Grafiti Bukit Puisi
sebuah kolase, namamu
juga
dan arca-arca yang kita bawa
sebagai pelengkap minum kopi
menjadi begitu berlumut
di batu-batu
di sungai yang mengalir
dari liang tubuh kita
jembatan itu, di
bawahnya anak-anak memetik buih
Mungkin seseorang telah
membacanya
entah kapan, di kafe,
gazebo
dan lorong-lorong tempat
kita melukis
atau menulis tanda.
sebab di tanganku,
tidak ada kata yang bisa
menandai
jalan hidupku, di bukit
itu, sampai ke hulu
Sampai akhirnya, puisi
itu juga
memenjarakan kita
sepanjang ngarai
hingga lupa berapa kata
yang tumbuh dan terlipat
di gubuk-gubuk tua,
tempat kita biasa singgah
sekadar mengabadikan
resah
2006
Tunggu Aku di Bakauheni
Kutunggu ceritamu di bakauheni
setelah kurapatkan puisi di pulaumu
agar aku dapat bersimpuh di puncak siger
sambil bersiul kepada laut dan deru ombaknya
yang tertawan di cadikku
Dermaga itu telah menatah perahuku
di selat dan ramai anak-anak ompung silamponga
bersampan kepingan logam
yang tersangkut legam bibirnya
barangkali, kalian telah ditakdirkan seteguh rajabasa
setegar tebing-tebing karang
“Ini tanah kami, sang bumi ruwa jurai
sutera kami, seluas laut dan ngarai”
Katamu, sambil memainkan cetik
di serambi menghadap ke pantai
senja itu tiba-tiba menggarami langitku
“Datanglah, setiap tahun setiap kami berpesta
di menara krakatau
mengenang moyang kami mengabadikan kisah
di kakinya, dan tepiannya yang mempesona”
Tunggu aku di bakauheni
setelah kurapatkan tubuh di dermaga
tempat orang-orang mengayuh cerita
mengaramkan luka
dan melayari masa depannya
“Datanglah, lihat kami memainkan sekuraan
yang nyaris hilang dari ingatan”
Ceritamu seperti paradinei
yang bertemu puisiku
serupa dua kutub dua pulau
yang menyatu
setelah sekian lama terpisah
terbelah selat dan kisah
2006
Bulan Menawan di Keratuan
Petang terpajang di Tanjung Karang
Di langitnya yang ditumbuhi burung-burung
Bersarang di pantai, di Teluk Lampung
Ketika nelayan bersiul menandai batas kampung
Ah, dua kayuh lagi biduknya sampai ke tepi
Dua kayuh lagi melewati pantai
Menjaring pasir putih dan ombak
Merambati cahaya bulan
Yang menawan di Keratuan
Bacalah silsilah para pangeran
Yang menandai setiap jejak sejarah
Di abad lampau, Kampung Balaw
Dan beribu cerita yang terpampang di taman
Sepanjang kedamaian
Pulanglah Muli
Sebab di kotamu cahaya bulan menjadi puisi
Dan kunang-kunang menari
Menghibur para leluhur
Yang tak pernah terkubur
Orang-orang datang
Menyaksikan riwayat moyangmu
Yang terukir di Lamban Gedung
Duduklah Muli
Sambil menenun tapis
Menjala para turis
Juli 2006
Menari di Perkampungan Gajah
Way Kambas, lilitlah tubuhku
Dengan belalaimu
Sebab seribu gajah masih bersemayam
Di jantungku
Yang menjelma hutan-hutan
Dan ladang
Seperti gubuk masa kecilku
Anak-anak, naiklah ke punggungnya
Sambil menyemai sungai-sungai
Alirkan hingga ngarai tubuhmu
Agar aroma kampung halaman
Bersemi di hatimu
Dusun itu, kampung moyangmu
Seribu gajah masih setia
Menunggui hutan dan makam
Anak-anak, menarilah
Sambil mengungkap rahasia kampung
Di bukit-bukit yang lama kita tinggalkan
Sebab belulang leluhurmu
Masih tertanam di sana
Bersama reruntuhan silsilah
Way Kambas, lilitlah tubuhku
Dengan belalaimu
Sebab seribu gajah masih bersafari
Di nadiku
Juli 2006
: nyanyian suku terasing
Sekayuh puisi kembali melayari malamku, purnama
kelabu
gemerlap imaji terasa hanyut dalam dekapan kabut
pelukan maut, dendang sumbang di muara yang
tiba-tiba menjadi begitu tawar
dan laut kembali mengubur kisah anyir tentang hutan
sialang,
anak-anak yang tumbuh dari celah kulit kayu,
bersusu getah enau
kepada siapa harus kunyanyikan sajak risau?
atau kasidah dan gurindam mesti menanggung getar
resah melingkar hingga dada terasa memar
Puisiku berkabung di tanah lempung, bulan terkurung
debu
seperti angin september yang berbatu
di kepala kita, serupa tanda dari gerak makna usai
kenduri
yang menghidangkan sebabak randai* paling sunyi
Aku terus bergumam sambil memanggang impian
di tungku yang membakar kampung halaman
hingga menyisakan arang di muka kita
menyembulkan asap di benak kita
berkarat, terjerat rerimbun duka
Barangkali di sini telah tercatat hikayat lama
terbenam dalam sungai atau danau, malam-malam igau
tersengat pipa-pipa dan luka meranti di dangau
hingga keringat sakai dan getah petalangan menjadi
begitu berkilau
karena lebam karena dendam
Siapa yang bertasbih di balik kabut?
meratapi nasib tertawan di balik lipatan kayu lapis
yang terlanjur tergadai mesin-mesin industri,
kapal-kapal tongkang
dan membuang tinja ke lambung kita
Kami serupa bandar-bandar tua kehilangan pancang
akankah luka lama kembali mengaga, sebelum
tercerabut dari akar moyang?
terbuang di kampung sendiri, sampai mati
tapi kami tak akan kalah, tak akan punah!
2006
*Tarian tradisional masyarakat Taluk Kuantan, Riau.
Di Puncak Pass
Hujan memuntahkan rinai
sunyi. seperti notasi tubuhmu
yang muncul dari
pendaran lampu-lampu
saat lekukan bukit
begitu saja kudekap
sambil menciumi aroma
lembah
tanah basah menimbun
celah tubuhku
malam menjadi ganjil
Kureguk hangatnya
rempah. bulan gelisah oleh angin
yang menerbangkan jarum-jarum
masa lalu
lewat deru kendaraan dan
asap pembakaran
sampai alamat menuju
rumahmu
hilang di tikungan yang
panjang
Dua kelok lagi,
barangkali kau sembunyi
sambil menikmati
lolongan anjing
di halaman-halaman puisi
yang kautaburkan
sehabis pesta ulang tahun
dan aku masih setia
memahat batu nisan
entah sampai kapan
Kesendirian membuatku
hanyut. dalam putaran jarum jam
yang suaranya merajam.
sisa ciuman tahun lalu
tiba-tiba terlepas saat
wajahmu meranggas
dari bibirku yang ngilu.
setelah menempuh perjalanan
ke ribuan bukit paling
kelam.
2006
Bukit Batu
Dari lembah aku melihat
tubuhmu dikerumuni pepohonan
dengan akar-akarnya yang
menancap di jurang kecantikan
tak ada retakan, apalagi
reruntuhan
yang menggelinding
serupa jerawat
dan siulan burung-burung
semakin menyembulkan dua biji mahkota
yang tumbuh setiap
matahari terbenam.
setiap makan malam menghidangkan
secangkir ciuman
paling dalam
sampai menyisakan
kenangan di langit dan jalan setapak
yang menuntunku ke
jurang paling apak
Sebuah tingkungan, tanpa
tanda dan rerambu menebarkan
aroma tubuhmu: kembang
kenanga dan hasrat purba
di kilometer-kilometer
yang kulalui dengan puisi
paling sunyi
hingga nafas keheningan
menjadi deru angin
menghantarkan sorot
matamu ke lembah-lembah
tempatku mengabadikan resah
dan musim hujan semakin
menenggelamkan
wajahmu ke celah
bebatuan
Aku akan kembali
menemukan dirimu, sendirian
ribuan tahun kemudian
setelah bereinkarnasi
menjadi burung-burung
yang memagut serpihan
masa lalu
aku tahu, kau pasti akan
menenggelamkan paruhku
di celah-celah bukit
itu, sambil menagih janji
yang terlanjur terucap
seperti sumpah para datu
2006
Sepanjang Dago
Kulihat sorot matamu lebih redup dari lampu-lampu yang berjajar menuju hulu
seperti sebuah lukisan panjang
terpajang di bantaran sungai, tempat gadis-gadis metropolis
mandi sambil menanggalkan selendang di tiang-tiang listrik
berharap jaka tarub mencurinya
hingga lupa jalan pulang ke negeri mimpi
yang berjarak dua tikungan dari pos ronda
tiba-tiba aku ingin mengabadikan malam
dalam telepon genggam
Tak perlu lagi mencurigai desir angin
atau mentertawai jejak kaki
yang terlanjur membekas di perempatan jalan, tempat engkau biasa menungguku
sambil menyumpahi segelas kopi. setiap pagi, setiap aku menjanjikan puisi
dan menyeruput madu yang meleleh dari pori-pori tubuhmu
sebelum kalender dengan angka-angka ganjil itu luruh
terbawa musim dingin yang membalut separuh wajahmu
Di sebuah tanah lapang, yang memutar dan memanjang
debu-debu mengemasi ingatanmu: tentang kampung halaman, musim banjir
juga aroma nostalgia sepanjang trotoar yang ditumbuhi penjual jagung bakar
sampai dering telepon menjadi sepi
seperti suara hujan di halaman pertama
kisah cinta yang tertunda
tanpa ikatan dan rencana-rencana
yang selalu memenjarakan setiap impian
Jemarimu meremang, mengikuti irama tanjakan
dan sorot matamu membentur tebing-tebing penuh lukisan dari asap pembakaran
yang tersusun dengan rapi
hingga jalan panjang itu hanya menyisakan jelaga
yang tersangkut di tikungan
tempat kau terakhir membakar sapu tangan
2006
Gurindam Ketiga Belas
: risalah kampung
Ini kidung kampung yang setiap tahun selalu
murung
gulana tiada berujung
meskipun berpasal-pasal airmata menghiasi
halaman puisi
yang kian lebam terhempas api
tarian dan tetabuhan menjelma sunyi
hingga membakar luka di hutan-hutan dan sungai
sampai kita lupa
cara bermimpi
sebab resah terus membingkai malam kita paling
sepi
Inilah gurindam pasal ketiga belas
ihwal pantun tiada berbalas
ihwal petaka kian menghempas
Anak bujang teruslah berdendang, sambil mengayuh
lancang
sebelum karam di sungai yang berhulu di mata si
anak dara
setelah halaman dan belukarnya punah
tak menyisakan tempat bermain mendu
sambil menabuh rindu si gendang melayu
sebab darah dan nanah menjelma getah
sebab rempah kampung terjarah ke negeri entah
Inilah gurindam pasal ketiga belas
setelah peta kampung nyaris tak berbekas
sebab raja melupakan pasal kedua belas
Di musim kemarau anak-anak melagukan risau
tanpa kompang karena jemari kian legam, bibir
membisu
sekedar merapal doa atau mengayuh kejayaan
kampung
sambil berziarah ke makam hang tuah atau jebat
memperbaiki sisa hikayat, agar anak cucu tak
dilaknat
Inilah gurindam pasal ketiga belas
kata-kata semakin meranggas
sebab hijau melayu kian tertebas
2006
Elegi Para
Petani
Kepada matahari, juga burung-burung kucangkulkan
imaji
di bukit-bukit, sungai, dan ngarai. ladang-ladang
begitu sunyi
menunggui ilalang dan kemarau menyanyikan puisi
kidung musim panen di pematang seperti suara detak
jam
yang membisikiku jalan pulang
Sebatang kalimat, mulai bertunas dan menggeliat
gabah melepuh di gudang-gudang, setelah kapal
dagang
menaburkan beras dari negara tetangga
yang menggarami sawah-sawah
melukai lambung petani di kampungnya yang kerontang
Anak-anak mengairi kata-kata
di balik tumpukan jerami, rerimbun masa depan
yang menjelma sedu sedan, sebab musim hujan
menenggelamkan harapan-harapan
bangku sekolah, dinding-dinding kemelaratan
Sampai roda pedati menjadi begitu menyayat
bulan basah oleh keringat, berhulu di bukit tempat
petani
menabuh gendang dan kembang kemiskinan
di sawah-sawah yang ditumbuhi elegi
juga cerita tentang gubuk-gubuk renta, beratap
gulma
Akhirnya puisi juga yang tumbuh dan menguning
hingga musim panen tiba, musim orang-orang memetik
airmata
di pematang dan ladang-ladang pembantaian
yang memenggal rencana dan impian
2006
Setelah Gempa Itu Melegamkan Mata Kita
:penyair
jogja dan mereka yang berduka
Barangkali kau belum selesai menyeruput segelas kopi di malioboro. dan
merangkai semilir angin menjadi puisi yang tak pernah usai. sisa kepundan tadi
malam pun masih mengepul. dari tungku yang tetap menyala di hulu kaliurang.
sejarah telah mentakdirkan kita menjadi orang paling gelisah mengeja silsilah
tanda baca. sampai lupa memaknai sajak cinta yang terserak di halaman kampung
yang nyaris hilang. perhelatan apa lagi yang dihadirkan penguasa semesta di
depan mata kita? sampai peluh yang kita seduh ikut dilepuhkan masa depan.
mengalahkan aroma kesedihan di tenda-tenda yang telah melebamkan catatan harian
negeri kita.
Lupakanlah bumi yang menari pagi itu. biarkan dia ikut hanyut bersama
sungai-sungai yang mengalir dari mata para pengungsi. lalu bermuara di samudera
tempat orang-orang mengaramkan cerita duka. sebab mimpi nanti malam mungkin
lebih indah dari pada meratap resah sepanjang pagi hingga petang. atau memotret
wajah kota setelah porak poranda dilumat gempa. yang ikut bertamasya ke
prambanan menyaksikan batu-batu berserakan di altar datu-datu. karena retakan
bumi tak cukup untuk membenamkan tubuh kita yang terluka disayat petaka.
Lihatlah karnaval kardus di sepanjang jalan. berisi kepingan uang logam
bercampur sedu sedan. setelah gempa itu melegamkan mata kita, maka semakin
terbuka makna kebersamaan. sebab luka kita luka bersama, nisan kita nisan
persaudaraan. lalu dari rahim puisi kita awali kebangkitan. sambil menyanyikan
puisi panjang yang tak pernah terkuburkan.
2006
Secangkir Luka di Pagi Buta
:seorang ibu yang kehilangan
putri kecilnya
Nduk, subuh baru saja
telungkup di balik bukit-bukit kapur
dan aroma kampung menyembul
di sudut dapur
ketika bapakmu mengemasi
malam yang bersandar di dipan bambu
sambil sesekali bersiul
menirukan suara burung di halaman
ya, seragam sekolahmu
itu pun masih beraroma embun
juga wangi kembang
melati dari hutan jati
“Mbok, tadi malam aku
belmimpi
telbang tinggi dan
menali di negeli penuh cahaya”
Ya, anakku...
tapi tiba-tiba secangkir
kopi dan segelas susu yang ibu seduh
bergetar seperti
nyanyian gelombang di selatan
dan semuanya berakhir
setelah puing-puing,
juga jeritan orang-orang
mulai menimbun mimpimu
Nduk, ibu mulai
telungkup di batu nisan
tapi wangi kembang
menjadi begitu menyakitkan
di pusaramu yang masih
hijau
2006
Kolase
Sejenak aku teringat shakespeare
sebelum kembali hanyut dalam gending jaipong
dan kakilima sepanjang rel kereta
yang menghadirkan komposisi alla turca
dari abad jenaka
Seperti ababil mengusung sebuah kota
aku tandai peta kembara
yang menyelinap di balik jembatan layang
dan selembar katepe yang terbuang
sehabis musim panen tahun lalu
Anak-anak mulai menyukai musik klasik
dan larik-larik puisi, bait-bait elegi
sebagai lagu wajib sepanjang zaman
sepanjang siang
sepanjang malam
No comments
Post a Comment