Nyanyian Kehidupan Sastra Imigran
Oleh M Badri
BELUM lama ini khazanah sastra kita kedatangan genre baru. Setidaknya
demikian penggambaran yang muncul dengan terbitnya buku kumpulan cerpen Buruh
Migran Indonesia (BMI) yang berjudul “Nyanyian Imigran”. Menarik memang,
terlebih melihat peluncuran buku tersebut di Pusat Dokumentasi Sastra HB
Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 23 Juli 2006 lalu yang dihadiri sejumlah
sastrawan. Istilah “sastra imigran” tiba-tiba muncul di sela-sela diskusi yang
membahas kumpulan cerpen ini. “Sastra imigran” merupakan penggambaran terhadap
karya yang dihasilkan oleh BMI, yang ––katanya–– kebanyakan berprofesi sebagai
pramuwisma. Istilah itu disebut seperti halnya istilah “sastra buruh”, “sastra
kota”, “sastra eksil” dan sederat istilah yang muncul di halaman sastra kita.
Sihar Ramses Simatupang dalam kata pengantar buku ini mengungkapkan,
menghargai tanah rantau sebagai sebuah latar cerita memang menjadi suatu
keistimewaan. Selain karena faktor emosional seringkali masih terarah kepada
tanah air, perasaan rindu, membuat kemasakinian yang jelas di depan mata dan di
sekitar tubuh kita, menjadi lolos dari perhatian. Padahal, di sisi lain, imaji,
kesan di tanah rantau (dengan obyek tanah rantau pula), justru dapat dijadikan
energi dan menghasilkan kesan yang berbeda.
Ungkapan Sihar tersebut nyatanya memang membekas dalam teks sastra sebagai
pengejawantahan dari kehidupan para buruh migran. Hal itu semakin terasa karena
sebagian besar penulis cerpen ini berasal dari kaum hawa, di mana eksploitasi
atas nama perburuhan begitu kental terasa. Coba kita putar kembali memori kita
pada banyak kasus yang menjadikan buruh migran (khususnya tenaga kerja wanita)
sebagai korban penindasan, eksploitasi, pemerkosaan, dan beragam cerita kelam
lainnya.
Itulah yang kemudian menjelma menjadi cerita-cerita yang kini akan
melengkapi rak perpustakaan kita. Karena sastra sering dikatakan sebagai bahasa
universal dan mengandung “pencerahan”, maka sah-sah saja bila Nyanyian Imigran
ini dikatakan sebagai pembuka mata kita, betapa nasib para buruh migran di
negeri asing begitu memilukan, di balik gelimang dolar atau ringgit yang cukup
menjanjikan. Persoalan luka, derita, dan cinta agaknya memang tak lepas dari
relung imaji para buruh migran yang kemudian dituangkan ke dalam teks-teks
dengan bahasa khas mereka. Meskipun sastra merupakan hasil dari proses
imajinasi, tetapi tetap saja akarnya berasal dari realitas yang muncul di
tengah kehidupan manusia ––dengan suka dukanya.
Dalam buku yang memuat 16 cerpen karya buruh migran tersebut, terlihat sekali
bagaimana problem di seputar kehidupan para penulis di perantauan. Begitu juga
dengan nama-nama penulisnya, barangkali masih begitu asing di ranah sastra
kita. Karena sebagian besar mereka lahir dan tumbuh dari berbagai mailing list
(milis) yang kini sedang mengemuka, sebagai ajang diskusi dan tukar informasi
yang terbebas dari belenggu ruang dan waktu. Dan memang para penulis di buku
ini––Aliyah Purwati (Selembar Kertas Buruh Harian BMI), Ann (Wan Chai), Eni
Yuniar (Tuan dan Nyonya Majikan Yang Terhormat), Etik Juwita (Hatiku Kapalan),
Ikrima Ghaniy (Suami), Imes Hisa (Sekuntum Bunga Tak Berbuah), Kris DS (Goresan
Buat Winda), Lik Kismawati (Laki-laki dan Lukisan Burung), Mega Vristian
(Gelang Giok Mama), Nining Indarti (Selingkuh), Swastika (Pahlawan Kesiangan),
Tanti (Di Saat Jariku Menari), Tarini Sorrita (Hamil), Gendhotwukir (Kidung
Duka Seorang Buruh), Sigit Susanto (Perempuan Tua di Bahnhof Zurich), dan Joey
Sambo (Nyanyian Imigran)––adalah orang-orang yang dengan setia mengisi ruang
diskusi dan pertemuan maya berbagai milis sastra, salah satunya di
Apresiasi-Sastra@yahoogroups.com.
Inilah hasilnya, sebuah komposisi dengan berbagai irama kepenulisan yang
hadir setelah melalui perjuangan panjang lintas benua, lintas waktu, lintas
kesibukan. Sampai kemudian menjadi sebuah buku bersampul merah khas kaum buruh.
Sehingga komposisi teks kreatif mereka juga merupakan suatu irama yang
cukup beragam dengan muasal lahirnya cerpen-cerpen ini. Sebuah prestasi
tersendiri, ketika imigran kemudian menulis cerpen secara berjamaah. Tepat
seperti yang diungkapkan Djodi Sambodo dan Mega Vristian di halaman pembuka
buku ini, bahwa mereka yang telah melintas samudera, di antara derai air mata,
ancaman kematian, siksaan fisik dan batin, demi perbaikan nasib, ternyata masih
bisa menyempatkan waktunya untuk menulis. Hal itu juga terucap saat
berbincang-bincang dengan Lik Kismawati, salah seorang penulis dalam buku ini,
yang mengungkapkan bagaimana perjuangan mereka menyelesaikan sebuah cerpen di
antara kesibukan sebagai imigran.
Kalau dirunutkan secara tematik, sebagaian besar cerpen ini bercerita
tentang percintaan, pelecehan, penindasan, dan tak lupa perselingkungan. Lihat
saja misalnya kutipan cerpen Goresan Buat Winda yang kebetulan sempat dibacakan
dengan sangat liris. “Jelas! Aku sangat emosi melihat ketegaan mereka
menghianati aku. Terlebih lagi bila mengingat saran mereka berdua. Mereka
menyarankan agar aku mengambil cuti pulang ke Indonesia untuk membuang janin
dua bulan hasil hubungan dengan Arxiank alias aborsi! Mereka mana mau tahu,
betapa aku mati matian melawan maut di ruang sempit dukun beranak di
perkampungan Mberiot, sebuah desa antara Malang – Blitar. Eh... Di sini mereka
malah membuat tarian erotis dalam kamar hotel berbintang. Mungkin memang benar
sebuah pepatah bilang, orang terdekat adalah musuh terbesar.”
Selain tema percintaan dan perselingkungan yang mewarnai romantisme buruh
migran, beragam kultur bangsa lain juga muncul dalam kumpulan cerpen ini.
Kehadirannya secara simbolis tergambar dalam teks-teks yang mengungkapkan
tubuh, bahasa, dan tempat. Hal seperti ini memang lumrah muncul dalam karya
sastra, sebab mengutip pernyataan Warih Wisatsana, inspirasi penciptaan karya
diperoleh dari berbagai pertemuan, perjalanan, maupun pengahayatan karya
sastrawan lain. Meskipun demikian, tetap saja karya-karya dalam cerpen ini
tidak bisa lepas dari kultur asal penulisnya.
Cerpen Nyanyian Imigran Joey Sambo yang kemudian dijadikan judul sampul
buku ini, agaknya mewakili sederet cerita dengan sederet misi penulisnya yang diungkapkan
dengan beragam teknik dan gaya penulisan. Cerita yang dibumbui dengan berbagai
karakter dan bahasa, yang kemudian diramu dengan kehidupan naas para imigran
gelap di negeri Paman Sam, ini merupakan miniatur kehidupan para buruh migran
dari berbagai negara dunia ketiga. Sepeti ditulis Joey di akhir cerpennya,
“Akhirnya aku memahami, bahwa kehidupan imigran dengan lirik lagunya Led
Zeppelin ini, kurang lebih adalah sama. Nyanyian orang-orang yang mengarungi
samudera untuk menemukan tanah baru, demi perbaikan nasib. Walau tanah baru itu
tidak lebih adalah bangsal kematian atau Valhalla. Atau teriakannya para
imigran yang memimpikan kehidupan lebih baik di dunia Barat, ternyata hanya
menuai kepahitan.”
Meskipun para cerpenis tersebut menulis di antara jam kerja dan waktu
istirahat, akhirnya karya dalam buku ini dapat mewakili kerisauan mereka di
tanah perantauan dan pada kampung halaman. Kerisauan mereka sepertinya memang
berupa nyanyian panjang yang belum berakhir, meskipun kita berulang kali
membaca 179 halaman buku ini. Karena secara tersirat buku kumpulan cerpen ini
mengajak kita untuk bertamasya melihat lebih ke jauh bagaimana lembaran
kehidupan para buruh migran. ***
Dimuat di Riau Pos, Minggu, 30 Juli 2006
No comments
Post a Comment