Kurikulum
Menyusun
kurikulum Ilmu Komunikasi katanya tidak beda dengan meracik sayur asem. Harus
pas komposisi bumbu-bumbunya. Supaya tidak terlalu hambar atau terlalu asem.
Katanya, kalau terlalu hambar tidak sesuai alias tidak cocok dengan lidah
pasar. Kalau terlalu asem, lidah pasar tidak bisa membedakan mana yang baru
diracik dan mana yang basi.
Lho kenapa pasar?
Apakah kurikulum dibuat hanya untuk menghamba pada lidah pasar? Menurut Prof
Bedjo Kampretto, pakar komunikasi dari Republik Blakblakan bisa saja iya bisa
saja tidak. Iya kalau lulusannya memiliki cita-cita menjadi kuliner: kuli
koran, kuli televisi, kuli radio, kuli online, kuli perusahaan, kuli apa saja
yang penting heppiii.
Tidak, kalau
ingin menjadi pengusaha, misal pengusaha odong-odong, pengusaha rental
komputer, pengusaha vcd bajakan, bahkan pengusaha kata-kata alias
pendakwah, pembicara, penyiar, penulis… Atau paling suai menjadi pemilik
konsultan humas, konsultan media, pengusaha media, pengusaha advertising,
pengusaha komuniksi apa saja harus mengikuti selera pasar, customer,
klien, bla bla bla. Pengusaha odong-odong sekalipun harus mengikuti selera
anak-anak, rental komputer yang lelet pasti tidak laku, dan apa lagi……? Selama
masih berkaitan dengan konsumen, user, pemakai tentu harus mengikuti kebutuhan
mereka.
Misalnya mereka
membutuhkan lulusan komunikasi yang bisa nulis dengan benar, minimal huruf
besar huruf kecil tidak ketukar, kalau yang datang tidak bisa menulis satu
paragraf pun dengan tepat ya… ke
laut saja…. eh, salah! Kata Mbah Tejo Presiden Republik #Jancuker tidak
boleh ke laut… tapi ke
darat saja, misalnya belajar lagi, kursus lagi, berguru lagi. Lha empat tahun
lima tahun sampai tujuh tahun kuliah itu ngapain aja? Ngorok, cengengesan,
mainan jempol???
Atau pasar
membutuhkan sarjana yang akrab dengan teknologi komunikasi modern, komputer,
internet, media sosial, bla bla bla…. Kalau bisanya hanya ngetik di microsoft
word dan paling canggih main poker mending pulang kampung menakik getah, ndodos
sawit, mancing di parit. Kalau begitu adanya sudah pasti akan tersingkir dari
persaingan dengan tidak hormat. Lagi lagi salah siapa? Salah kurikulum, salah
kampus, salah mahasiswa, salah dosen? Pikir saja sendiri.
Tapi mau jadi
apapun tentunya harus mengikuti perkembangan yang terjadi. Perguruan tinggi
tidak boleh menjadi lembaga otoriter yang mau melakukan apa maunya saja. Atas
nama keilmuanlah, atas nama jubah besar akademiklah, sehingga lupa bahwa
lulusannya akan berkiprah di masyarakat, dunia kerja sebagai kuliner atau
pengusaha. Setidaknya mengikuti pepatah pebisnis “saya memproduksi apa yang
dibutuhkan orang.” Bukan saya memproduksi apa yang saya bisa, tak peduli orang
butuh apa tidak. Kalau begitu ya bangkut…. Misalnya jadi pengusaha konsultasi
politik, karena orang butuh konsultan; pengusaha media, karena orang butuh
media; pengusaha radio, karena orang masih mau mendengar radio; pengusaha PH
dan televisi, karena orang butuh nonton, dan lain sebagainya.
Meracik kurikulum
dengan bumbu-bumbu akademik dan praktis yang pas diperlukan untuk menghindari
pendapat bahwa lulusan ilmu komunikasi tidak siap pakai. Karena pendidikan
tinggi kadang terlalu terjebak pada pengajaran yang hanya berorientasi pada
intelektualitas, emosional dan spiritualitas belaka. Sehingga mengabaikan
keahlian pada rumpun yang diambilnya. Begitu juga dengan dunia kerja yang
terlalu pragmatis, melupakan teoritis dan filosofisnya.
Mengutip tulisan
Prof Bedjo Kampretto, dengan terus membangun diskursus akademisi-praktisi,
tentunya akan terjadi simbiosis mutualistis antara perguruan tinggi dan dunia
kerja. Dengan adanya relasi tersebut, tentu harapannya tidak ada lagi
eksklusivitas antara akademisi dan praktisi. Apalagi sampai terjadi dikotomi
dua sektor yang sejatinya saling mendukung dan membutuhkan tersebut.
Untuk itulah,
dalam menyiapkan kurikulum, penyelenggara pendidikan tinggi ilmu komunikasi
tidak boleh menutup mata dari realitas praktis. Perguruan tinggi setidaknya
terus melibatkan kalangan praktisi untuk mengetahui kebutuhan pasar yang terus
berubah, seiring kemajuan teknologi. Sehingga kurikulum yang diajarkan memang
berbasis kompetensi, namun tidak melenceng dari hakikat pendidikan tinggi.
Kata Prof
Kampretto, penyusunan kurikulum harus didukung dengan riset yang terus
mengikuti perkembangan teknologi informasi komunikasi. Kemudian kesiapan
laboratorium untuk mengenalkan teknologinya kepada mahasiswa, serta terus meng-update kemampuan dan keahlian tenaga
pengajar. Dengan demikian, tidak ada lagi istilah tidak siap kerja, bekerja
atau membuka lapangan kerja, bagi lulusan ilmu komunikasi. Siap kerja lho,
sekali lagi siap kerja. Bukan mahir kerja. Kalau mau mahir ya kerja dulu…..
Menurut saya itu
lho, kurikulum yang ideal di Republik Blakblakan. Entah kalau di Republik
Indonesia. ^_^
No comments
Post a Comment