Perempuan yang Datang Setiap Senja
Cerpen M
Badri
SEBUAH kafe di tepi Sungai Siak, suatu senja. Seorang perempuan duduk menyendiri menghadap ke sungai, memandang matahari yang pelan-pelan rebah. Segelas juice di depannya. Matanya menatap hampa pada kecipak air dan butiran buih di tengah sungai. Perempuan itu selalu meneteskan air mata, kemudian menghapusnya dengan sapu tangan. Air mata itu tetap menetes dan dia terus menghapusnya. Berkali-kali sampai kering.
Tak ada yang peduli perempuan itu siapa dan datangnya dari mana. Tapi dia selalu datang setiap senja. Kemudian pulang saat hari gelap, tak ada lagi sisa sinar matahari yang memantul di tubir sungai. Perempuan berambut panjang dan berkebaya warna biru laut. Dia tidak pernah berbicara pada siapapun dan tidak ada orang yang ingin bertanya kepadanya. Biasanya, dia datang lalu pesan minuman dan duduk di sebuah kursi kayu menghadap sungai selama berjam-jam, setelah itu pulang. Besoknya datang lagi ––kecuali saat hujan–– dan melakukan hal yang sama.
***
Seorang lelaki duduk di anjungan pengeboran minyak lepas pantai. Berkawan lautan, ombak dan camar. Lelaki itu memainkan harmonika sambil memandang matahari rebah ke laut. Harmonika melagukan irama puitik, senja terlihat melankolik. Seekor camar menari-nari mengikuti irama gelombang laut yang tak beraturan. Lelaki itu, merindukan kekasihnya yang jauh.
Senja dengan awan dan langit kemerah-merahan, matahari bulat utuh seperti telor mata sapi. Lelaki itu memandangnya seperti memandang lukisan kekasihnya. Setiap menjelang malam tak pernah melewatkan lukisan itu. Sambil memainkan harmonika matanya memandang jauh ke tengah laut. Menembus batas-batas yang tak bisa ditembusnya selama beberapa waktu.
Entah sudah berapa puluh bulan tiap senja dia duduk di anjungan bersama harmonika, gelombang lautan, camar dan langit kemerah-merahan. Selama itu juga kerinduannya seperti magma yang bergemuruh di dalam dada. Beberapa bulan lagi, kerinduan itu akan meledak di kursi pelaminan. Pelaminan? Yah, kursi pengantin yang selalu diidam-idamkan setiap manusia normal yang telah dewasa. Seperti juga lelaki di anjungan itu. Dia berani hidup di tengah lautan ganas yang letaknya dekat perbatasan, untuk mendapatkan uang yang cukup sebagai hantaran ke rumah kekasihnya.
Laut Cina Selatan masih lengang. Beberapa ekor lumba-lumba meloncat-loncat di tengah ketenangan laut. Sementara beberapa pekerja pengeboran yang sedang istirahat asyik nonton televisi dan main kartu. Lelaki itu, tak ada permainan yang mengasyikkan selain memainkan harmonika. Acara televisi tak seindah lukisan senja di hadapannya. Lelaki itu kemudian mengeluarkan selembar kertas lusuh dari saku celananya, membacanya dan tersenyum dengan mata masih memandang langit. Salinan surat yang telah dikirimkan lewat awak kapal tanker pengangkut minyak mentah. Surat untuk kekasihnya yang jauhnya beribu-ribu mil dari anjungan di tengah lautan.
Elvina, senja di lautan ini tetap saja terasa asing. Aku masih juga berkawan dengan ombak, camar, badai, hantu laut dan orang-orang yang bekerja di pengeboran. Aku selalu merindukanmu kekasihku, calon istri dan ibu dari anak-anakku. Lagu kerinduan itu selalu kunyanyikan bersama harmonika yang kamu berikan sebelum keberangkatan. Bukankah engkau pernah berpesan bila aku merindukanmu, aku cukup memainkan harmonika sambil memandang langit senja yang merah kekuning-kuningan itu. Kemudian aku akan melihat wajahmu di sana, terlukis di atas kanvas dirgantara yang membentang di tengah-tengah lautan. Aku memang melihatnya Elvina, calon menantu ibuku. Engkau tersenyum seperti sinar matahari yang merekah menjelang rebah di pelaminan.
Lalu Elvinaku, apakah engkau masih setia menikmati senja di kafe tempat kita dulu sering duduk bersandar sambil memandang kecipak air dan buih-buih sisa gelombang kapal lewat di pinggiran Sungai Siak? Seperti janjimu dulu? bila engkau merindukanku, engkau akan datang ke tempat itu. Menangislah kekasihku, dalam remang-remang matamu cobalah engkau lihat langit dan matahari yang pelan-pelan rebah di ujung sungai. Kamu akan melihat wajahku, seperti aku melihat wajahmu yang dilukis langit di tengah lautan luas ini.
Elvina kekasihku, tunggulah beberapa bulan lagi aku akan kembali. Mewujudkan angan-angan kita dulu, tinggal di rumah idaman dengan lima orang anak yang selalu memanggilmu ‘Bunda’. Seperti janji kita di suatu senja yang cerah di pinggiran Sungai Siak. Di kafe itu, menjelang keberangkatanku dulu, masihkah kau simpan cincin yang kusematkan di jarimu? Tak ada kata-kata yang kau ucapkan, selain air mata yang menderas penuh harapan. Ya Elvina kekasihku, calon istriku, calon ibu dari anak-anakku, aku akan kembali sebentar lagi.
Mungkin tidak lama setelah surat ini sampai ke tanganmu, aku akan berangkat. Tunggu aku di pelabuhan, kemudian kita akan melanjutkan cerita yang sempat tertunda. Menunggulah seperti cerita seorang perempuan yang menunggu kekasihnya di Pelabuhan Sungai Duku selama berpuluh-puluh tahun1. Tapi aku takkan membiarkanmu menunggu terlalu lama. Aku sudah merindukan seorang istri yang setiap pagi mengantarkanku berangkat kerja sampai di depan pintu, kemudian sebelum berangkat kukecup dulu keningnya. Ah Elvina, semua seperti dalam cerita-cerita sinetron yang dulu sering kulihat di televisi tetangga. Tapi bukankah kita memang harus belajar dari cerita-cerita yang kenyataannya kadang tak semesra yang kita harapkan. Cerita tetap cerita Elvina, hidup ini juga sebuah cerita yang endingnya kita tak pernah tahu.
Aku tidak dapat menambah kata-kata lagi, rembulanku. Disini tidak ada kecipak air sungai, sampan-sampan dan perdu-perduan yang bisa kujelmakan menjadi huruf-huruf seperti waktu aku menuliskan puisi cinta untukmu. Mungkin sebentar lagi kalau Tuhan menghendaki, semuanya tidak lagi hanya sebatas kata-kata.
***
Perempuan itu lagi, duduk di sebuah kafe menghadap ke sungai. Segelas juice di depannya. Matahari tinggal separoh, sebagian telah tenggelam di ujung sungai. Kabut tipis membungkus langit, namun warna kuning kemerah-merahan masih jelas terlihat membentang di cakrawala. Sepertinya dia mempunyai kenangan dengan tempat itu. Kenangan yang tidak bisa dilupakan, sehingga setiap hari dia harus mengunjungi tempat itu. Sekedar untuk mengenang, menangisinya atau entah apa lagi.
“Saya penduduk baru disini Nona. Saya seorang pelukis bekas narapidana yang dipenjara karena politik. Selama disini saya selalu melihat Nona duduk di kursi ini sambil memandang langit dan sungai kemudian menangis. Tidakkah Nona kehabisan airmata karenanya?” kataku kepada perempuan itu.
Perempuan itu hanya diam seperti tidak mendengar pertanyaanku. Adakah dia tuli, atau barangkali terlalu sombong. Ataukah perempuan itu hanya halusinasiku saja, setelah lelah seharian keliling kota yang kian sesak. Tapi perempuan itu selalu kulihat setiap sore menjelang malam.
“Nona masih muda dan cantik apalagi ada lesung pipit di wajah Nona yang bulat telur. Apakah Nona membiarkan wajah cantik Nona dialiri airmata setiap hari? Sangat disayangkan Nona, kalau sampai terbentuk sebuah sungai di wajah Nona yang halus itu. Sungai yang ada di hadapan Nona saja setiap musim hujan selalu membuat rumah-rumah tergenang. Sangat disayangkan Nona...”
Perempuan itu menoleh sebentar ke arahku dengan pandangan nanar. Hanya sebentar, kemudian dia mengaduk sisa juice yang tinggal setengah dengan pipet di tangannya. Matanya yang bulat terlihat sembab dan agak memerah. Dua kristal bening kulihat tertinggal di sudut matanya, sebelum diusap dengan sapu tangan warna biru. “Nona....”
Aku tak jadi meneruskan karena perempuan itu segera beranjak pergi. Kakinya melangkah pelan di jalan yang memanjang di tepi Sungai Siak, lalu hilang ditelan tikungan. Malam mulai membungkus wajah kota, sebuah jembatan yang membentang kokoh di atas sungai mulai dihiasi lampu-lampu kendaraan. Seperti kunang-kunang yang merayap pada batang pohon.
“Mungkin gadis itu ada masalah dengan ingatannya Dik, hampir setiap hari saya lihat dia merenung di situ dan menangis. Dia tidak pernah bicara. Kami juga nggak enak mau nanya macam-macam,” kata seorang lelaki tua kepadaku.
“Ah mungkin dia tidak gila Paman. Saya kira dia hanya mempunyai sedikit masalah, entah dengan keluarga atau pacarnya. Lihat pakaiannya rapi dan dandanannya juga cantik. Mana ada orang gila yang secantik itu,” kataku.
Memang, perempuan itu bukan salah satu dari puluhan orang gila yang sering kulihat di pasar-pasar dan persimpangan jalan. Perempuan itu cantik, bahkan sangat cantik untuk ukuran gadis di kota ini. Tapi entah kenapa dia membiarkan wajah cantiknya dialiri air mata setiap hari. Barangkali juga dia tetap menangis sesampainya di rumah. Atau mengurung diri di kamar sampai senja keesokan harinya. Kemudian kembali lagi ke tempat ini. Barangkali juga dia seorang karyawati sebuah bank, atau seorang pegawai Pemda. Mungkin juga dia salah seorang caleg mewakili perempuan di partai anu. Atau, entah apa lagi.
Gerimis jatuh satu-satu seperti salju. Tapi langit tidak tertutup mendung. Matahari yang beranjak pulang ke sarang juga masih bulat utuh kemerah-merahan. Senja terlihat melankolik. Dan orang-orang yang menghabiskan sore di warung atau kafe yang berjejer di pinggir jalan tepi sungai bersama teman, relasi, pacar atau mungkin selingkuhan tak ingin beranjak untuk berteduh. Karena memang kristal-kristal bening dari langit itu tidak mengganggu. Seperti juga perempuan itu, yang kini memakai blus warna merah jambu.
Dia masih seperti biasa, duduk di kafe yang sama, dan melakukan hal yang sama. Memandang matahari yang pelan-pelan rebah, menangis dan menghapus air matanya. Kristal bening yang mengalir dari matanya bercampur dengan gerimis. Sehingga tidak bisa dibedakan mana yang airmata dan mana yang air dari langit. Di matanya seperti ada mata air yang setiap hari selalu mengalirkan sungai-sungai kecil.
“Adakah Nona setiap hari selalu dikecewakan sehingga harus menangis di sini. Ataukah Nona sedang menunggu seseorang?” aku mencoba mengalihkan perhatiannya.
Sesaat kemudian dia menoleh. Matanya menatap tajam seperti kurang suka dengan kata-kataku. “Saya tidak sedang kecewa atau menunggu seseorang,” katanya datar. “Apa perlu Anda peduli dengan saya.” Kemudian dia terdiam dan matanya memandang langit yang semakin pucat.
“Mungkin Anda dan orang-orang heran melihat saya setiap hari kesini. Saya kesini hanya ingin melihat wajah kekasih saya. Mungkin Anda juga heran, karena Anda tidak pernah melihat kekasih yang selalu saya lihat. Ini masalah hati.” Dia mengusapkan sapu tangan ke matanya.
“Apakah kekasih Nona tahu kalau sedang Nona perhatikan? Dimanakah kekasih Nona, yang di seberang itu kah?” kataku sambil menunjuk ke seberang sungai, ada beberapa pemuda dan pria setengah baya sedang memancing.
“Langit senja itulah wajah kekasih saya. Saya selalu merindukannya, seperti dia merindukan saya. Dan memang kami saling merindukan. Apa perlu Anda menanyakan itu...”
Selesai bicara perempuan itu lalu berdiri, membayar minuman dan pergi. Aku tetap duduk dan memandang perempuan itu sampai hilang ditelan tikungan. Mungkin besok, lusa, dan lusanya lagi entah sampai kapan dia pasti kembali ke sini. Melihat wajah kekasihnya setiap senja. Wajah kekasihnya yang katanya terlukis di antara matahari dan awan.
Sebuah koran bekas pembungkus jagung bakar tertiup angin dan menyangkut di kakiku. Iseng aku memungutnya, dan sempat terbaca sobekan berita meledaknya sebuah lokasi pengeboran minyak dan gas lepas pantai milik perusahaan joint ventura Amerika-Indonesia di Laut Cina Selatan. Anjungan pengeboran meledak suatu sore menjelang malam akibat kebocoran pipa beberapa saat setelah dihempas badai, tidak ada pekerja yang selamat. Koran itu tertanggal tiga bulan yang lalu.***
Pekanbaru, Januari 2004
1 Tentang perempuan yang menunggu kekasihnya selama berpuluh-puluh tahun, terinspirasi oleh cerpen Hary B Kori’un yang berjudul Tunggu Aku di Sungai Duku.
SEBUAH kafe di tepi Sungai Siak, suatu senja. Seorang perempuan duduk menyendiri menghadap ke sungai, memandang matahari yang pelan-pelan rebah. Segelas juice di depannya. Matanya menatap hampa pada kecipak air dan butiran buih di tengah sungai. Perempuan itu selalu meneteskan air mata, kemudian menghapusnya dengan sapu tangan. Air mata itu tetap menetes dan dia terus menghapusnya. Berkali-kali sampai kering.
Tak ada yang peduli perempuan itu siapa dan datangnya dari mana. Tapi dia selalu datang setiap senja. Kemudian pulang saat hari gelap, tak ada lagi sisa sinar matahari yang memantul di tubir sungai. Perempuan berambut panjang dan berkebaya warna biru laut. Dia tidak pernah berbicara pada siapapun dan tidak ada orang yang ingin bertanya kepadanya. Biasanya, dia datang lalu pesan minuman dan duduk di sebuah kursi kayu menghadap sungai selama berjam-jam, setelah itu pulang. Besoknya datang lagi ––kecuali saat hujan–– dan melakukan hal yang sama.
***
Seorang lelaki duduk di anjungan pengeboran minyak lepas pantai. Berkawan lautan, ombak dan camar. Lelaki itu memainkan harmonika sambil memandang matahari rebah ke laut. Harmonika melagukan irama puitik, senja terlihat melankolik. Seekor camar menari-nari mengikuti irama gelombang laut yang tak beraturan. Lelaki itu, merindukan kekasihnya yang jauh.
Senja dengan awan dan langit kemerah-merahan, matahari bulat utuh seperti telor mata sapi. Lelaki itu memandangnya seperti memandang lukisan kekasihnya. Setiap menjelang malam tak pernah melewatkan lukisan itu. Sambil memainkan harmonika matanya memandang jauh ke tengah laut. Menembus batas-batas yang tak bisa ditembusnya selama beberapa waktu.
Entah sudah berapa puluh bulan tiap senja dia duduk di anjungan bersama harmonika, gelombang lautan, camar dan langit kemerah-merahan. Selama itu juga kerinduannya seperti magma yang bergemuruh di dalam dada. Beberapa bulan lagi, kerinduan itu akan meledak di kursi pelaminan. Pelaminan? Yah, kursi pengantin yang selalu diidam-idamkan setiap manusia normal yang telah dewasa. Seperti juga lelaki di anjungan itu. Dia berani hidup di tengah lautan ganas yang letaknya dekat perbatasan, untuk mendapatkan uang yang cukup sebagai hantaran ke rumah kekasihnya.
Laut Cina Selatan masih lengang. Beberapa ekor lumba-lumba meloncat-loncat di tengah ketenangan laut. Sementara beberapa pekerja pengeboran yang sedang istirahat asyik nonton televisi dan main kartu. Lelaki itu, tak ada permainan yang mengasyikkan selain memainkan harmonika. Acara televisi tak seindah lukisan senja di hadapannya. Lelaki itu kemudian mengeluarkan selembar kertas lusuh dari saku celananya, membacanya dan tersenyum dengan mata masih memandang langit. Salinan surat yang telah dikirimkan lewat awak kapal tanker pengangkut minyak mentah. Surat untuk kekasihnya yang jauhnya beribu-ribu mil dari anjungan di tengah lautan.
Elvina, senja di lautan ini tetap saja terasa asing. Aku masih juga berkawan dengan ombak, camar, badai, hantu laut dan orang-orang yang bekerja di pengeboran. Aku selalu merindukanmu kekasihku, calon istri dan ibu dari anak-anakku. Lagu kerinduan itu selalu kunyanyikan bersama harmonika yang kamu berikan sebelum keberangkatan. Bukankah engkau pernah berpesan bila aku merindukanmu, aku cukup memainkan harmonika sambil memandang langit senja yang merah kekuning-kuningan itu. Kemudian aku akan melihat wajahmu di sana, terlukis di atas kanvas dirgantara yang membentang di tengah-tengah lautan. Aku memang melihatnya Elvina, calon menantu ibuku. Engkau tersenyum seperti sinar matahari yang merekah menjelang rebah di pelaminan.
Lalu Elvinaku, apakah engkau masih setia menikmati senja di kafe tempat kita dulu sering duduk bersandar sambil memandang kecipak air dan buih-buih sisa gelombang kapal lewat di pinggiran Sungai Siak? Seperti janjimu dulu? bila engkau merindukanku, engkau akan datang ke tempat itu. Menangislah kekasihku, dalam remang-remang matamu cobalah engkau lihat langit dan matahari yang pelan-pelan rebah di ujung sungai. Kamu akan melihat wajahku, seperti aku melihat wajahmu yang dilukis langit di tengah lautan luas ini.
Elvina kekasihku, tunggulah beberapa bulan lagi aku akan kembali. Mewujudkan angan-angan kita dulu, tinggal di rumah idaman dengan lima orang anak yang selalu memanggilmu ‘Bunda’. Seperti janji kita di suatu senja yang cerah di pinggiran Sungai Siak. Di kafe itu, menjelang keberangkatanku dulu, masihkah kau simpan cincin yang kusematkan di jarimu? Tak ada kata-kata yang kau ucapkan, selain air mata yang menderas penuh harapan. Ya Elvina kekasihku, calon istriku, calon ibu dari anak-anakku, aku akan kembali sebentar lagi.
Mungkin tidak lama setelah surat ini sampai ke tanganmu, aku akan berangkat. Tunggu aku di pelabuhan, kemudian kita akan melanjutkan cerita yang sempat tertunda. Menunggulah seperti cerita seorang perempuan yang menunggu kekasihnya di Pelabuhan Sungai Duku selama berpuluh-puluh tahun1. Tapi aku takkan membiarkanmu menunggu terlalu lama. Aku sudah merindukan seorang istri yang setiap pagi mengantarkanku berangkat kerja sampai di depan pintu, kemudian sebelum berangkat kukecup dulu keningnya. Ah Elvina, semua seperti dalam cerita-cerita sinetron yang dulu sering kulihat di televisi tetangga. Tapi bukankah kita memang harus belajar dari cerita-cerita yang kenyataannya kadang tak semesra yang kita harapkan. Cerita tetap cerita Elvina, hidup ini juga sebuah cerita yang endingnya kita tak pernah tahu.
Aku tidak dapat menambah kata-kata lagi, rembulanku. Disini tidak ada kecipak air sungai, sampan-sampan dan perdu-perduan yang bisa kujelmakan menjadi huruf-huruf seperti waktu aku menuliskan puisi cinta untukmu. Mungkin sebentar lagi kalau Tuhan menghendaki, semuanya tidak lagi hanya sebatas kata-kata.
***
Perempuan itu lagi, duduk di sebuah kafe menghadap ke sungai. Segelas juice di depannya. Matahari tinggal separoh, sebagian telah tenggelam di ujung sungai. Kabut tipis membungkus langit, namun warna kuning kemerah-merahan masih jelas terlihat membentang di cakrawala. Sepertinya dia mempunyai kenangan dengan tempat itu. Kenangan yang tidak bisa dilupakan, sehingga setiap hari dia harus mengunjungi tempat itu. Sekedar untuk mengenang, menangisinya atau entah apa lagi.
“Saya penduduk baru disini Nona. Saya seorang pelukis bekas narapidana yang dipenjara karena politik. Selama disini saya selalu melihat Nona duduk di kursi ini sambil memandang langit dan sungai kemudian menangis. Tidakkah Nona kehabisan airmata karenanya?” kataku kepada perempuan itu.
Perempuan itu hanya diam seperti tidak mendengar pertanyaanku. Adakah dia tuli, atau barangkali terlalu sombong. Ataukah perempuan itu hanya halusinasiku saja, setelah lelah seharian keliling kota yang kian sesak. Tapi perempuan itu selalu kulihat setiap sore menjelang malam.
“Nona masih muda dan cantik apalagi ada lesung pipit di wajah Nona yang bulat telur. Apakah Nona membiarkan wajah cantik Nona dialiri airmata setiap hari? Sangat disayangkan Nona, kalau sampai terbentuk sebuah sungai di wajah Nona yang halus itu. Sungai yang ada di hadapan Nona saja setiap musim hujan selalu membuat rumah-rumah tergenang. Sangat disayangkan Nona...”
Perempuan itu menoleh sebentar ke arahku dengan pandangan nanar. Hanya sebentar, kemudian dia mengaduk sisa juice yang tinggal setengah dengan pipet di tangannya. Matanya yang bulat terlihat sembab dan agak memerah. Dua kristal bening kulihat tertinggal di sudut matanya, sebelum diusap dengan sapu tangan warna biru. “Nona....”
Aku tak jadi meneruskan karena perempuan itu segera beranjak pergi. Kakinya melangkah pelan di jalan yang memanjang di tepi Sungai Siak, lalu hilang ditelan tikungan. Malam mulai membungkus wajah kota, sebuah jembatan yang membentang kokoh di atas sungai mulai dihiasi lampu-lampu kendaraan. Seperti kunang-kunang yang merayap pada batang pohon.
“Mungkin gadis itu ada masalah dengan ingatannya Dik, hampir setiap hari saya lihat dia merenung di situ dan menangis. Dia tidak pernah bicara. Kami juga nggak enak mau nanya macam-macam,” kata seorang lelaki tua kepadaku.
“Ah mungkin dia tidak gila Paman. Saya kira dia hanya mempunyai sedikit masalah, entah dengan keluarga atau pacarnya. Lihat pakaiannya rapi dan dandanannya juga cantik. Mana ada orang gila yang secantik itu,” kataku.
Memang, perempuan itu bukan salah satu dari puluhan orang gila yang sering kulihat di pasar-pasar dan persimpangan jalan. Perempuan itu cantik, bahkan sangat cantik untuk ukuran gadis di kota ini. Tapi entah kenapa dia membiarkan wajah cantiknya dialiri air mata setiap hari. Barangkali juga dia tetap menangis sesampainya di rumah. Atau mengurung diri di kamar sampai senja keesokan harinya. Kemudian kembali lagi ke tempat ini. Barangkali juga dia seorang karyawati sebuah bank, atau seorang pegawai Pemda. Mungkin juga dia salah seorang caleg mewakili perempuan di partai anu. Atau, entah apa lagi.
Gerimis jatuh satu-satu seperti salju. Tapi langit tidak tertutup mendung. Matahari yang beranjak pulang ke sarang juga masih bulat utuh kemerah-merahan. Senja terlihat melankolik. Dan orang-orang yang menghabiskan sore di warung atau kafe yang berjejer di pinggir jalan tepi sungai bersama teman, relasi, pacar atau mungkin selingkuhan tak ingin beranjak untuk berteduh. Karena memang kristal-kristal bening dari langit itu tidak mengganggu. Seperti juga perempuan itu, yang kini memakai blus warna merah jambu.
Dia masih seperti biasa, duduk di kafe yang sama, dan melakukan hal yang sama. Memandang matahari yang pelan-pelan rebah, menangis dan menghapus air matanya. Kristal bening yang mengalir dari matanya bercampur dengan gerimis. Sehingga tidak bisa dibedakan mana yang airmata dan mana yang air dari langit. Di matanya seperti ada mata air yang setiap hari selalu mengalirkan sungai-sungai kecil.
“Adakah Nona setiap hari selalu dikecewakan sehingga harus menangis di sini. Ataukah Nona sedang menunggu seseorang?” aku mencoba mengalihkan perhatiannya.
Sesaat kemudian dia menoleh. Matanya menatap tajam seperti kurang suka dengan kata-kataku. “Saya tidak sedang kecewa atau menunggu seseorang,” katanya datar. “Apa perlu Anda peduli dengan saya.” Kemudian dia terdiam dan matanya memandang langit yang semakin pucat.
“Mungkin Anda dan orang-orang heran melihat saya setiap hari kesini. Saya kesini hanya ingin melihat wajah kekasih saya. Mungkin Anda juga heran, karena Anda tidak pernah melihat kekasih yang selalu saya lihat. Ini masalah hati.” Dia mengusapkan sapu tangan ke matanya.
“Apakah kekasih Nona tahu kalau sedang Nona perhatikan? Dimanakah kekasih Nona, yang di seberang itu kah?” kataku sambil menunjuk ke seberang sungai, ada beberapa pemuda dan pria setengah baya sedang memancing.
“Langit senja itulah wajah kekasih saya. Saya selalu merindukannya, seperti dia merindukan saya. Dan memang kami saling merindukan. Apa perlu Anda menanyakan itu...”
Selesai bicara perempuan itu lalu berdiri, membayar minuman dan pergi. Aku tetap duduk dan memandang perempuan itu sampai hilang ditelan tikungan. Mungkin besok, lusa, dan lusanya lagi entah sampai kapan dia pasti kembali ke sini. Melihat wajah kekasihnya setiap senja. Wajah kekasihnya yang katanya terlukis di antara matahari dan awan.
Sebuah koran bekas pembungkus jagung bakar tertiup angin dan menyangkut di kakiku. Iseng aku memungutnya, dan sempat terbaca sobekan berita meledaknya sebuah lokasi pengeboran minyak dan gas lepas pantai milik perusahaan joint ventura Amerika-Indonesia di Laut Cina Selatan. Anjungan pengeboran meledak suatu sore menjelang malam akibat kebocoran pipa beberapa saat setelah dihempas badai, tidak ada pekerja yang selamat. Koran itu tertanggal tiga bulan yang lalu.***
Pekanbaru, Januari 2004
1 Tentang perempuan yang menunggu kekasihnya selama berpuluh-puluh tahun, terinspirasi oleh cerpen Hary B Kori’un yang berjudul Tunggu Aku di Sungai Duku.
No comments
Post a Comment