Amsal Sebuah Kota
Aku
telah menandai setiap lorong hingga gorong-gorong
burung-burung
menjelma jadi belatung
dan
asap-asap rokok mewarnai kematian
di
kamar-kamar kelas ekonomi
sampai
pagi
Aku
lupa membaca catatan di setiap lekuk kota
ketika
botol-botol bir beradu dengan airmata
dan
lipstik meleleh di atas sprei dan kamar mandi
“di
sini putaran bumi tak pernah henti
ketika
kuku-kuku masih serupa belati”
Kunang-kunang
menyalakan lilin setiap malam
menatap
curiga pada rembulan bercahaya muram
saat
hinggap di pucuk-pucuk gedung
membawa
ilalang dan batu karang
bersama
mimpi-mimpi gamang
2004
Segelas Kopi Tumpah di Jendela
Kita
telah menyeduh segelas kopi dengan keringat dan airmata
di
warung kaki lima sambil menunggu saat yang tepat untuk bertapa
sengaja
kupeluk tiang-tiang nebula agar warna darahku mengental di dada
sebelum
kumamah aroma tubuhmu yang menyerupai akar kamboja
Bukalah
jendela rumahmu yang dipenuhi lumut dan laron
aku
akan datang menyerupai kelelawar yang terbang dengan jaring laba-laba
Kemudian
kukatakan:
segelas
kopi yang kemarin kita seduh
tumpah
di jendela dan hanyut bersama hujan
sebab
percintaan kita terasa pahit menyerupai kematian
2004
Kuambil Rembulan di Jantungmu
:yang terhormat
arwah Raja Ali Haji
Waktu.
itulah yang telah membawaku mengarungi gemuruh bahasa sambil mendidihkan
kata-kata. setiap bahasa memiliki tanda koma titik dua dan garis miring yang
melengkung dalam kungkungan tanda baca. etimologi itu. tumbuh dari kesunyian
yang menggenang dalam ceruk kehidupan. kita hanya bertemu dalam bayang-bayang
tanpa pernah mengarungi hujan dan menjerang cahaya di bukit-bukit puisi atau
gunung-gunung prosa. kubaca lagi gurindam yang telah lama diam dalam kesepian
sambil mengeja surga neraka. di samping kitab suci kuziarahi diriku yang telah
lama berserak di antara buku-buku tua dalam lemari tanpa kaca. bukan sekedar
eulogi kembali kutaburkan serpihan kata-kata lewat angin yang berhembus
menjelang adzan subuh mengemasi malam rapuh.
Rembulan
tumbuh di dadamu. gurindam bersemai di celah-celah jantungmu dan berakar hingga
di sudut-sudut jemari. “barang siapa memetik dan mengkaji buahnya takkan
tersesat di padang kata.”
Petuah
melayu. mengantar rindu pada persinggahan-persinggahan waktu. sebelum mengelana
di jalan-jalan yang memanjang sepanjang peradaban. berbaur bersama
kepingan-kepingan cahaya yang memendar dari serpihan kehidupan. kembali kupahat
rembulan yang mengapung sehabis gerimis mengetuk pagi. kemudian kuambil
rembulan yang tumbuh di jantungmu.
2003
Di Sebuah Kampung
Kulihat
kunang-kunang menari di sebuah kampung sepi
sambil
menenggak masa depan di perempat malam
aku
hinggap di pucuk-pucuk kelapa bersama rembulan
tidak
ada mendung yang akan membasuh gersang tubuh ini
sesayat
luka telah menjelma ilalang dan rerumputan
kemudian
tumbuh di dalam kamar-kamar petani
ketika
mimpi rambutnya menjadi batang-batang padi
2003
Membakar Kemarau
Matahari
membelah jantungku yang pasrah
menyelinap
di dinding musim bersama sederet cerita kelam
siapa
membedah zaman dengan debu-debu kelabu?
membasuh
wajah kota dan memedihkan air mata
setelah
membakar kemarau
Pagi
sarapan asap
siang
makan asap
sore
menelan asap
malam
inipun mimpi tentang asap yang melilit tubuhku
dan
menelanjangi pecahan peradaban yang kian parau
masihkan
kau simpan sisa malam dalam kantukmu yang berkabut?
setelah
seharian belajar membaca lekuk tubuh negeri sambil menjerang luka
Membaca
ladang kering yang hangus dan sungai-sungai retak
aku
sampai lupa warna hujan dan bau sinar rembulan
siapa
membakar kemarau?
sambil
mencumbui hari yang kian gamang
sungguh hutan itu benar-benar merintih! badai segera
tiba*
2003
*Meminjam kalimat dalam cerpen Gemerisik Suara Hutan,
karya penulis Rusia V. Korolenko.
Satu Malam dengan Seribu Bulan
Di
musim ini rembulan datang lagi padaku
lengkap
dengan cahaya yang menyentuh lambung dan sel-sel syaraf
membelai
hari-hari pencarian
masihkah
ada seribu rembulan di satu malam?
sementara
sebiji bintang dengan cahaya terang sulit kutemukan
di
belantara waktu dengan angin yang berhembus terlalu liar
menikam
hari dengan matahari sepanjang siang
haruskah
aku tetap diam dalam heningnya almanak
sementara
rumput dan hujan selalu berzikir
Seribu
bulan dalam satu malam
dengan
langit berselimut cahaya
lengkap
dengan lanskap bintang
orang-orang
berzikir dengan air mata
mungkinkah
kutemukan?
2003
Obituari Juli
: in memoriam Idrus Tintin
Ketika
nafas sajakmu terbang mengitari pulau demi pulau
yang
kau singgahi untuk mencari sebait puisi
perahu,
lautan dan badai menjadi ladang imaji yang kau semai dengan aliran kata-kata
perih
sajakmu, luka matahari yang terbaring di tengah kesunyian
waktu,
seperti burung-burung yang melayang tinggi di bisunya awan
Sajak
terakhir mengalir serupa cairan dalam selang di langit-langit kamar
setelah
kau erami selama berhari-hari, sambil menunggu hari
mungkin
akan kau tulis bersama ruh-ruh di negeri entah
yang
mengucapkan selamat datang, lalu mengajakmu menemui tuhan
melepaskan
rindu yang tertahan selama tujuh puluh satu tahun
Pertengahan
juli, matahari pucat pasi mengantarkanmu
orang-orang
yang kau tinggalkan menggenggam kegelisahan
kemudian
berziarah membawa bunga puisi yang mekar di malam hari
jangan
biarkan burung waktu terbang tanpa meninggalkan sarang di jiwa kita yang
gersang*
kata
mereka sambil menaburkan kata-kata di tanah merah
lalu
dirangkai menjadi sebuah buku
“biarkan
burung waktu terbang dengan tenang. doakan semoga dia bahagia di dunianya yang
baru”
2003
*meminjam salah satu judul sajak Fakhrunnas MA Jabbar
Kontemplasi
Tak
ada lagi airmata yang bisa kulukis menjadi puisi
sebab
mendung masih menggantung di atas gersang tubuhku
bercumbu
dengan lembaran-lembaran kalimat beku
setelah
bertahun-tahun memendam rindu pada barisan rakaat
sambil
mengeja selembar sajadah koyak yang membujur ke arah kiblat
Hening
ini masih berupa luka di malam gelisah
barisan
elegi membuncah di celah-celah reruntuhan mimpi
menikam
jubah tak berwarna di atas pecahan ranjang
yang
selalu mendendangkan dongeng persetubuhan
antara
kabut dan rembulan di malam kelam
kemudian
menanti badai berziarah di setiap persinggahan
Waktu
tinggal kerangka dalam almanak-almanak kusam
menghitung
angka-angka ganjil di meja makan
dengan
sepiring derita bercampur dosa tanpa zat perasa
rasa
telah mati membangkai di dalam hati
dan
menjelma debu-debu kelabu
menyayat
sepotong ruh yang tergantung di atas pintu
Rangkaian
tasbih menggantung pasrah
saat
bayangan subuh melintas di seberang malam yang lumpuh
2003
Di Depan Monitor
Akan
kukirim data-data lewat gumpalan elektron
setelah
mengendap dalam hardisk selama beberapa kilobite
di
atas keyboard aku telah melukisnya dengan ujung jari
esok
engkau kutunggu di beranda monitor
Kata-katamu
seperti kabel yang melilit jantungku
menembus
sel-sel syaraf lalu singgah di balik rerimbunan kalbu
lagu-lagu
santana memekik dari celah-celah speaker
membelah
malam tanpa password
Di
seberang sana barangkali mailboxmu sudah gelisah menunggu
sementara
aku masih resah di pinggir jalan
sekeping
disket berontak dari floppy bervirus
aku
masih menunggu
2003
Tentang Sebuah Masjid
Masih
adakah masjid yang berdiri di atas areal kalbu
berhias
99 nama-Nya yang diukir dengan salawat
dalam
bentangan sajadah yang membujur ke arah kiblat
berlampu
zikir yang terang tanpa nyala api
dimana
gema adzan menaungi dari hujan
Di
manakah masjid itu berada tidak ada yang tahu
sebelum
membasuh tubuh dengan percikan wudhu
dan
mencukur nafsu dengan gunting ibadah
kemudian
membuka pintunya dengan kunci tobat
Masih
adakah masjid yang tersembunyi di balik ruh
yang
ditiupkan sejak dalam rahim
bukan
berupa batu-batu yang disusun dengan perdebatan
kadang
hanya pelengkap arsitektur sebuah pemukiman
atau
gambar penghias kalender tahunan
Masih
adakah masjid yang tumbuh dari dasar nurani
ketika
konser dosa menenggelamkan doa
dan
malam sebagai simbol zaman yang semakin kelam
2003
No comments
Post a Comment