Breaking News

Relasi Akademis-Praktis dalam Pendidikan Ilmu Komunikasi

Ilmu komunikasi saat ini sudah menjadi disiplin ilmu yang terbuka. Karena itulah, dalam tataran praktis ilmu komunikasi dapat dikuasai oleh siapa saja. Kondisi inilah yang kemudian oleh sebagian akademisi dinilai sebagai “intervensi” bahkan “penjajahan” terhadap disiplin ilmu komunikasi. Padahal, tentunya dunia kerja yang notabene dunia profesional mempunyai pandangan berbeda. Ketika lulusan ilmu komunikasi memasuki dunia praktis, yang dibutuhkan bukan hanya keilmuan semata. Tapi harus memiliki kemampuan dan keahlian. Realitas inilah yang seyogianya menjadi perhatian perguruan tinggi untuk menghasilkan lulusan yang berdaya saing tinggi.
Karena tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu komunikasi saat ini, seperti juga banyak bidang keilmuan lainnya, berada di persimpangan. Ilmu komunikasi sudah menjadi bagian dari ilmu politik, ekonomi, sosiologi, antropologi, marketing dan sebagainya. Hal ini berbeda sekali dengan ilmu hukum atau kedokteran, dimana untuk menjadi pengacara harus sarjana hukum dan dokter harus sarjana kedokteran.
Mengutip pendapat Ashadi Siregar (1997), meskipun tujuan institusional Jurusan Ilmu Komunikasi dikesankan kepada orientasi keilmuan yang bersifat analitis, realitas dunia praktis yang bersifat teknis tentunya tidak terelakkan. Untuk itu sejumlah materi perkuliahan perlu disiapkan dengan memuat sekaligus dalam proses belajar-mengajarnya untuk mengenali fenomena dunia kerja komunikasi, serta aspek-aspek teknis di dalamnya.
Kita semua tentunya memahami, dalam kehidupan sehari-hari selalu terjadi komunikasi, baik verbal maupun nonverbal. Karena itulah, komunikasi sudah menjadi bagian dari kebutuhan individu, kemampuan yang mudah dipelajari. Perbedaannya hanyalah, mereka yang mendalami disiplin ilmu komunikasi lebih menguasai aspek teoritis dan filosofisnya.
Relasi Akademis-Praktis
Di tengah perkembangan industri berbasis komunikasi yang diikuti semakin banyaknya perguruan tinggi yang membuka Fakultas/Jurusan/ Prodi Ilmu Komunikasi, tentunya perlu ada kesamaan perspektif antara akademisi dan praktisi. Hal ini untuk menghindari pendapat bahwa lulusan ilmu komunikasi tidak siap pakai. Karena pendidikan tinggi kadang terlalu terjebak pada pengajaran yang hanya berorientasi pada intelektualitas, emosional dan spiritualitas belaka. Sehingga mengabaikan keahlian pada rumpun yang diambilnya. Begitu juga dengan dunia kerja yang terlalu pragmatis, melupakan teoritis dan filosofisnya.
Apalagi dengan terus berkembangnya teknologi yang diikuti dengan perubahan arah bisnis bidang komunikasi, tentunya dunia kerja membutuhkan banyak profesional yang berpikiran dinamis. Karena itulah, pendidikan dan pengajaran ilmu komunikasi harus terus dikembangkan mengikuti realitas. Dengan terus membangun diskursus akademisi-praktisi, tentunya akan terjadi simbiosis mutualistis antara perguruan tinggi dan dunia kerja.
Saat ini tantangan industri komunikasi sudah mengarah pada industri berbasis multimedia. Misalnya, media massa cetak yang mulai berubah ke media online, maka perguruan tinggi sudah sejak dini perlu mempersiapkan sumber daya yang tidak gagap teknologi. Atau praktik public relations yang diarahkan ke pencitraan melalui dunia maya, maka perguruan tinggi sudah mempersiapkan sumber dayanya untuk menjawab tantangan komunikasi global. Begitu juga yang terjadi dengan dunia penyiaran dan periklanan yang mengedepankan kreativitas berbasis teknologi. Dengan adanya relasi tersebut, tentu harapannya tidak ada lagi eksklusivitas antara akademisi dan praktisi. Apalagi sampai terjadi dikotomi dua sektor yang sejatinya saling mendukung dan membutuhkan tersebut.
Untuk itulah, dalam menyiapkan kurikulum, penyelenggara pendidikan tinggi ilmu komunikasi tidak boleh menutup mata dari realitas praktis. Perguruan tinggi setidaknya terus melibatkan kalangan praktisi untuk mengetahui kebutuhan pasar yang terus berubah, seiring kemajuan teknologi. Sehingga kurikulum yang diajarkan memang berbasis kompetensi, namun tidak melenceng dari hakikat pendidikan tinggi.
Hal ini tentu saja harus didukung dengan riset yang terus mengikuti perkembangan teknologi komunikasi. Kemudian kesiapan laboratorium untuk mengenalkan teknologinya kepada mahasiswa, serta terus meng-update kemampuan dan keahlian tenaga pengajar. Dengan demikian, tidak ada lagi istilah tidak siap pakai bagi lulusan ilmu komunikasi.
“Commpreneur”
Istilah “commpreneur” tentunya belum familiar bagi pembaca. Karena istilah tersebut memang belum ada di dalam kamus, bahkan di situs “serba tahu” Google sekalipun. Tapi setidaknya kita pernah mendengar istilah “technopreneur” yang mengarah pada dua hal, technology (teknologi) dan entrepreneurship atau kewirausahaan. Suatu istilah untuk menyebut entrepreneur yang mengoptimalkan segenap potensi teknologi yang ada, sebagai basis pengembangan bisnis yang dijalankannya.
Berangkat dari situ, sebagai praktisi yang juga masuk ke wilayah akademisi, barangkali saya dibolehkan untuk mempopulerkan “commpreneur” yang lahir dari dua hal, communication (komunikasi) dan entrepreneur. Dimana, sebagai disiplin ilmu yang memiliki sisi praktis, lulusan ilmu komunikasi dapat disiapkan sebagai wirausahawan yang mengoptimalkan potensi bidang komunikasi yang ada. Baik itu pebisnis di bidang media massa, public relations, periklanan dan sebagainya. Hal itulah yang saat ini kurang diperhatikan oleh pendidikan tinggi ilmu komunikasi.
Maka kita tidak perlu heran kalau rata-rata wirausahawan bidang komunikasi hanya segelintir orang yang benar-benar berlatar belakang ilmu komunikasi. Kondisi itu disebabkan oleh pola pikir perguruan tinggi yang umumnya masih sekadar menyiapkan tenaga kerja. Bukan menyiapkan sumber daya manusia yang siap menjadi wirausaha. Karena itulah, pendidikan kewirausahaan juga perlu diberikan kepada mahasiswa ilmu komunikasi.
Pentingnya menyampaikan pesan “commpreneur” ini juga untuk menjawab tantangan perekonomian ke depan, bahwa peluang ekonomi masa depan ada pada industri kreatif. Seperti disebutkan dalam portal Indonesia Kreatif (http://www.indonesiakreatif.com), industri ini berbeda dengan karakteristik industri pada umumnya. Industri kreatif merupakan kelompok industri yang terdiri dari berbagai jenis industri yang masing-masing memiliki keterkaitan dalam proses pengeksploitasian ide atau kekayaan intelektual (intellectual property), menjadi nilai ekonomi tinggi yang dapat menciptakan kesejahteraan dan lapangan pekerjaan.
Dari 14 sub sektor industri kreatif yang dikelompokkan oleh Pemerintah Indonesia, setidaknya ada lima subsektor yang bersentuhan dengan kajian ilmu komunikasi, yaitu: (1) desain; (2) film, video, dan fotografi; (3) penerbitan dan percetakan; (4) periklanan; (5) televisi dan radio. Sebagai industri yang berbasis kekayaan intelektual, aset-aset tersebut tidak akan pernah habis. Justru terus berkembang seiring kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan peradaban manusia. Berbeda dengan sumber daya alam, yang kualitas dan kuantitasnya semakin lama semakin berkurang.
Karena itulah, penulis berpendapat sudah saatnya perguruan tinggi penyelenggara pendidikan ilmu komunikasi dapat meneropong peluang bagi lulusannya ke depan. Sehingga di tengah booming-nya pendidikan tinggi ilmu komunikasi, tidak menghasilkan lulusan yang “terlantar”. Karena persaingan di lapangan kerja bagi lulusan ilmu komunikasi sudah sangat ketat. Latar belakang akademik apa pun bisa masuk, sehingga siapa yang kreatif serta menguasai kemampuan dan keahlian akan memiliki daya saing. Semoga. (*)

No comments