Breaking News

CINTAMU MENJELMA MENJADI IKAN

CINTAMU MENJELMA MENJADI IKAN

 

kita telah melupakan senja itu

di tubuhmu air hujan merontokkan ingatan-ingatan

tentang lanskap di batu-batu: “mungkin, katamu

kita telah ditakdirkan menjadi angin,

yang sirna dan dingin”

toh, jalan lingkar itu masih memetakan tubuhmu

di bawah daun-daun waru, sebelum pasir itu menghapus nama kita

dari jalan pulang; yang memanjang menyilang

 

rinduku telah membukit

sepanjang danau, yang terhempas cerita murung

dan mengunci bibir kita sebelum ciuman terakhir

terasa begitu beracun.

lalu tempias hujan mengabarkan kepadaku

bahwa di hulu, cintamu menjelma menjadi ikan

dan berenang menjauhi lubukku yang mulai ditumbuhi ilalang.

di muara, barangkali kau semakin terpesona

dengan laut dan deru ombaknya

yang bergigi dan berduri

 

sekali waktu, kau maknai tanda

sambil menikmati gugusan salju di utara

sebab aku terlalu setia menikmati hutan tropis

yang menghanyutkanku kepada cuaca musim gugur

benar katamu: “kita ditakdirkan menjadi angin

yang terhempas ke segala penjuru

sebab cinta kita begitu dingin

dan beku...”

 

Bogor, 2006


KE MUARA MENGAYUH CERITA

 :solilokui riau

 

dengan bahasa sungai aku bekukan dingin. di langit gerimis masih saja menikam

riak ombak yang semakin legam. kepada cuaca kukirim kabar,

akankah datang seorang kalifah, membelah lautan gundah

sepanjang siang sepanjang malam. saat ikan-ikan menyusu pada limbah

sambil mengayuh siripnya yang patah. anak-anak sungai memainkan lumpur kali sebelum iramanya mendangkalkan nyali. dan catatan harian masih berisi

daftar musim banjir, musim kerontang yang meradang. jembatan-jembatan tak sampai

ke seberang, tersangkut bangkai kapal kayu yang  karam dihempas waktu.

 

(nun, dalam cerita lama. nyala api masih saja membakar peta

dan jerebu selalu membuat kelabu. mata melayu)

 

di dermaga aku singgah, melepas lelah. kuseduh sejenak peluh

yang bertamasya di ujung sauh. rumah-rumah panggung

tetap tabah menahan gerusan abrasi dan ziarah air bah

yang menjarah setiap jengkal tanah.

dan perahu tongkang menyalak, membawa balak yang terserak

dimainkan gelombang. sebelum melaju melebihi kecepatan sampan.

 

(tubuh atan telah meringkih. ketika kampungnya dibingkai pipa

namun irama kemiskinan masih serupa tetabuhan derita)

 

lalu, ke muara kumaknai kata-kata. seperti arus yang kukayuh menuju hulu

diam dan membisu. sedang dayung masih terkurung murung di tubir sungai

memainkan bahasa rerumputan di ranjang musim semi musim birahi.

“telah kusetubuhi setiap belantara dan sungai

namun selalu saja melahirkan asap dan limbah industri

yang dibuang seperti bayi-bayi hasil onani!”

 

Sungaiduku, 2005

 

 


 

SAJAK PETANI

 

misalkan lumbung padi setia menanti

sampai musim panen tahun ini, mungkin tak ada luka

di pematang dan parit-parit irigasi

yang dipenuhi air mata

lalu, anak-anak akan menabuh rindu

sambil bermain layang-layang

sepanjang siang

 

tapi cangkul terlanjur berkarat

sebab beras yang dikirim dari kampung tetangga

telah mengeringkan sawah-sawah

dan mematikan kerbau,

serta menggenangi lambung petani

hingga menyisakan risau

 

dari balik gubuknya, petani bermimpi

tuan memberikan replika kemakmuran

hanya replika dari batu, atau kayu

itu pun hanya mimpi,

seperti sepotong lukisan gugusan pulau-pulau

yang hijau, yang subur

tapi dihuni hama-hama yang bersarang

di hati tuan

 

barangkali di dapur, istrinya sedang menggerus nasib

sambil menanak pasir yang selalu tuan taburkan

di sawah mereka. sehingga tumbuh menjadi dendam

atau kembang kemiskinan

 

               Bogor, 2006

 

 

 

 

KADO ULANG TAHUN

 

di depan lilin usiaku yang menyala keperakan

tuhan mulai meniupkan kematian

di jantungku.

...... yang payau

 

Bogor, 2006

 

 

 

POTRET CINDERELLA DAN TUKANG SOL

 

sepanjang boulevard, dia selalu berkaca

pada anak-anak yang menciumi hujan

lalu memetik rambutnya satu-satu,

seperti daun marpel

“di taman dan sepanjang kanal, cintaku

ingin kupasangkan sepenggal paruku

di kakimu, sebelum kau campakkan jemariku yang ngilu

ketika kurajut luka di hatimu”

 

Jakarta, 2006

 

 

 

 

HISTOGRAF

 

peluhku menyisakan jejak di setiap stasiun

yang kau tandai ,

ketika kulayari sungaimu tanpa jejak

“ah, bidukku tercerabut dari tempuling

dan menjauhkanku

menuju samudera paling asing”

 

ya, katamu, tubuhku telah mengembara

ke segala penjuru paling durjana!

 

Jakarta, 2006

 

No comments