Breaking News

Menyoal Komunikasi Risiko Bencana Covid-19


Oleh M Badri

Indonesia menghadapi krisis akibat bencana non alam corona (Covid-19). Pandemik tersebut telah menyebar di hampir semua wilayah. Kasus terkonfirmasi, dalam perawatan hingga meninggal dunia terus meningkat setiap hari. Negara dikritik karena dianggap kurang responsif dan transparan dalam berkomunikasi. Informasi simpang siur malah memicu kepanikan atau ketidakpedulian.

WHO (2004) menyediakan kerangka kerja yang baik sebagai dasar strategi komunikasi risiko, yaitu membangun kepercayaan, mengumumkan lebih awal, transparan, menghargai keprihatinan publik, dan terencana dengan baik. Komunikasi risiko yang efektif sangat penting dalam manajemen risiko untuk membentuk kepercayaan publik terhadap kemampuan negara dalam menghadapi risiko.

Komunikasi risiko merupakan elemen penting dalam tata kelola risiko (risk governance). The International Risk Governance Council (IRGC) menegaskan pentingnya komunikasi terbuka, transparan, dan inklusif, dalam tata kelola risiko. Untuk membangun kepercayaan publik, menurut WHO (2017) intervensi komunikasi risiko harus terhubung dengan layanan yang dapat diakses, transparan, tepat waktu, mudah dipahami, mengakui ketidakpastian, melibatkan populasi terdampak, mendorong dialog, dan disebarluaskan menggunakan berbagai platform, metode dan saluran.

Dalam konteks ini, seluruh pemangku kepentingan perlu dilibatkan dalam komunikasi risiko. Sebab, bencana corona tidak hanya berdampak pada pemerintah saja, tapi juga masyarakat dan dunia usaha. Untuk itu, saran IRGC, penting melibatkan pemangku kepentingan untuk menilai dan mengelola risiko. Alasannya, penanganan  risiko perlu memperhitungkan konteks sosial berkaitan dengan keputusan yang diambil maupun risiko itu sendiri (bencana corona).

Tata kelola risiko bencana non alam di Indonesia belum memadai. Contohnya bencana non alam kebakaran hutan dan lahan. Bencana yang sudah jelas dapat diprediksi terjadinya, dampaknya, aktor yang terlibat, dan model penanggulangannya saja hampir setiap tahun masih terjadi. Lalu bagaimana menghadapi bencana corona? Penyebabnya mahluk tidak kasat mata, penyebarannya laten tapi simultan, dampaknya kamatian, vaksinnya langka, model penanggulangannya serba coba-coba. Dalam hal corona, semua negara adalah pemula.

Dalam kerangka tata kelola risiko, semakin kompleks, tidak pasti, dan ambigu, maka semakin banyak pemangku kepentingan yang perlu dilibatkan. Bencana corona masuk kategori ini. Untuk itu, manajemen risikonya perlu dialog lebih luas dengan para ahli dan pemangku kepentingan terdampak. Termasuk melibatkan masyarakat sipil dan media massa, untuk menggali berbagai persepsi risiko yang ada untuk memperkaya opsi pengelolaannya.

Aliran komunikasi risiko
Komunikasi risiko merupakan aliran informasi dalam manajemen risiko di antara pemerintah, para ahli, kelompok advokasi, industri, media massa, dan masyarakat umum (Leiss, 1994). Untuk menciptakan komunikasi risiko yang efektif harus ada kolaborasi dan komunikasi terbuka antara pemerintah, masyarakat, para ahli, dan dunia usaha (Park & Sohn, 2013). Komunikasi risiko berbasis masyarakat (people-centred) lebih efektif daripada pendekatan komunikasi pemerintah top-down (Haer et al., 2016).

Tiga pendapat di atas menyiratkan adanya kolaborasi dan transparansi agar komunikasi risiko efektif. Begitu juga dengan bencana corona, aliran komunikasi yang dibangun pemerintah seharusnya melibatkan banyak aktor dari kalangan dunia usaha, ilmuwan, media massa, organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat umum, secara interaktif dan setara. Komunikasi interaktif diperlukan untuk meminimalisir kegagalan komunikasi akibat ketidaksepakatan mengenai prinsip atau pendekatan.

Transparansi informasi terkait corona sangat penting, karena tanpa data dan informasi akurat penyebarannya sulit dihambat. Desakan terhadap keterbukaan informasi dilakukan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI), melalui petisi di situs change.org yang menuntut agar pemerintah membuka informasi sebaran infeksi dan riwayat perjalanan pasien positif Covid-19. Keterbukaan informasi ini untuk menciptakan kehati-hatian, kewaspadaan, dan mendorong masyarakat melakukan mitigasi risiko secara mandiri.

Seandainya sejak awal negara ini mengikuti kerangka komunikasi risiko WHO, mungkin penyebarannya dapat ditekan. Lihat bagaimana warga Indonesia masih pelesiran ke luar negeri ketika virus tersebut mulai menyebar ke banyak negara. Begitu pulang, sebagian mereka positif corona atau menjadi pembawa. Hal ini tak lepas dari sikap komunikasi elit negara yang alih-alih membangun tata kelola risiko, malah menjadikan corona sebagai bahan tawa dan canda. Ketika banyak negara waspada, Indonesia malah membuka gerbang pariwisata.

Wacana karantina wilayah, pembatasan sosial skala besar, darurat sipil, hanya menjadi retorik belaka jika tidak dibarengi kajian dampak sosial ekonomi. Sebab  masyarakat sedang mengalami darurat kesehatan dan potensi darurat ekonomi. Kebijakan karantina wilayah tanpa dialog dengan masyarakat dan dunia usaha, hanya menyebabkan kekacauan belaka. Aliran komunikasi interaktif menekankan pentingnya pengambilan keputusan berdasarkan kajian mendalam dari ruang publik, sekaligus membangun ketahanan sosial ekonomi berbasis masyarakat.

Komunikasi ke masyarakat
Masyarakat sebagai aktor komunikasi yang terdampak langsung mestinya banyak terlibat dalam komunikasi risiko. Negara dapat mengoptimalkan sistem komunikasi sampai ke tingkat RW/RT. Melalui RW/RT, data dan informasi kesiapan dan ketahanan masyarakat menghadapi risiko bencana corona dapat dihimpun. Begitu juga, kebijakan penanggulangannya dapat dikomunikasikan secara tepat. RW/RT bisa menjadi kanal informasi yang akurat. Lurah dan kepala desa sebagai penggerak. Koordinasi dilakukan sampai ke tingkat pemerintahan tertinggi.

Kepala daerah misalnya, jangan hanya berkomunikasi pada level forkopimda saja. Gugus Tugas Covid-19 di daerah seharusnya menghidupkan aktor-aktor komunikasi di akar rumput. Percayalah, modal sosial masyarakat Indonesia masih kuat untuk menghadapi dampak sosial ekonomi bencana corona. Tapi tentu saja, jika mereka dilibatkan. Selain RW/RT, ada posyandu, dasawisma, kelompok pengajian, dan berbagai komunitas sipil. Bahkan tempat ibadah seperti masjid, gereja, vihara dan lainnya memiliki kekuatan sosial dan ekonomi.

Gotong-royong dan solidaritas masyarakat merupakan imunitas sosial ekonomi. Basis relawan menghadapi bencana corona dapat dibangun pada level komunitas. Kontrol terhadap sosial ekonomi juga dapat dilakukan di level tersebut. Warga kaya dapat dimobilisasi untuk membantu kebutuhan pokok warga miskin. Kas desa, kas RW/RT, hingga kas masjid untuk sementara dapat dialokasikan untuk tanggap darurat bencana corona. Jika modal sosial berjalan, karantina wilayah skala terbatas tidak jadi masalah. Untuk skala luas, perlu banyak campur tangan negara.

Masalahnya, apakah pemerintah daerah sudah menggerakkan modal sosial dan  aktor komunikasi di tingkat masyarakat? Misalnya, keputusan pemulangan ribuan TKI apakah sudah melibatkan RW/RT untuk pengawasan isolasi dirinya? Apakah mereka dilibatkan untuk mendata warga yang berpotensi sebagai ODP? Apakah mereka dilibatkan mendata warga terdampak kebijakan #tetapdirumah? Apakah kebijakan #tetapdirumah efektif di wilayahnya?

Pelibatan masyarakat tersebut akan meningkatkan koleksi data dan informasi sebagai dasar perumusan tata kelola komunikasi risiko. Tujuannya untuk mengembangkan pemahaman Gugus Tugas Covid-19 (komunikasi internal) dan memberdayakan pemangku kepentingan dan masyarakat sipil untuk menangani risiko (komunikasi eksternal). Bagaimana dengan penanggulangan bencana corona di Riau? (*)

Diterbitkan di Riau Pos, 1 April 2020

No comments