Sebuah Pengalaman, Bukan Memetakan
(Catatan Editor untuk Kumpulan Cerpen, Sajak dan Esai ”Tafsir Luka”)
Oleh Hary B Kori’un
SUATU pagi di hari Minggu, saya mendapat pesan pendek (sms) dari seorang pengarang, isinya: “Saya sudah menunggu lebih dari empat pekan, tetapi naskah saya belum juga dimuat. Apakah memang tak layak muat? Kalau memang tak muat, saya tarik lagi naskah tersebut...” Sms tersebut datang dari salah seorang pengarang yang lumayan terkenal di Riau, bahkan karyanya sudah banyak menghiasi halaman budaya media nasional. Saya bisa maklum dengan pertanyaannya itu.
Di hari yang lain, saya mendapatkan e-mail dari seorang pengarang yang juga mengenal saya, kali ini, dia memang masih “yunior” baik dari segi usia maupun pergulatannya dengan dunia sastra. Katanya: “Saya bisa mengerti kalau naskah saya belum layak muat, saya minta masukannya agar suatu saat naskah saya layak untuk dimuat...”
Di lain kesempatan, seorang pengarang sangat senior, menelepon saya. “Mengapa tulisan saya diedit lagi? Bukankah di naskah tersebut saya sudah memberi pesan agar naskah itu tidak perlu diedit. Saya tidak mau karena Anda mengedit, karakter saya hilang dan pembaca saya akan bingung...”
Pernah juga, seorang pengarang yang mengaku karyanya pernah dimuat di banyak media (herannya, tak satupun saya pernah membaca karyanya), marah-marah ketika saya katakan kepadanya tentang orisinilitas karyanya, juga keinginan saya untuk mengedit naskahnya. Terus terang, ketika membaca naskahnya (cerpen), saya sangat tertarik karena cerpen tersebut sangat bagus (menurut ukuran saya) dan saya akan memuatnya. Namun, kemudian saya bertanya-tanya, jika dia penulis berpengalaman, mengapa saya tak pernah membaca karyanya (saya tahu ini sangat subyektif), dan –ini yang membuat saya jadi curiga—penggunaan Bahasa Indonesianya, maksudnya ejaan yang benar, sangat “parah”. Membedakan “di” dan “ke” sebagai kata depan atau awalan saja, dia tidak bisa. Dia menulis “di rumah” dengan “dilakukan” penulisannya sama. Ini belum yang lainnya.
Kemudian, e-mail-nya saya balas. Intinya saya menanyakan apakah benar ini karya aslinya, dan bolehkah saya mengedit bahasanya agar sedikit lebih benar dengan standar bahasa Indonesia yang dipakai koran, terutama Riau Pos. Namun ternyata balasannya sangat di luar dugaan saya. Begini isinya: “Jelas, itu karya asli saya. Dan saya tidak mau saya kehilangan karakter kalau naskah itu diedit. Sekarang to the point saja, apakah karya saya itu layak muat atau tidak. Kalau layak silakan dimuat apa adanya, kalau tidak ya tidak usah dimuat, biar saya kirim ke media lain!”
Cerita ini belum selesai. Suatu hari, seorang teman (yang kebetulan memang seorang penulis lumayan bagus untuk ukuran lokal Riau) menghubungi saya dan mengatakan bahwa dia sangat ingin naskahnya dimuat secepatnya karena dia perlu honornya. “Saya sedang bokek nih. Tolong ya frend...” Bahkan pernah, seorang pengarang yang katanya sangat senior dan saat ini menjadi figur publik, dengan setengah “memaksa” menelepon dan mengatakan bahwa dia punya naskah, dan, “Saya ingin dimuat untuk Ahad besok, kalau ditunda pekan depan sudah basi misi yang dikandungnya...” katanya dengan nada dingin. Dia mengirimkannya hari Sabtu siang, padahal halaman Budaya Riau Pos naskahnya sudah selesai diedit dan di-lay out pada Jumat malam. Dan ketika naskah itu ditunda pemuatannya alias tidak diturunkan pada Ahad itu, dia mengatakan bahwa baru kali itu ada seorang redaktur media di Pekanbaru “berani” menunda naskahnya. Wah!
Masih banyak lagi kisah-kisah yang saya alami selama menjadi “penjaga gawang” rubrik Budaya ini. Dan saya tetap bisa menikmatinya dengan santai dan tenang tanpa beban apapun. Sebab, membaca karya sastra dan budaya (menjadi editor harus membaca semua naskah sampai selesai, bukan?) bagi saya adalah menjaga kadar rasa bahasa itu sendiri. Dan meskipun dalam sehari-hari saya harus membaca naskah olahraga (dengan segala “kekerasan bahasanya”) dan sering harus menulisnya, saya tetap ingin menjaga kadar “rasa” bahasa itu.
***
PENGALAMAN menghadapi beragam pikiran dan keinginan para penulis budaya di
Riau ini seperti ilustrasi di atas, telah banyak memberi pelajaran berharga
bagi saya untuk belajar memahami karakter masyarakat, terutama masyarakat
budaya di Riau. Kondisi masyarakat pluralisme yang tumbuh di Riau terlihat
benar dalam naskah-naskah yang dikirimkannya. Misalnya, penulis yang memiliki
latar etnis Melayu, bisa terlihat dari naskahnya yang berusaha memakai banyak
istilah Melayu dan ciri yang lainnya. Begitu juga dengan mereka yang berlatar
etnis Minangkabau, Jawa maupun Batak, meski telah berusaha sehalus mungkin
untuk tidak kelihatan “logat aslinya”, namun dalam naskah-naskah yang dibuatnya
baik berupa cerpen, sajak, esai, resensi buku dan tulisan lainnya, masih terasa
aroma latar etnisnya.
Namun, ini tetaplah sebuah fenomena menarik dan unik, yang barangkali tidak ditemukan di daerah lain. Bahwa salah satu kekayaan Riau yang harus dijaga adalah keanekaragaman budaya itu. Sebab, sejak dulu, dunia sastra Riau tumbuh dan berkembang tidak hanya digerakkan oleh satu etnis tertentu (meski dominasi Melayu sangat kuat dan itu hal yang memang semestinya terjadi) tetapi oleh keragaman tersebut. Misalnya, di luar nama-nama Melayu seperti Raja Ali Haji, Hasan Junus, Rida K Liamsi, Rus Abrus, Ediruslan Pe Amanriza, BM Syamsudin, Idrus Tintin, Sy Bahri Judin, Al azhar, Fakhrunas MA Jabbar, Taufik Ikram Jamil, Kazzaini Ks hingga ke generasi Hang Kafrawi atau Syaukani Al Karim, ada terselip beberapa nama dari subkultur lain seperti Sudarno Mahyudin, Husnu Abadi, Sutrianto hingga Marhalim Zaini atau M Badri (Jawa yang tumbuh di Riau) atau Soeman Hs hingga Pandapotan MT Siallagan (Batak yang tumbuh di Riau), Oyrinson, Fitri Mayani dan yang lainnya (Minangkabau yang tumbuh di Riau) dan beberapa penulis lainnya dengan latar subkultur yang berbeda.
Tapi, saya benar-benar tidak sedang memetakan para penulis itu dari sisi etnis atau subkultur. Namun, yang lebih penting adalah bahwa keragaman itu telah dan tetap menumbuhkan semangat dunia sastra dan budaya dengan satu latar besar, yakni Riau. Pernah seorang kritikus asal Jakarta bertanya kepada saya tentang tidak banyaknya karya sastra orang Riau yang dimuat di koran-koran Jakarta yang selama ini dianggap sebagai standar seseorang bisa disebut sastrawan atau tidak. Menurutnya, hanya ada beberapa penulis Riau yang pada masa-masa ini masih aktif menulis di koran Jakarta yakni Taufik Ikram, Fakhrunnas MA Jabbar, Abel Tasman, Marhalim Zaini. Menurutnya, harus ada gerakan budaya dari para sastrawan Riau untuk menjelaskan kepada publik Indonesia bahwa Riau adalah salah satu potensi besar di dunia sastra dan kebudaya. Dan jalan untuk ke sana adalah dengan berkarya dan dimuat di media nasional.
Saya tidak menyalahkan apa yang dikatakan kritikus tersebut, namun kemudian saya memberi fakta yang barangkali menjadi bahan renungan dan pemikiran dirinya untuk membaca peta sastra, terutama Riau. Sebagai editor budaya di sebuah harian di Pekanbaru, saya merasakan ada detak yang hidup dan akan terus hidup dari para penulis muda yang tentu saya melihatnya dari naskah sastra yang mereka kirimkan ke Riau Pos. Mereka adalah anak-anak muda yang saya yakin pada masanya nanti akan menemukan dirinya, sedang berada di mana dalam peta sastra Riau atau Indonesia. Anggaplah generasi “tua” secara umur dan pergulatannya di sastra seperti Taufik Ikram, Fakhrunas, Abel atau yang lebih yunior seperti Marhalim tetap akan eksis, tetapi di belakang mereka telah muncul generasi yang sebenarnya berpotensi untuk tumbuh suatu saat nanti. Sebut saja ada Musa Ismail, Gde Agung Lontar, Ramon Domora, Murparsaulian, Olyrinson, M Badri, Fitri Mayani, Pandapotan MT Siallagan (kini pindah ke Medan), Sobirin Zaini, Ellyzan Katan, Aleila, Fariz Iksan Putra, Saidul Tombang, Sobirin Zaini, Syaiful Bahri, Muhalib, Jefri Malay (sudah eksis sebagai vokalis Sagu Band) dan beberapa nama lainnya yang terlewatkan di sini. Mereka tetap berkarya dalam berbagai genre baik itu cerpen, sajak, esai, naskah drama dan yang lain. Detak inilah yang saya rasakan tetap terasa sejak lima tahun lalu saya tinggal di Riau dan selama dua tahun terakhir menjaga gawang rubrik Budaya di Riau Pos.
Kemudian, saya katakan kepada teman kritikus tersebut: apakah dalam kondisi zaman yang sudah berubah dan pertumbuhan media massa begitu pesat di daerah, Jakarta masih merasa dirinya sebagai pusat dari segala yang kemudian dikatakan sebagai “Indonesia” dan “nasional” itu? Bukankah “Indonesia” dan “nasional” itu sudah ada di mana-mana? Bukankah itu hanya keegoisan Jakarta yang tetap ingin disebut sebagai pusat dari segalanya? Barangkali tesis saya ini tidak kuat dan sangat mungkin akan diperdebatkan. Namun, pada masa pertumbuhan sastra di Indonesia, beberapa daerah di Sumatera seperti Padang dan Medan pernah menjadi pusat atau kantong kebudayaan yang tidak harus tergantung kepada Jakarta. Saat ini, barangkali, Yogyakarta dan Bandung, telah “menjelaskan” bahwa daerah juga bisa menjadi pusat kebudayaan dengan “perlawanan” budaya yang mereka lakukan lewat berbagai kegiatan budaya, salah satunya adalah dengan intens menerbitkan buku-buku budaya, tanpa harus secara lantang meneriakkan kata perlawanan.***
Buku Tafsir Luka ini diterbitkan bukanlah dengan membawa beban besar sebagai alat untuk perlawanan itu. Buku kumpulan cerpen, sajak dan esai yang pernah diterbitkan di rubrik “Budaya” harian Riau Pos sepanjang tahun 2005 ini, hanyalah ingin menjadi pemacu bagi para penggiat sastra dan budaya di Riau untuk terus bercermin, juga sebagai pencatat waktu perjalanan karya selama setahun. Tidak semua cerpen, sajak dan esai yang terbit di Riau Pos sepanjang tahun 2005 masuk dalam kumpulan ini, sebab tetap ada penilaian dan seleksi yang untuk menentukan lolos atau tidaknya, penilaiannya sangat relatif.
Selain itu, seperti dalam kumpulan cerpen tahun 2004, Seikat Dongeng Tentang Wanita, buku Tafsir Luka ini juga mencoba mengakomodasi para penulis lokal Riau, terutama untuk cerpen dan sajak. Sedang untuk esai, munculnya beberapa nama dari luar Riau seperti Wannofri Samry (Padang), pertimbangan yang diambil adalah dari nilai guna naskah bagi pembaca secara luas. Buku ini, jelas bukan sebuah karya yang istimewa dan terbebas dari kesalahan. Namun, yang istimewa, menurut saya, adalah eksistensi dari Riau Pos sendiri yang hingga hari ini selalu tertib dan tetap memberikan apresiasi kepada para sastrawan/budayawan daerah ini untuk terus berkarya dan kemudian menerbitkannya dalam sebuah buku kumpulan cerpen, sajak dan esai terpilih ini. Jelas, dengan kata “terpilih” berarti ada yang istimewa dari karya-karya yang termaktub dalam buku ini karena tentu menyisihkan karya yang tidak terpilih dengan segala relativitas penilaiannya.***
Hary B Kori’un adalah editor buku Kumpulan Cerpen, Esai dan Sajak Terpilih Riau Pos 2005, TafsirLuka. Tulisan ini dikutip dari Riau Pos, 18 Desember 2005
No comments
Post a Comment