Kartun Poli(kri)tik, Medium Satire Demokrasi
Oleh M Badri
“Keuntungan utama
kartun politik adalah mampu mengomunikasikan pendapat dengan sangat cepat,”
kata Doug Marlette (1949-2007), kartunis pemenang Pulitzer.
Kartun merupakan media visual hasil konstruksi
seni dan komunikasi. Pesan visual lebih universal dibanding pesan verbal,
sehingga pesan kartun pun lebih mudah dicerna akal. Kartunis menggambar dan
memasukkan sedikit kata-kata, dan kita hanya perlu beberapa detik untuk mengetahui
maknanya.
Kartun politik tetap ada selama ada wacana
politik dan perbedaan pendapat. Di Amerika Serikat (AS), kartun politik
memiliki sejarah panjang dalam industri media. Karena menjadi bagian dari
budaya dan sejarah, betapapun kontroversialnya, dilindungi sebagai kebebasan
berbicara pada amandemen pertama konstitusi AS.
Di Indonesia, kartun politik juga menjadi bagian
dari industri media, terutama media cetak. Kartun secara berkala muncul di
halaman editorial media massa seperti Kompas,
Suara Pembaruan, The Jakarta Post, Republika, hingga media lokal seperti Riau Pos. Di media massa, kartun
merupakan medium kritik sosial yang dikemas dengan jenaka. Medium dialog satire,
bahkan sarkasme.
Ninok Leksono dalam pengantar buku 40 Tahun Oom Pasikom (2007) mengatakan,
karikatur (sebutan lain untuk kartun) adalah gambar yang mudah diingat yang
disertai komentar satiris pendek yang sangat menghibur dan kaya penafsiran. Tujuan
karikatur adalah untuk mendorong lahirnya pemikiran ulang dan penciptaan ulang
suatu realitas. Kata Suryopratomo dalam pengantar buku yang sama, membuat
karikatur bukan pekerjaan mudah: butuh ketajaman dalam melihat dan kecermatan
dalam menggambarkan.
Politik merupakan tema paling menarik dalam
dunia kartun. Banyak wajah politisi tiba-tiba menjadi karikatural, terutama
jika terkait isu kontroversial. Kartun politik umumnya berisi kritik terhadap
politikus, banalitas politik, dominasi kekuasaan, ketimpangan pembangunan, dan
sebagainya. Pesta demokrasi seperti Pemilu, Pilpres dan Pilkada kemudian
menjadi amunisi kartunis untuk memproduksi kartun satire. Apalagi ketika
demokrasi hanya menjadi pesta segelintir elite untuk mengukuhkan dan mengokohkan
oligarki politik.
Lalu di mana posisi kartunis? Gatot Eko
Cahyono dalam buku Kumpulan Karikatur
Politik (2001) mengatakan, kartun editorial harus berpihak kepada keadilan dan kebenaran berdasar pada
hati nurani. Bila merujuk pada Sembilan
Elemen Jurnalisme (Kovach dan Rosenstiel, 2006) maka kartunis juga mesti
berpihak pada kebenaran dengan loyalitas pertamanya kepada publik, bukan kepada
kekuasaan. Kartunis sejati selalu mengkritik siapapun bupati/ walikotanya,
gubernurnya, dan presidennya.
Dua kartunis Riau, Furqon LW dan Eko Faizin,
melalui pameran kartun “0102” mencoba merayakan satire demokrasi panggung Pilpres.
Alih-alih menghadirkan pesta yang adem dan damai, Pilpres justru mempolarisasi
masyarakat. Cebong dan kampret pun mendominasi konten media massa dan media
sosial. Di sini kartunis muncul sebagai pengkritik.
Kartun karya Furqon dan Eko menunjukkan keragaman
dalam genre, teknik dan tematik. Furqon mewakili kartunis konservatif dan Eko
mewakili kartunis progresif. Furqon merupakan kartunis yang tumbuh dalam kartun
editorial dan Eko tumbuh di media sosial. Pada aspek teknis, Furqon
mempertahankan gaya kartun editorial konvensional dengan goresan hitam putih.
Sementara Eko menyajikan kartun dengan sentuhan pewarnaan digital.
Karena berasal dari genre kartun editorial,
karya-karya Furqon lebih kritis, tajam, dan satire. Sedangkan Eko yang lebih
eksis di media sosial dengan banyak pengikut generasi milenial, selain kritik
juga menonjolkan kejenakaan. Pameran “0102” dua kartunis ini menjadi menarik
karena mempertemukan dua karakter karya berbeda. Kesamaannya, melalui kartun,
Furqon dan Eko mengajak publik tersenyum kecut memaknai politik.
Satire demokrasi Furqon dan Eko tidak hanya
mengkritik polah elite politik tetapi juga publik yang menikmati (?) sengkarut demokrasi.
Dalam konteks ini, kartunis tidak hanya mengajak menertawai polah elit tetapi
juga mengajak kita ramai-ramai menertawai diri sendiri. Karena sejatinya, kartun
politik dibuat tidak untuk membuat objek marah, tetapi membuat mereka berpikir.
Yah, cara mengkritik kartun itu: mencubit tapi tidak sakit, menampar tapi tidak
memar. (*)
Dimuat di Riau Pos, 14 April 2019 hal 24
No comments
Post a Comment