Jus Simalakama
BAGAI jus buah
simalakama, demikian kira-kira pepatah yang sedang membuat ruwet pikiran
pemerintah. Melonjaknya harga minyak dunia menyebabkan negara-negara konsumen
minyak bumi pusing tujuh keliling. Tak terkecuali Indonesia, yang sedang
mengalami sakit perekonomian. Bila harga bahan bakar minyak (BBM) tak
dinaikkan, pemerintah “mati” karena harus menanggung subsidi yang jumlahnya
semakin meninggi. Kalau dinaikkan, maka masyarakat yang “mati” karena semakin
rendahnya daya beli.
Tetapi akhirnya
pemerintah memilih masyarakat yang “mati”. Sebab pemerintah kembali memutuskan
segera menikkan harga BBM di tengah keterpurukan ekonomi masyarakat akibat
kenaikan harga BBM sebelumnya. Pemerintah masih tutup mata imbas tingginya
harga BBM yang menimpa sektor usaha kecil menengah, yang sebagian besar gulung
tikar. Juga para petani, nelayan dan buruh yang pendapatannya tak mampu
mengimbangi lonjakan harga kebutuhan pokok.
Ketika memutuskan
untuk “mematikan” masyarakat, pemerintah tidak melihat sisi lain yang selama
ini punya andil “mematikan” pemerintah. Para pengemplang BLBI dan para penjarah
sumber daya alam Indonesia seharusnya yang dimatikan, daripada rakyat. Juga
para koruptor, penjahat kerah putih, tikus-tikus kantor, yang masih banyak
berkeliaran di kantor-kantor pemerintah yang seharusnya dibasmi. Nilai
kejahatan ekonomi mereka, bila dihitung dan dijumlah, tentu saja nilainya
sangat besar dan bersisa kalau hanya digunakan untuk mensubsidi BBM bagi
masyarakat.
Kita mafhum saja,
dimana-mana rakyat selalu berada di bawah. Sebab kata “pemerintah” selalu
mempunyai konotasi “pemberi perintah”. Kalau pemerintah sudah memerintahkan
untuk menjual BBM dengan harga tinggi, mau apa lagi? Demonstrasi sudah tidak
punya taji, sebab selama ini hanya sebagai hiburan yang selalu menyelingi
setiap kebijakan. Anak-anak TK hingga yang sudah sangat tua, warga kota sampai
pelosok desa, saat ini mengenal dan pintar berdemonstrasi, yang dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) antara lain berarti pertunjukan. Yah, demonstrasi
saat ini tak lebih dari pertunjukan jalanan yang kerap menjadi hiburan
pemerintah.
Pemerintah berani
“mematikan” masyarakat karena itu pilihan yang paling berani, sebab pemerintah
tidak berani “mematikan” para koruptor dan penjahat ekonomi lainnya. Termasuk
para penimbun dan penyelundup BBM yang sering bermain mata dengan aparat.
Mereka itulah yang menyebabkan keterpurukan ekonomi selama ini. Jeritan nelayan
yang tak lagi melaut, airmata buruh yang semakin tertindas, rintih petani yang
terus merugi, bisakah membuka mata hati pemerintah untuk berani berempati
kepada masyarakat?
Kalau saja kita punya
pemimpin yang berani, mungkin masyarakat tidak harus “mati” karena meminum jus
buah simalakama BBM. Banyak subsidi lain yang bisa dialihkan untuk mensubsidi
rakyat, misalnya subsidi mobil mewah dan tunjangan antah berantah bagi pejabat
dan wakil rakyat. Atau setidaknya mensubsidi kebutuhan pokok lainnya agar tidak
ikut melonjak. Sebab tahu sama tahu, sebenarnya yang membuat miskin pemerintah
bukanlah masyarakat. Lalu pilih mana, hidup di Republik Mimpi yang penuh
lelucon atau di Republik Indonesia yang juga penuh lelucon. Kalau ini bukan
simalakama! (M Badri)
No comments
Post a Comment