Bunga Rimba
Daun-daun di rambutmu menjadi sarang bagiku
saat menghindari sengatan kemarau
meniup warna angin dari padang-padang ilalang
yang tumbuh di lambung petani
selepas pagi mewangikan segelas kopi
Di tepi ladang, kusemai tunggul kayu
agar menyisakan ruang bagi harum tubuhmu
agar anak-anak kita bisa menyusui harum kehidupan
dengan segala keterbatasan dan tujuan
sebab hidup lebih dari sekadar perayaan
Di kelopakmu ingin kualirkan embun
dari bukit-bukit yang dipenuhi perdu
agar tetap basah, saat retakan tanah menyisakan resah
setiap matahari membakari rumah kita
mengeringkan jiwa kita
2007
Sungai Limbah
Aku membaca sampan
seperti mengayuh kata-kata di tepian
bersandar dermaga lapuk
hitam dan buruk
Di sajakku ada ikan
berkejaran dengan kaleng dan plastik
mengapung murung
mencandai sampah industri
Pabrik-pabrik mengawini sungai
melahirkan banjir dan abrasi
dari hulu, kayu-kayu merenangi luka
menuju muara murka
2007
Kereta Empat Lima
Di antara keriuhan kereta empat lima
bertiup peluit di atas rel-rel kemerdekaan
berbantal kayu rapuh, melintasi tebing-tebing luruh
sebelum singgah di stasiun penuh ratap kaum papa
kelompok perampok dan pelagu dendang sumbang
Lalu di terowongan gelap, kereta tiba-tiba berhenti
penumpang turun, menyalakan enampuluh dua batang lilin
mendorong gerbong menuju keluar
menuju cahaya jauh di depan
sambil meraba dinding yang dipenuhi grafiti sejarah
Berapa tahun lagi akan sampai?
sebab tubuh-tubuh digerogoti nyamuk dan lintah
yang bertebaran sepanjang gerbong dan terowongan
lalu kereta perlahan-lahan berjalan
dan mereka berdoa
agar malam tak segera datang
2007
Taman Kopi
Di cangkirmu ada riak harum mengepul
menandai kelembutan setetes rindu
yang mengaduk setiap pertemuan
di tempayan dan bangku taman
Mungkin ada ribuan percakapan
mengendap di dasar cangkir
yang menyisakan sedikit rasa pahit
setelah manis singgah di bibir
Di lambungku, riak dari jemarimu
menjadi ketukan lembut
yang membangunkan seteguk ingatan
tentang persimpangan menuju pulang
2007
Anak-Anak Lumpur
Anak-anak menabuh gendang
di bekas rumah dan halaman sekolah
yang menjadi danau dan sungai
lalu menari sampai pagi
mengindari kantuk dan mimpi buruk
Menghanyutkan semua kenangan
di sungai keruh yang menggenani masa depan
menenggelamkan keriangan senja
tanpa siaran televisi, pasar malam
sambil mengemasi rencana akhir pekan
Anak-anak mendendangkan adzan
dengan sisa nafasnya yang mengendap
di balik tanggul dan jalan tol
menunggui ramadhan yang akan lewat
berharap sampai pada lebaran
2007
Sketsa Jembatan Tua
Kita duduk di bangku kayu sambil merenungi masa lalu
ada kenangan hilang, pertemuan dan kepergian
tak ada lampu di tepi sungai
menerangi riak airnya yang coklat tua
seperti tetesan susu dalam gelas penuh lumpur
Itulah bagian dari jembatan di tubuh kita
yang menghubungkan dua sisi berbeda:
sketsa cinta di jalan-jalan penuh debu
dan serpihan kota berserakan di ranjang tua
mematahkan jarak dan rencana
Kita masih duduk, memandang tiang jembatan
sampai siluet tubuh kita menyatu
dan menjadi bagian dari gelapnya rindu
2007
Kor Amor
Kita
bertemu dalam keremangan senja di meja-meja bandar
setelah
tersadai di atas perahu, mengecup tempias air sungai berlumut
kaukah
yang mengirim kartu pos bergambar lancang tua itu?
dengan
goresan-goresan impresionis berwarna tangis:
anak-anak
terperangkap tempurung kampung halaman
tersebab
perutnya membusung, rumah-rumah terpasung
Tiba-tiba
kau meniupkan terompet kemiskinan,
melengking-lengking
serupa
nyanyian panjang orang-orang petalangan, bonai, sakai
yang
tercabik-cabik di hutan sendiri, tersingkir dari peta negeri
kemudian
sedu sedan itu mengaram di hulu kampar, siak dan rokan
setiap
musim banjir, kebakaran, kering kerontang
menyinggahi
orang-orang yang mengeja makna kehilangan
Isyarat
cinta membirahi di ladang-ladang mimpi
menciptakan
tetabuhan irama kompang, zapin dan randai
sampai
tubuh-tubuh menyatu di ceruk puak dan marwah
bersebati
dengan melodi pantai, bukit, lembah
yang
bermuara di semenanjung, teluk, pulau-pulau
masih
adakah pukau di rahim melayu?
Refrain
puisimu menggarami luka
kusam
di tingkap rumah-rumah adat, menjelaga
di
tempayan tempat kita menyeduh air mata
sampai
mendidih, karena matahari memanggang impian
yang
terkubur di lahan-lahan tidur, pipa-pipa liur
hingga
mengabadi dalam katu pos dan sobekan surat kabar
Kau
pun tahu, lagu itu kita rekam dalam ruang perih
poster-poster
masa depan, pita-pita kepedihan
berbingkai
kesunyian, sisa kasih sayang, cinta hampa
yang
ternoda janji-janji di bangku sidang, alun-alun kota, panggung istana
hingga
semua makna menguap begitu saja:
dan
kau pun tahu, mereka selalu diam, bisu, lugu?
Tapi
kita akan menyanyi sampai lancang tua itu mengelupas dari kartu pos
merenangi
sungai-sungai yang berhulu di rahim melayu
setelah
musim hujan memekarkan ladang-ladang, hutan-hutan, perkampungan
dan
anak-anak tak lagi membusung, terkapar di bandar
saat
merangkai kembang kemiskinan di antara silau kota, istana emas, rumah dinas
hingga
isyarat cinta menjadi impresionis, kau kirim tanpa tangis
2007
Sepasang Mata Segelas Kopi
Dalam gerimis gigil itu menjadi puisi
merinai di antara detak jantung dan deru kendaraan
lalu, kata-kata berjatuhan di beberapa tikungan
seperti percikan serbuk kopi
yang mendidih di atas bara matamu
Pesan singkat itu perlahan-lahan memanjang
berputar di jalan-jalan dengan lampu yang membias
dalam kabut dan cahaya rembulan
di tepi sungai, sudut-sudut kafe
tapi aroma kopi masih tersimpan rapi
Aku belum bisa memaknai segelas kopi
dengan wanginya yang serupa kembang malam
percakapan belum selesai, sampai rotasi menjadi ngilu
membadai di bait-bait waktu. seperti pesanmu:
tetap kusimpan sebelah mata yang jenaka
2007
Jalan ke Kuantan
Sepanjang jalan aku menyeruput sisa pepohonan
menghijau di antara bebatuan
memukau di celah asap pembakaran
yang menyisakan tunggul dan arang
matahari kesepian
Tebing-tebing luruh
menggelinding saat hujan menciumi bebukitan
sebab semak belukar kian memar
berjatuhan setiap kemarau
mengirimi risau
Jalan-jalan bergelombang
seperti sebaris lautan yang menghitam
memanjang menuju kelam
ketika malam
menutupi jalan pulang
2007
Senja Ujung Sungai
Kepada riak sungai aku hanyutkan puisi
rangkaian kata yang aneh, agar mengambang di lautmu
setelah senja melukis siluet tubuh kita
di antara meja-meja dan dermaga
yang menyatu dengan jemariku
Matahari mulai mengaram
di hulu matamu yang memancarkan huruf-huruf redup
seperti gumpalan awan kemerahan
mengendap di langit beku
sebab cerita masih berupa rencana-rencana
Sampan nelayan menebarkan rahasia
di jala-jala yang tersangkut tiang jembatan
terekam indah di matamu yang mengkotak
biarkan imaji itu, dikayuhnya menuju senja
sebab di sana segala makna bermuara
2007
Sebuah Pertemuan
Sebuah malam mempertemukan sepasang kepala
juga sepasang hati, sepasang risau
di rerumputan yang memutih
Kerinduan itu menjelma tetabuhan
yang menggema sampai pagi
di panggung-panggung mimpi
Seperti jejak kaki yang menyatu
di bukit-bukit waktu, lengkung langit
menandai detak jam yang terdiam
Lalu malam pun surut
menyisakan sebercak kisah di lembar almanak
yang terus saja bergerak
2007
Kado Ulang
Tahun
Di depan lilin usiaku yang menyala keperakan
tuhan mulai meniupkan kematian
di jantungku.
...... yang payau
2006
No comments
Post a Comment