Hujan Akhir Bulan
Hujan sore itu dirindukan banyak orang. Setelah berbilang
pekan menghirup udara pengap. Dipenuhi jutaan ton karbon. Hujan di akhir bulan.
Meluluhkan siang yang garang. Sebab angin kering dan kabut asap, hampir
membuatku tak bisa mengikuti diskusi sastra di Bandar Serai. Kalau saja kamu
tidak mengirim pesan singkat.
“Aku akan datang!”
Katamu, dalam pesan pendek yang terkirim menjelang tengah malam. Aku sengaja tidak membalas. Karena
aku tahu, kamu selalu menepati janji. Seperti hujan sore itu.
Acara diskusi sastra, akan semakin riuh kalau kamu hadir.
Suasana beku, tiba-tiba menjadi panas kalau kamu sudah mengeluarkan isi kepala Helene
Cixous, Virginia Wolf, Betty Freidan, Shulamit Firestone hingga Kate Millett.
Sebab pikiranmu sudah berisi campur aduk logika psikoanalisnis, postmodern,
marxis, bahkan radikal. Ramuan yang membuatmu seperti serigala liar ketika
berdiskusi tentang persoalan perempuan.
Aku ingat, ketika kamu mati-matian mengkritisi Sigmund Freud
dalam sebuah forum diskusi sastra di selatan Jakarta. Kamu menganggap pemikiran
filsuf kelahiran Freiberg itu terlalu cabul, karena memandang persoalan hanya dari sudut
pandang kelamin. Tapi itu dulu. Sebelum kamu tiba-tiba menghilang begitu saja.
“Hidup, kadang absurd.”
Katamu. Singkat. Lalu pergi meninggalkan Jakarta. Menjauh
dari keriuhan dunia aktivisme. Mengasing dari diskursus dan debat-debat
melelahkan. Melarikan diri dari kerumuman demonstran jalanan. Selama
bertahun-tahun tidak ada yang tahu ke mana kamu raib. Tanpa jejak. Semua akun
email dan media sosial milikmu tidak bisa diakses. Banyak yang kemudian
berpikiran kamu telah diculik. Hilang malam. Sebab seminggu sebelumnya, kamu
sempat terlibat demonstrasi besar-besaran di Bundaran HI.
***
Mungkin aku harus berterimakaih pada Zuckerberg. Anak muda
keriwil yang dulu sering iseng memasang
wajah-wajah perempuan seksi di prototipe situsnya. Jika tidak, mungkin aku
tidak pernah menemukanmu di antara miliaran wajah yang berserakan di ratusan
ribu server. Dengan iseng juga, aku mencari nama-nama yang identik dengan kesukaanmu.
Sampai pada nama bunga: Belladonna. Tanaman cantik, tapi salah satu paling
beracun di dunia. Karena mengandung alkaloid
tropane.
“Hanya perlu sehelai daun untuk membunuh seorang pria,”
katamu, tentang nama samaran yang sesekali kamu gunakan.
Benar saja, di antara ratusan gambar seksi di kolom pencari,
aku melihatmu terselip di sana. Sebuah gambar siluet wanita berambut panjang
berwarna sepia. Warna tua perpaduan coklat dan abu-abu. Awalnya aku ragu kalau
itu kamu. Sebab terakhir bertemu, kamu masih berambut cepak, tanpa gincu dan
bedak. Akhirnya aku menekan tombol kedua dari sudut kanan. Sepekan kemudian
baru ada respons. Kamu mengonfirmasi pertemanan. Dan benar, nama kembang yang
bisa membuat pupil mata membesar, penglihatan kabur, sakit kepala,
berhalusinasi dan kegilaan itu adalah kamu.
“Ke mana saja, bertahun-tahun menghilang?”
“Di suatu tempat. Di pedalaman Sumatera.”
“Kamu menghindari sesuatu?”
“Hidup kadang absurd, kawan!”
Kamu mengulang kembali kata-kata terakhir yang kamu ucapkan.
Dulu, sebelum hilang dari keriuhan para demonstran. Kamu pergi tanpa pamit.
Seolah ada kekecewaan luar biasa. Meninggalkan Jakarta begitu saja. Kota yang
dulu kamu pandang sebagai muaranya gerakan sosial.
***
Kamu datang juga sore itu. Menjelang diskusi sastra yang
diadakan sebuah komunitas selesai. Kamu menyendiri di belakang. Tanpa suara.
Hanya mengamati dari jauh. Kontras dengan lakumu dulu. Saat kita sama-sama
sering menyambangi Utan Kayu dan Cikini. Tak ada Helene Cixous dan kawan-kawan
di ruangan itu. Diskusi terasa sepi.
Acara selesai sebelum jam tiga. Lalu aku menghampirimu. Nyaris
tak ada perubahan. Masih tanpa bedak dan gincu. Tanpa pewangi yang menebarkan
harum palsu. Hanya rambut panjang sebahu yang membedakanmu dari lima tahun
lalu. Juga aroma rimba yang kini semakin kentara.
Tak perlu percakapan panjang. Seperti tanah dan hujan yang
lama tak bertemu. Bukankah kita sudah sering berbincang di jejaring sosial?
Meski kamu tidak mau bercerita tentang aktivitasmu sekarang. Yang menjauhkanmu
dari dunia aktivisme tempo dulu.
“Aku akan bercerita, nanti. Kalau kita bertemu.”
Katamu waktu itu. Ketika rayuan untuk mengorek isi kepalamu
tak juga berhasil. Kamu masih menyimpan rahasia. Hingga sore ini. Aku akan
menagih janji itu. Berharap kamu bercerita panjang. Sepanjang waktu yang lama
hilang.
Aku ingin mengajakmu ke sebuah kafe. Merayakan rendezvous. Masih seperti dulu. Memesan dua
cangkir kopi tubruk. Kopi yang ditumbuk dengan khusyuk. Dengan alu dan lesung
kayu. Hingga rasa dan aromanya menjadi satu. Kopi yang berasal dari
ladang-ladang. Ditanam penuh rasa rindu petani pada musim panen.
Kamu tidak menolak. Sebab di kafe, ditemani dua cangkir
kopi, sepiring pisang goreng, kita bebas bercerita apa saja. Mungkin lebih
panjang dari sekadar cerita pendek yang biasa kita tulis. Bertahun-tahun,
mungkin ada episode-episode yang sama-sama kita lewatkan. Banyak kejadian-kejadian
yang kita abaikan.
***
Kemudian di suatu senja kita duduk bersama. Di bangku kayu,
menghadap jalan raya. Menikmati asap yang mengepul di sepanjang aspal. Asap
rindu, setelah berhari-hari tak dibelai hujan. Cahaya matahari memantul dari
jalanan basah. Hinggap di dagu dan pipimu. Membelai rambutmu yang berwarna gambut.
“Sejak itu aku memilih pedalaman. Mungkin lebih berguna dibanding
terus-menerus terjebak di keriuhan kota. Apalagi suatu waktu, aku melihat
aktivis senior kita, yang dulu menjadi mentor kita, bermain di balik aksi-aksi
yang dilakukannya. Memperkaya diri. Membangun oportunisme politik. Aku semakin
apatis dengan dunia aktivisme sekarang. Kadang penuh kemunafikan, kepalsuan,
muslihat dan kepentingan.”
Kamu bercerita, sambil menyeruput kopi yang harumnya terus
mengepul.
“Karena itu kamu lari? Dari kenyataan?”
“Aku tidak lari. Masih konsisten dengan laku yang kujalani.
Hanya saja, tidak ingin terjebak dengan aksi-aksi palsu.”
“Sebegitu apatis kah?”
“Ya!”
“Lalu, apa yang kamu lakukan di pedalaman?”
“Hidup kadang perlu tindakan-tindakan absurd. Kita sering
tidak tahu siapa yang memanfaatkan dan siapa yang dimanfaatkan.”
Kamu kembali menyeruput kopi. Memandang jalan raya.
Menikmati lalu-lalang kendaraan. Bising knalpot. Sumpah serapah pengemudi
angkot.
“Aku merasa damai di sana. Berbaur dengan orang-orang
pinggiran, orang-orang yang terpinggirkan. Mereka itu, komunitas-komunitas yang
tidak mendapat akses secara ekonomi, kesehatan, apalagi politik.”
Katamu sinis. Lalu bercerita panjang. Ternyata kamu memilih
menjadi pendamping bagi orang-orang marjinal. Komunitas adat yang tinggal di
pedalaman hutan. Bersebati dengan alam. Berkawan babi hutan, siamang, dan segala
rupa siluman. Bukankah kamu malah meracuni kesederhanaan mereka?
“Tidak! Aku hanya mengajai mereka berpikir kritis. Kalaupun
mereka melakukan tindakan-tindakan radikal, itu pilihan. Aku tidak pernah
menggerakkan mereka, saat ramai-ramai membakari eskavator yang akan membuat
kanal-kanal di hutan yang ditebangi secara membabi-buta.”
“Sampai sejauh itu pengaruhmu di sana?”
“Aku tidak mempengaruhi mereka. Ternyata mereka bukan
orang-orang terbelakang. Kesadaran kritis mereka timbul dengan sendirinya. Aku juga
tidak pernah menyuruh mereka, saat ramai-ramai merusak kamp-kamp perusahaan perkebunan
yang setiap kemarau membakari lahan. Sekali lagi, itu karena mereka mampu berpikir
kritis.”
“Dan kamu yang membangkitkannya?”
“Terserah kamu. Aku hanya mengajari mereka mengeja alam, membaca
lingkungan, menulis masa depan. Menyatukannya dalam paragraf dan ekosistem yang
saling bergantung. Menjadi sebuah catatan yang berkelanjutan.”
“Sama saja. Kamu mendidik mereka menjadi radikal!”
“Terserah kamu. Memandangnya dari perspektif mana. Batas
antara radikal dan ideal sangat tipis.”
“Tapi hati-hati, perusahaan-perusahaan itu sudah
berkonspirasi dengan aparat dan preman.”
“Risiko itu sudah kuperhitungkan.”
“Kamu memang nekat. Mematikan. Persis nama barumu.”
“Ha-ha-ha-ha...”
Keras kepalanya tidak berubah. Masih seperti dulu. Aku
mengira sejak tinggal di antara komunitas orang rimba, menjadi lembut dan sejuk.
Tapi ternyata semakin liar. Tiba-tiba kamu bisa sehening desau angin di antara belantara.
Sekali waktu kamu menjadi badai.
Kita pun menyelesaikan senja dengan perasaan gamang. Waktu
berdetak semakin singkat. Tidak sebanding dengan penantian panjang. Seperti
hujan sore itu. Hanya menderas sebentar. Tidak sebanding dengan lama kemarau.
Kabut asap hanya lenyap sesaat.
***
Matahari kembali jatuh cinta pada bumi. Menyengat, meniupkan
angin kering dan kemarau. Kabut asap mengiringi. Setelah ditabuhi para pembakar
hutan dan lahan. Merayakan jutaan ton karbon yang melayang ke angkasa. Dan dari
jauh, aku mendengar kabar, perkampungan orang-orang rimba ikut terbakar. Atau
dibakar?
Berita di media massa, ada yang menyebut perkampungan itu
dibakar orang-orang suruhan perusahaan. Media lainnya, mengutip pemerintah dan
humas perusahaan yang beroperasi di sekitar hutan, perkampungan itu ikut
terbakar setelah penghuninya membakari perkebunan. Mana yang benar?
Aku ingin menghubungimu. Sekaligus ingin tahu nasibmu. Sebab
lokasinya persis di tempat yang sekarang kamu tinggali. Perkampungan
orang-orang, yang katamu, kini mampu berpikir kritis. Tidak menerima keadaan.
Terutama penindasan dan kesewenang-wenangan. Tapi akun jejaring sosialmu sudah
lama tidak aktif. Status terakhir: Merayakan
rindu pada senja yang gamang. Tertanggal, hari kita bertemu. Sore itu, saat
hujan di akhir bulan. Kata-katamu kembali terngiang.
“Hidup kadang absurd. Risiko itu sudah kuperhitungkan.”
Tapi suatu malam, tiba-tiba aku membaca pesan singkat di
inbox:
“Aku akan menghilang lagi. Tidak usah dicari.”
Lalu, kulihat nama profilmu berubah. Amanita Muscaria. Aku segera
mencari di Wikipedia: sejenis jamur beracun, berwarna indah. Efeknya hampir
sama: menyebabkan gangguan pada sistem saraf, denyut jantung, halusinasi,
bahkan koma. (*)
Pekanbaru - Bogor, 2013
1 comment
luar biasa tulisannya bang..
superr
Post a Comment