Nyanyian Dendam dan Asmara yang Memabukkan
Oleh M Badri
Akhir tahun 2004 lalu adalah tahun keberuntungan bagi Hary B Kori’un. Maklum, novelnya yang berjudul Nyanyi Sunyi dari Indragiri dinobatkan sebagai penerima Penghargaan Utama Ganti Award yang diselenggarakan oleh penerbit Gurindam Press. Lalu apa yang istimewa dari novel yang setelah dibukukan hanya setebal 101 halaman ini? Tentunya para juri mempunyai penilaian tersendiri terhadap cerita dalam novel karya penulis berusia 31 tahun itu. Para pembaca juga pasti mempunyai penilaian yang berbeda setelah mengikuti alur cerita dari satu bagian ke bagian lain.
Membaca cerita-cerita yang ditulis oleh Hary B Koriun, kita pasti akan menemukan gaya penulisan dan tema yang khas. Baik dalam cerita pendek maupun novel, tema kepenulisan Hary tidak jauh-jauh dari persoalan asmara yang dikerucutkan lagi kepada kesetiaan. Bukan tema perselingkuhan yang kini banyak digarap beberapa novelis terkemuka. Namun karena arus cerita mengalir dengan indah maka pembaca akan menemukan kekuatan narasi, sehingga pembaca akan terbuai setiap menjelajahi alinea demi alinea. Satu hal lagi yang akhir-akhir ini mewarnai cerita-cerita Hary, adalah persoalan lingkungan––terutama hutan dan sungai.
Dalam Nyanyi Sunyi dari Indragiri, tema cerita terlihat kompleks. Novel ini menceritakan seorang lelaki bernama Kalid Ahmadsyah yang menyimpan api dendam terhadap Dedi Chandra (DC), taipan dalang kerusakan hutan. Kalid yang menjadi tokoh utama dalam cerita ini dilukiskan Hary sebagai seorang pemuda suku asli yang tinggal di pedalaman. Alam telah membentuk Kalid sebagai seorang jantan yang tidak pernah menyerah menghadapi prahara kehidupan. Seorang sarjana hukum yang akhirnya menjadi korban ketidakadilan. Hary juga mentakdirkan Kalid sebagai lelaki yang tak pernah ‘mati’ hingga akhir cerita.
Selain Kalid masih ada dua tokoh cerita yang ditonjolkan oleh Hary; seorang pengacara sebuah LBH bernama Alia, dan Sarah yang notabene wanita simpanan DC. Dua orang wanita ini memang tidak pernah muncul bersamaan dalam sebuah cerita karena merupakan tokoh dalam dua bagian yang berbeda. Selanjutnya pembaca akan diajak untuk bertualang dari rimba ke rimba dan dipancing hanyut dalam suasana yang sekarang ini sebenarnya menjadi persoalan serius di Riau. Kerusakan hutan menjadi jantung dalam cerita ini, sekaligus menjadi sumber inspirasi bagi pembaca untuk menafsirkan muatan-muatan realis dalam novel ini.
Konflik bermula saat Kalid membakar base camp milik PT Riau Maju Timber yang beroperasi di sekitar daerah Rimbo Pematang, dimana masyarakatnya banyak menderita akibat eksplorasi hutan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. Dampaknya banjir tiap tahun menenggelamkan kampung-kampung sepanjang aliran Sungai Indragiri, lalu kemarau membakar dan mengeringkan sawah ladang. Hingga suatu ketika banjir bandang menerjang rumah dan menghanyutkan abah Kalid. Kematian seorang ayah semakin menyalakan api dendam yang tumbuh di dada Kalid. Amarah itu ibarat pemantik api untuk segera membakar dan mengakhiri sepak terjang perusahaan yang mendapatkan lisensi sebagai pemegang HPH dari pemerintah. Hingga suatu malam bangunan dalam base camp menyala, ada api yang membakar, seperti dada Kalid yang dibakar dendam.
Seperti biasa, hukum selalu memberi sanksi kepada akibat tanpa mempedulikan sebabnya. Potret pengadilan yang identik dengan permainan uang digambarkan Hary dengan terlemparnya Kalid di penjara. Kemudian berturut-turut dalam cerita ini Hary juga menelanjangi perselingkuhan antara perusahaan dengan para pejabat dan aparat yang membeking. Termasuk bagaimana perusahaan menciptakan opini publik dan image baik dengan memanfaatkan media massa melalui jumpa pers, pendekatan personal dan bagi-bagi kue iklan. Gambaran tersebut memang tidak hanya ada dalam dunia cerita, terlebih Hary yang juga berprofesi sebagai wartawan terlihat jeli melihat dunianya.
Lalu bagaimana dengan drama asmara yang biasanya diceritakan Hary dengan romantis? Alia, tokoh wanita pertama yang muncul di awal cerita agaknya tidak mempunyai peran banyak pada bagian pertama novel ini. Pengacara muda keturunan Tionghoa itu hanya diposisikan sebagai sosok pembela Kalid ketika harus berhadapan dengan hukum. Namun ada pesan positif dari kemunculan Alia, yaitu betapa keadilan harus terbebas dari ras dan perbedaan apa pun. Kalaupun toh ada letupan perasaan ‘aneh’ yang muncul dari tokoh Alia, akhirnya harus menguap seiring perubahan sudut pandang cerita bagian ini. Tokoh Kalid yang sebelumnya diceritakan dari sudut pandang orang kedua dan ketiga, tiba-tiba muncul sebagai orang pertama. Kalid menceritakan dirinya sendiri dengan gaya bertutur.
Hal ini sah-sah saja dalam dunia kepenulisan. Sang pengarang berposisi sebagai dalang yang mengatur setiap peran yang dijalankan tokoh-tokohnya. Justru di sinilah letak kreatifitasnya, sehingga sebuah cerita tidak beku dalam gaya yang kaku. Sebab novelis sebagai pencipta ibarat tuhan bagi ceritanya yang bebas menentukan semuanya. Begitu juga dalam alur cerita yang sengaja ditulis tidak beraturan. Bagi pembaca awam mungkin hal ini merupakan sesuatu yang membingungkan. Bagaimana tidak, setting cerita sering berubah-ubah sehingga terkesan acak-acakan.
Sisi lain yang tidak dilewatkan begitu saja oleh Hary adalah dunia mistis yang identik dengan masyarakat pedalaman. Kisah pengorbanan terhadap Fatimah dan Ipah sebagai persembahan untuk penunggu sungai merupakan penggambaran pola pikir yang masih sangat terbelakang. Gadis lajang berperut buncit dituduh berzina sehingga membuat marah penunggu sungai. Banjir yang merupakan gejala alam karena hutan-hutan habis ditebang dipercaya sebagai kutukan dari penunggu sungai yang marah. Kepercayaan seperti itu memang masih ada dalam pola pikir masyarakat yang terbelakang. Namun hal itu tidak terus menjadi tanda tanya, karena Hary menyelipkan tokoh ustad Mahyudin yang berperan sebagai pencerah suasana. Sehingga Ipah tidak mengalami nasib nahas seperti halnya Fatimah, yang ditenggelamkan hidup-hidup di dasar sungai. Dangkalnya pengetahuan dan masih kentalnya kepercayaan magis membuat tokoh adat setempat membuat keputusan yang tidak beradab. Perut buncit itu sebenarnya sebuah tumor, bukan janin haram seperti yang mereka tuduhkan.
Pada bagian kedua yang memunculkan tokoh bernama Sarah, Hary mulai meletakkan porsi percintaan lebih luas dengan alur yang memabukkan. Kalau bagian pertama lebih banyak bercerita tentang rimba, maka pada bagian ini mulai menjelajah ke kota dan jauh meninggalkan aliran Indragiri yang menjadi sumber cerita. Terlebih sepulang dari penjara, Kalid hanya mendapati uminya dalam gundukan tanah merah di tepi hutan. Perempuan yang paling dicintainya itu meninggal beberapa hari sebelum kebebasannya.
Masalah perburuhan dalam bagian ini ikut menjadi sumber konflik. Hingga pada akhirnya kerusuhan di sebuah perusahaan kertas mengantarkan Kalid dalam sebuah pusaran asmara yang membuatnya hanyut. Adalah Sarah, gadis berambut lurus, berkulit putih, berhidung mancung dan baik hati. Namun nasib buruk telah mengantarkan gadis itu dalam dunia pelacuran hingga menjadi istri simpanan DC. Meskipun akhirnya Kalid ikut terbakar gairah purba yang dilukiskan Hary tidak secara blak-blakan.
Dengan bahasa yang romantis dan kadang meledak-ledak pada awalnya kisah asmara Kalid dan Sarah mampu mengalahkan api dendam yang masih menyala. Namun akhirnya cerita kembali terfokus pada dendam Kalid terhadap DC yang kini berada di dekatnya. Hingga suatu malam Kalid kembali melampiaskan dendamnya seperti ketika dia membakar base camp di hutan dulu. Dalam bagian ini diceritakan, sasarannya adalah beberapa aset milik DC yang tersebar di beberapa tempat di Pekanbaru. Mudah ditebak, Sarah juga harus menanggung akibat dari perbuatan Kalid. Gadis jelita itu dibuat cacat seumur hidup oleh orang-orang DC. Lalu bagaimana dengan Kalid?
Mungkin di sinilah letak kelemahan (atau mungkin kekuatan?) dalam cerita ini. Hary tidak menulis ending cerita dengan baik, bahkan terkesan dangkal dan dipaksakan. Setelah membalaskan api dendamnya Kalid dibiarkan pergi begitu saja. Sehingga novel ini terkesan sebagai cerita yang tak sampai selesai. Hanya epilog singkat yang menggambarkan sang tokoh utama sebagai orang yang putus asa, dan lari dari kenyataan. Jauh dari watak tokoh utama yang sejak awal cerita ini digambarkan sebagai sosok yang tangguh.
Tentang hal ini juga diakui oleh Alang Rizal dalam tulisan pertanggungjawaban juri. Alang yang salah seorang dewan juri tidak menafikan, bahwa novel pilihan terbaik ini pun memiliki kelemahan-kelemahan di antaranya yaitu kekuatan bahasa (pengungkapan sastra). Bagian-bagian awal begitu mengalir ternyata mengalami penurunan sampai cerita tamat. Konflik yang dibangun pun sampai penyelesaian tidak dapat dipertahankan pengarang dengan baik sehingga membaca novel tersebut tak begitu terkesan “denyutnya”. Ini menandakan karya novel Nyanyi Sunyi dari Indragiri dalam penyelesaiannya terkesan dipaksakan.
Meskipun begitu, novel Nyanyi Sunyi dari Indragiri karya Hary B Kori’un ini merupakan karya besar yang mampu menampilkan tema lingkungan dengan penggambaran yang dahsyat. Setidaknya pembaca diajak untuk melihat realitas di tengah masyarakat Riau dengan kaca mata fiksi. Terlebih lagi Hary mampu meramu api dendam yang menyala dan api asmara yang memabukkan dalam sebuah cerita yang mempesona.***
Dimuat di Riau Pos, 2006
No comments
Post a Comment