Illegal Logging dan “Tangan Tuhan”
Oleh M Badri SP MSi
Permasalahan illegal logging (pembalakan liar) tidak pernah selesai
dibicarakan. Dari tahun ke tahun isu tersebut justru semakin memanas, karena
penyelesaiannya tak kunjung mencapai titik temu. Seperti fenomena gunung es,
kasus yang mencuat ke permukaan hanyalah sebagian kecil dari praktik pembalakan
liar yang melibatkan masyarakat, korporat, aparat, dan pejabat. Kerusakan
lingkungan yang ditimbulkannya, kemudian menyebabkan bencana alam dan bencana
ekonomi yang berkesinambungan.
Riau sebagai daerah
yang memiliki potensi sumber daya alam cukup memadai, kemudian menjadi daerah
yang menjadi sorotan media karena kasus pembalakan liar. Hal ini disebabkan
pejabat berwenang terlalu mudah memberikan izin bagi perusahaan-perusahaan
pengelola hutan tanpa melalui kajian ekologis yang memadai. Selain itu regulasi
yang diberlakukan juga banyak yang tidak ramah lingkungan, bahkan cenderung
memberikan celah bagi perusahaan untuk melakukan perusakan.
Pembalakan liar di
Riau memang luar biasa. Setelah penemuan sekitar 100.000 meter kubik kayu
ilegal di Pelalawan, belum lama ini kembali dibuktikan dengan penemuan ribuan
tual kayu oleh tim gabungan pemberantasan illegal
logging di Kampar. Hanya
berselang empat hari setelah penemuan 2.500 tual kayu di Desa Mentulik pada dua
titik lokasi, tim kembali menemukan dua titik tumpukan kayu yang jumlahnya
mencapai ribuan (Riau Pos, 4 Mei 2008).
Namun sampai sejauh
ini penindakan terhadap pelaku pembalakan liar masih belum terlihat. Kondisi
tersebut antara lain disebabkan rumitnya penanganan hukum terhadap kasus
tersebut. Bahkan dalam banyak kasus, pelaku yang jelas terbukti bersalah dapat
dinyatakan bebas ketika sampai di pengadilan. Hal itu tentu saja menimbulkan
tanda tanya di benak masyarakat. Melihat fenomena hukum yang demikian, tentu
saja pelaku pembalakan liar semakin leluasa melakukan aksinya sebab mereka
merasa mudah melepaskan diri dari jeratan hukum.
Miskomunikasi
Antarinstitusi
Ketidakpastian hukum
dalam penanganan kasus pembalakan liar disebabkan karena belum adanya
kesepahaman antarinstitusi penegak hukum. Terjadinya ketidaksepahaman tersebut
kemudian menyebabkan terjadinya miskomunikasi antarinstitusi, terutama
Departemen Kehutanan dan Polri. Hal itu kemudian memunculkan ego institusi
dalam menanganai kasus tersebut. Sehingga penanganannya menjadi berlarut-larut
tanpa kepastian hukum yang jelas. Ini merupakan suatu kemunduran, mengingat
perang terhadap pembalakan liar sudah dilakukan oleh jajaran Polda Riau sejak
awal 2007 lalu.
Kondisi tersebut
tercermin dengan masih disibukkannya Polda Riau oleh agenda untuk melengkapi
berkas perkara terhadap 14 perusahaan HTI yang tergolong besar. Hal itu
disebabkan, Kejaksaan Tinggi Riau menyatakan berkas perkara yang disampaikan
polisi belum lengkap untuk dapat menuntut perusahaan-perusahaan itu telah
melanggar aturan hukum. Kejati Riau ingin berkas itu benar-benar lengkap agar
ketika bertarung di pengadilan, jaksa dapat memenangkan perkara (KOMPAS, 30
April 2008).
Kasus pembalakan liar
dan sengketa kasus hukum kayu di Riau, kemudian dinilai sangat berat.
Logikanya, kalau tidak berat, tentunya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak
akan membentuk tim khusus penyelesaian kasus Riau di bawah koordinasi Menteri
Koordinator Politik Hukum dan Keamanan. Namun hal itu belum menjadi jaminan
kasus perkayuan di Riau diselesaikan dengan baik. Yang terjadi justru adanya
kesimpangsiuran masalah hukum dan aturan-aturan penindakan.
Kalau presiden saja
tidak mampu mengatasi permasalahan pembalakan liar di Riau, lalu siapa lagi?
Wajar bila masyarakat cenderung apatis melihat kasus pembalakan liar di
lingkungannya. Hal ini disebabkan banyaknya permainan hukum yang melibatkan
pihak berwenang, baik itu pemerintah pengambil kebijakan maupun aparat
penindak. Akhirnya masyarakat hanya menunggu sambil berharap tidak menjadi korban
dari dampak negatif kerusakan hutan.
Menunggu Tangan
Tuhan?
Melihat kondisi
penanganan pembalakan liar tersebut, apakah kita hanya bisa menunggu “Tangan
Tuhan” untuk mengatasinya? Masyarakat kemudian mengurut dada bila melihat
dampak lingkungan akibat pembalakan liar seperti banjir, tanah longsor dan
sebagainya yang rutin melanda berbagai daerah di Riau. Lebih ironis lagi,
bencana tersebut melanda sebagian besar masyarakat yang tidak terlibat dalam
kejahatan alam tersebut. Ibarat pepatah, masyarakat yang tidak makan hasil
pembalakan liar justru terkena getahnya (bencana).
Untuk itu, konsep
penanggulangan pembalakan liar sebaiknya berorientasi kepada masyarakat itu
sendiri. Sebab ujung tombak dari kegiatan ilegal tersebut sebenarnya ada pada
masyarakat, baik individu maupun atas nama perusahaan, dengan alasan ekonomi
dan sebagainya. Rendahnya pemahaman mengenai urgensi lingkungan untuk masa
depan generasi berikutnya, menjadi faktor lain yang menyebabkan mereka dengan
leluasa melakukan perusakan hutan. Selain itu, tentu saja perlu adanya
ketegasan hukum dan keberanian aparat terkait untuk menindak korporat, pejabat
dan oknum aparat itu sendiri yang melakukan atau mendukung pembalakan liar.
Dalam konteks
penanggulangan pembalakan liar, sedikitnya ada lima hal yang perlu diperhatikan
yaitu pertama, pentingnya
menumbuhkan kesadaran konservasi bagi masyarakat yang berpotensi melakukan
pembalakan liar. Kerusakan hutan sering kali dihubungkan dengan kurangnya
kesadaran masyarakat tentang arti pentingnya kegiatan konservasi, sementara
masyarakat yang dituduh sama sekali kurang paham dan tidak menerima begitu saja
tuduhan tersebut. Oleh karena itu, peningkatan kesadaran dan pemahaman akan
pentingnya penyelamatan lingkungan merupakan langkah awal untuk mengatasi pembalakan
liar.
Kedua, perlunya pembangunan sumber
perekonomian baru bagi masyarakat sekitar hutan. Sebab pembalakan liar
seringkali dilakukan karena masyarakat tidak memiliki alternatif lain untuk
memenuhi kebutuhan ekonominya. Rendahnya daya beli akibat tingginya harga
kebutuhan pokok menyebabkan masyarakat sekitar hutan melakukan tindakan
pembalakan liar. Sebab nilai ekonomis kayu dinilai lebih tinggi dari sektor
agraris yang bagi sebagian besar masyarakat dianggap tidak menjanjikan.
Ketidakberdayaan sektor agraris ini selain disebabkan karena rendahnya harga
jual hasil pertanian, juga sulitnya akses pasar bagi masyarakat di pedalaman.
Ketiga, perlunya pembangunan
akses transportasi untuk mempermudah pengawasan dan pemberantasan praktik
pembalakan liar. Sebab salah satu faktor penyebab sulitnya mengungkap kasus
tersebut karena sulitnya transportasi menuju lokasi yang berpotensi mengalami
pembalakan liar. Sebagai contoh, sulitnya menembus medan dalam penemuan ribuan
tumpukan kayu tebangan hutan alam di sekitar kanal-kanal milik CV Alam Lestari
di Pelalawan beberapa waktu lalu. Untuk menemukan kayu tersebut, aparat Polres
Pelalawan didampingi Dinas Kehutanan dan tim ahli dari Institut Pertanian Bogor
harus melewati semak belukar dan menelusuri kanal-kanal di areal hutan gambut.
Keempat, perlunya membangun
kesepahaman dalam menindak kasus pembalakan liar antara Departemen Kehutanan
sebagai pihak yang mengeluarkan izin pengelolaan kehutanan dengan kepolisian
dan kejaksaan. Hal ini penting sekali sebab banyak kasus pembalakan liar yang
proses hukumnya tidak dapat dilanjutkan, karena berbenturan dengan regulasi
kehutanan seperti hutan tanaman industri (HTI), hak pengusahaan hutan (HPH),
maupun rencana kerja tahunan (RKT) pemanfaatan hutan. Untuk itulah masing-masing
institusi pemerintah perlu menyamakan persepsi atau membuat regulasi khusus
untuk menangani pembalakan liar.
Kelima, perlunya tansparansi dan keberanian
dalam menindak pejabat atau aparat yang terlibat secara langsung maupun yang
mendukung kegiatan pembalakan liar. Sebab sudah menjadi rahasia umum, banyak
oknum pejabat dan aparat baik di daerah maupun di pusat yang terlibat dalam
kejahatan sumber daya alam tersebut. Di sini, masing-masing institusi perlu
membersihkan diri dari oknum-oknum yang berpotensi merusak citra aparat dan
pejabat di mata masyarakat. Peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu
dioptimalkan untuk “menyekolahkan” pejabat yang kurang berpendidikan moral dan
lingkungan.
Setidaknya bila
kelima tindakan tersebut dilakukan secara efektif, untuk melakukan
penanggulangan pembalakan liar di Riau tidak perlu menunggu “Tangan Tuhan”.
Cukup pihak berkompeten yang melakukan tindakan preventif dan represif dalam
menyelamatkan hutan Riau. Sebab bila “Tangan Tuhan” yang bertindak, dampaknya
akan berakibat fatal, melalui berbagai bencana alam yang tidak hanya melanda
masyarakat yang berdosa, tetapi masyarakat yang tidak berdosa pun terkena
imbasnya. Terlebih fenomena global
warming saat ini banyak
menyebabkan berbagai fenomena alam yang berpotensi menyebabkan kehancuran. Hal
itu, antara lain disebabkan kerusakan hutan karena pembalakan liar.***
Dimuat
di Riau Pos, 13 Mei 2008
No comments
Post a Comment