka Literasi Digital Indonesia” terdiri atas 3 (tiga) bagian utama, yaitu 1).
proteksi (safeguard), 2). hak-hak (rights), dan 3). pemberdayaan (empowerment).
Proteksi (safeguard): pada bagian ini memberikan pemahaman
tentang perlunya kesadaran dan pemahaman atas sejumlah hal terkait dengan
keselamatan dan kenyamanan siapapun pengguna Internet. Beberapa diantaranya
adalah: perlindungan data pribadi (personal
data protection), keamanan daring (online
safety & security) serta privasi individu (individual privacy), dengan layanan teknologi enkripsi sebagai
salah satu solusi yang disediakan.
Hak-hak (rights): terkait sejumlah hak-hak mendasar yang harus
diketahui dan dihormati oleh para pengguna Internet, sebagaimana digambarkan
pada bagian ini. Hak tersebut adalah terkait kebebasan berekspresi yang dilindungi
(freedom of expression), hak atas
kekayaan intelektual (intellectual
property rights), serta hak untuk berkumpul dan berserikat (assembly &
association).
Pemberdayaan (empowerment): Internet dapat membantu penggunanya
untuk menghasilkan karya serta kinerja yang lebih produktif dan bermakna bagi
diri, lingkungan maupun masyarakat luas. Pokok bahasan pada bagian ini meliputi
jurnalisme warga (citizen journalism)
yang berkualitas, kewirausahaan (entrepreneurship) terkait dengan pemanfaatan
TIK dan/atau produk digital semisal yang dilakukan oleh para teknoprener,
pelaku start-up digital dan pemilik UMKM, serta etika informasi (information ethics).
REGULASI
Regulasi diperlukan untuk melakukan pengaturan dan
melindungi pelaku ekonomi digital. Melihat ekonomi digital yang terus tumbuh
maka pemerintah harus memberikan ruang bagi pengembangannya. Misalnya dengan
memperbaiki regulasi berbagai sektor ekonomi yang memungkinkan terjadinya
perubahan dari sistem ekonomi tradisional menjadi ekonomi digital. Kegagapan
pemerintah menyikapi gerakan ekonomi baru ini dikhawatirkan akan menghambat
bahkan mengebiri kreativitas para pelaku
bisnis digital.
Kegagapan pemerintah misalnya terlihat saat mengeluarkan
regulasi bagi transportasi online. Paradigma pemerintah selama ini masih
terkesan kapital sentris atau memihak para pemilik modal besar. Padahal transportasi
online selain memberikan peluang pemerataan kepemilikan akses ekonomi juga
berorientasi pada konsumen. Masalah tersebut kemudian menimbulkan konflik
antara pelaku bisnis transportasi konvensional dengan digital. Padahal industri
ini sedang bertumbuh dan menjadi startup fenomenal di Indonesia. Untuk
itu, regulasi pemerintah sebaiknya ditujukan untuk menyandingkan bisnis
konvensional dengan bisnis digital, bukan mempertentangkan keduanya.
Terkait regulasi Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong
menyarankan agar regulasi tidak memberatkan usaha kecil dan menengah. Jika
aturannya terlalu rumit, pelaku usaha di level bawah akan sulit berkembang. Di
sisi lain, hal tersebut menguntungkan perusahaan besar yang memiliki kemampuan
finansial lebih besar, sehingga membuat usaha kecil dan menengah tidak dapat
bersaing di pasar.
Usulan itu disebut sebagai light touch atau sentuhan ringan dan perlindungan. Light touch mengacu pada perlunya
industri digital memperoleh ruang bereksperimen secara luas tanpa regulasi yang
memberatkan, terutama bagi usaha kecil dan menengah. Adapun perlindungan
terkait jaminan pemerintah atas eksperimen yang dilakukan pelaku usaha. Namun,
perlindungan ini harus diberikan secara hati-hati. “Agar penuh pengertian
terhadap eksperimentasi dan inovasi,” katanya Senin, 18 Januari 2016, dikutip
KATADATA.CO.ID.
Keberpihakan pemerintah melalui regulasi yang berpihak kepada
startup penting dilakukan. Sebab menurut KATADATA.CO.ID, munculnya banyak
perusahaan startup di Indonesia telah menjadi fenomena yang menarik. Perusahaan-perusahaan
ini dibangun dengan jumlah suntikan dana yang fantastis. Misalnya Go-Jek, startup
di sektor transportasi berbasis online, mendapat kucuran pendanaan yang
mengejutkan yaitu sebesar US$ 550 juta atau Rp 7,2 triliun pada Agustus 2016
lalu.
KOLABORASI
Diakui atau tidak, pertumbuhan ekonomi digital akan dianggap
ancaman bagi pelaku ekonomi konvensional. Menghadapi kondisi ini spirit yang
dibangun adalah bagaimana membangun kolaborasi antara ekonomi konvensional dengan
ekonomi digital. Mempertentangkan keduanya tidak akan produktif bahkan akan
mengganggu pertumbuhan masing-masing. Misalnya kolaborasi bisnis transportasi
konvensional dan digital, kolaborasi perbankan konvensional dengan pembayaran
digital, mendorong pemasaran UMKM ke ranah e-commerce,
dan sebagainya.
Salah satu contoh kolaborasi yang sudah terjalin adalah
antara perusahaan taksi konvensional dengan taksi online. Dirilis
KATADATA.CO.ID setelah Taksi Express beraliansi dengan Uber pada akhir 2016
lalu, Blue Bird juga meresmikan kerja samanya dengan penyedia layanan
transportasi Go-Car, yang merupakan salah satu layanan transportasi dari
perusahaan Go-Jek. Artinya, jika taksi berada lebih dekat dengan pengguna
dibanding pengendara Go-Car, maka pengguna aplikasi akan dijemput oleh taksi Blue
Bird. Melalui kerja sama ini, kedua startup tersebut berpotensi menambah mitra
pengemudi mobil secara signifikan. Bahkan, Uber dan Go-Jek bisa mengembangkan
armadanya di beberapa kota.
Kolaborasi merupakan alasan paling logis agar taksi
konvensional tidak kehilangan pasar. Sebab hadirnya ojek dan taksi online
seperti Go-Jek, Grab, dan Uber telah memukul kinerja keuangan taksi Blue Bird
dan Express. Biaya yang lebih murah, hemat waktu, serta layanan yang cukup baik
membuat sebagian masyarakat memilih jasa layanan transportasi berbasis
aplikasi. Imbasnya, pendapatan taksi online seperti PT Blue Bird Tbk sepanjang
2016 menyusut 12,36 persen menjadi Rp 4,8 triliun dari tahun sebelumnya.
Demikian pula pendapatan PT Express Transindo Utama Tbk hingga September 2016
juga turun 28,95 persen menjadi Rp 512,6 miliar dari periode yang sama tahun
sebelumnya.
Melihat fenomena dan dampak revolusi industri yang
digerakkan generasi milenial di atas, maka para pelaku bisnis dan pemangku
kepentingan tidak boleh menutup mata. Sebuah fakta bahwa ekonomi digital akan
semakin berkembang pesat seiring dengan terus majunya inovasi ICT. Untuk itu pemerintah,
pelaku bisnis, dan masyarakat perlu sama-sama bergandengan tangan menghadapi
realitas itu secara positif dengan melakukan literasi, menerbitkan regulasi
yang berpihak dan membangun kolaborasi. Tujuannya agar revolusi industri digital
tersebut tidak memakan anak kandung sendiri. (*)
No comments
Post a Comment