Kritikus Sastra Riau, di Mana Persembunyianmu?
Oleh Hary B Kori’un
ADA anggapan bahwa dunia
satra Riau mengalami stagnasi yang hebat saat ini. Krisis karya telah terjadi
dan orang-orang yang selama ini bekerja untuk sastra, mulai pelan-pelan beralih
ke dunia yang lain. Memang, penghargaan untuk mereka yang bergelut di bidang sastra
di Riau, mendapat apresiasi lumayan besar dengan banyaknya penghargaan, mulai
dari Anugerah Sagang (untuk beberapa kategori baik karya maupun personal),
Anugerah Ganti (karya novel), Laman Sastra Dewan Kesenian Riau (untuk beberapa
karya kreatif seperti cerpen, naskah drama, puisi dan lainnya) sampai Anugerah
Seniman Perdana (SP) dan Seniman Pemangku Negri (SPN) yang secara materi sangat
besar. Penghargaan-penghargaan itu membuat para sastrawan di luar Riau merasa
iri. Mereka berpikir, orang-orang yang mendapatkan penghargaan itu adalah
mereka yang sangat eksis di bidangnya, dan bisa melecut lahirnya para sastrawan
(karya) baru yang secara kualitas akan lebih baik lagi. Lalu di mana peran
kritikus?
Namun, karya berkualitas yang diharapkan lahir dari itu semua dan akan munculnya sastrawan yang memiliki keinginan untuk berkarya lebih baik lagi, tak juga muncul ke permukaan. Lihatlah, dari tahun ke tahun, mereka yang yang menelurkan karyanya hanya “itu ke itu” juga. Mereka yang secara personal maupun karya menjadi nominator Anugerah Sagang, juga tak jauh beda dari tahun-tahun sebelumnya.Para novelis yang karyanya masuk nominator Anugerah Ganti, juga nama-nama yang yang sudah familiar kecuali satu-dua yang baru. Laman Sastra DKR dari tahun ke tahun juga memunculkan karya dari mereka yang sudah lama eksis di bidang itu, dan secara kualitas juga tak terlalu signifikan peningkatannya.
Ketika Taufik Ikram Jamil dalam beberapa tahun belakangan tak terlihat karyanya muncul di mediamassa, banyak orang yang menyayangkan, terutama mereka yang masih ingin banyak belajar dari karya-karyanya. Sebab, selama ini, bersama Fakhrunas MA Jabbar –dan belakangan Marhalim Zaini—, Taufik adalah salah satu ikon penulis subur Riau yang mampu menembus belantara media nasional yang persaingannya memang amat ketat (meski belakangan terdengar santer tentang skandal redaktur budaya di koran Jakarta yang tidak obyektif dalam memilih karya yang akan dimuat di medianya). Memang, nama-nama seperti Olyrinson belakangan juga mampu melakukannya, namun intensitasnya masih belum sesubur para “senior”-nya itu. Bahkan, belakangan orang juga kesulitan mencari karya terbaru dari Syaukani Al Karim maupun Abel Tasman, baik di koran maupun dalam bentuk buku. Sementara senior yang lainnya hanya sesekali menulis, hanya sekedar mengambil absen agar “tidak dilupakan orang.”
Sementara itu, mereka yang lebih muda dari usia maupun pencapaian, juga masih belum mampu bersaing dan memperlihatkan jati dirinya. Pengalaman sebagai redaktur budaya di Riau Pos, membuat saya bisa melihat ritme dan perkembangan sastra di Riau, dari kaca mata media, dan khusus kaca mata Riau Pos. Rata-rata, mereka yang mengirimkan karyanya orangnya tak banyak berubah, dan kualitas karyanya juga belum mencapai avan-garde dan pantas dikedepankan. Banyak yang masih sekedar asal berkarya dan tidak berusaha mencari jati diri (meminjam istilah Hasan Junus) yang menjadi ciri khas dirinya.
Lalu, ke mana Murparsaulian, Hang Kafrawi, Griven H Putra, Syaukani, Gde Agung Lontar, Nyoto, M Badri, Pandapotan MT Siallagan, dan yang lainnya (sekedar menyebut nama) mempublikasikan karyanya? Yang lebih jauh lagi, mengapa, Mostamir Thalib, Sutrianto, Yose Rizal Zen, Wise Marwin dan yang lainnya tak lagi menyiarkan karyanya? Yang menarik, banyak mereka yang dulu sangat aktif bergelut di sastra, kini memilih menjadi pengusaha atau masuk partai dan tak berkarya lagi (hal sebaliknya justru terjadi pada Rida K Liamsi, yang semakin maniak bersastra ketika sukses menjadi pengusaha).
Memang, di tengah memadamnya api dari mereka yang dianggap senior itu, anak-anak muda seperti Sobirin Zaini, Ellyzan Katan, Aleila, Joni Lis Effendi, Syaiful Bahri, Muhalib, Fariz Iksan Putra dan yang lainnya masih terus berkarya dan bekerja keras untuk mencari identitas dirinya melalui karya, namun tetap karya mereka belum mampu menyusul para seniornya untuk manggung ke media yang lebih banyak pembacanya, yakni media nasional. Memang, dalam manifesto sastra pedalaman yang muncul di tahun awal 1990-an, media nasional dianggap tidak begitu penting dalam membangun eksistensi dunia sastra kita sebab bagi sastrawan, di manapun menyiarkan karya, dan apapun jenis medianya, tetap memperlihatkan eksistensinya sebagai pengarang. Tetapi, jelas, kita tidak bisa menutup mata bahwa sebuah karya yang dibaca oleh audiens yang lebih banyak dan luas, sangat berpengaruh pada eksistensi karya dan pengarangnya.
Komunitas dan Sanggar
Belakangan, perlawanan terhadap
eksistensi media massa nasional sebagai “pembaptis” sastrawan, juga dilawan
oleh mereka yang merasa eksis di media maya, seperti situs sastra atau malah
mereka yang ramai menyiarkan karyanya di media yang lebih terbatas lagi seperti
milis sastra. Milis Apresiasi-Sastra misalnya. Meski baru berusia muda, namun
milis ini belakangan menjadi tempat diskusi dan publikasi para sastrawan dari
berbagai genre, usia dan tempat tinggal yang menyebar di berbagai belahan
dunia, dan banyak juga yang sudah sangat eksis di jagad sastra Indonesia.
Sekedar menyebut nama JJ Kusni (tinggal di Paris), Ikranagara (Amerika Serikat),
Sobron Aidit (Belanda), Labibah Zain (Montreal, Kanada), Sigit Susanto (Swiss),
Mila Duchlum (Maladewa/Tanjung Pinang), Akmal Nasery Basral, Kurnia Effendi,
Endah Sulwesi, Dino F Umahuk, Rahmat Ali, Ratih Kumala, Eka Kurniawan, Damhuri
Muhamad, Sihar Ramses Simatupang (Jakarta), Lang Fang (Surabaya), Adi Toha,
Henadi Tanzil (Bandung), Eko Sugiarto (Semarang), Hasan Asphahani (Batam), I
Wayan Sunarta (Denpasar) Hary B Kori’un (penulis), Budy Utamy (Pekanbaru) dan
sekian nama lainnya yang sangat aktif berdiskusi dan mempublikasikan karyanya,
yang kemudian mendapat kritikan atau masukan dari yang lain.
Rata-rata dari mereka sudah banyak eksis, mampu menembus media massa nasional, dan memiliki buku karya baik kumpulan kumpulan cerpen, esai, puisi atau novel. Milis ini secara berkala juga membuat forum diskusi maya dengan membahas karya-karya pengarang seperti Umberto Eco, Karl May, Budi Darma, Goenawan Mohamad, Gabriel Garcia Marques, Federico Garcia Lorca dan sebagainya untuk menambah wawasan. Selain itu, secara berkala juga, milis ini mengadakan lomba mengarang, baik cerpen maupun puisi dan kemudian kerjasama dengan penerbit untuk diterbitkan menjadi buku. Salah satu buku yang sudah terbit adalah kumpulan cerpen Selasar Kenangan (Akoer, 2006).
Banyak milis sastra yang kini bermunculan dan menjadi tempat para sastrawan untuk mengasah kemampuan lewat diskusi dan sebagainya. Misalnya milis Penyair, Cybersastra, Kacangijo, Panggung, Gunung Merapi dan sebagainya. Mereka yang berkutat dengan sastra maya ini kebanyakan merasa nyaman karena mereka terbebas dari ribetnya berurusan dengan redaktur sastra media massa, dan mereka tetap berkarya dengan mendapat masukan dari peserta yang lain. Mereka tidak memperdulikan kualitas ketika dipublis, tetapi ketika karya-karya mereka akan dibuat dalam bentuk antologi, seleksi ketat tetap dilakukan untuk mendapatkan karya yang lebih baik.
Salah satu media untuk menyiarkan karya yang belakangan menjadi pilihan para pengarang (masih di jagad maya alias internet) adalah komunitas blog atau blogger. Blog ini lebih mirip website mini yang bisa dibuat sendiri oleh pemiliknya, tak harus membayar hosting sebagaimana website, dan dengan mudah bisa di-update kapan diinginkan. Para aktivis blog juga menganggap media ini selain menjadi alat publikasi karya yang paling mudah (tentu jika memiliki fasilitas jaringan internet) bagi aktualisasi diri, juga menjadi alat perlawanan terhadap media cetak yang dianggap menjadi pembaptis sastrawan. Namun, fasilitas blog ini tidak hanya populer di kalangan sastrawan, tetapi sudah menjadi hal yang umum karena baik atlet, selebritis, dan bahkan orang biasa sudah banyak yang memilikinya.
Di Riau berapa banyak sastrawan atau personal yang memanfaatkan blog dan milis sebagai sarana publikasi diri dan karya? Saya tak tahu persis, tetapi beberapa sastrawan seperti Fakhrunnas MA Jabbar dan M Badri sudah memilikinya.
Rata-rata dari mereka sudah banyak eksis, mampu menembus media massa nasional, dan memiliki buku karya baik kumpulan kumpulan cerpen, esai, puisi atau novel. Milis ini secara berkala juga membuat forum diskusi maya dengan membahas karya-karya pengarang seperti Umberto Eco, Karl May, Budi Darma, Goenawan Mohamad, Gabriel Garcia Marques, Federico Garcia Lorca dan sebagainya untuk menambah wawasan. Selain itu, secara berkala juga, milis ini mengadakan lomba mengarang, baik cerpen maupun puisi dan kemudian kerjasama dengan penerbit untuk diterbitkan menjadi buku. Salah satu buku yang sudah terbit adalah kumpulan cerpen Selasar Kenangan (Akoer, 2006).
Banyak milis sastra yang kini bermunculan dan menjadi tempat para sastrawan untuk mengasah kemampuan lewat diskusi dan sebagainya. Misalnya milis Penyair, Cybersastra, Kacangijo, Panggung, Gunung Merapi dan sebagainya. Mereka yang berkutat dengan sastra maya ini kebanyakan merasa nyaman karena mereka terbebas dari ribetnya berurusan dengan redaktur sastra media massa, dan mereka tetap berkarya dengan mendapat masukan dari peserta yang lain. Mereka tidak memperdulikan kualitas ketika dipublis, tetapi ketika karya-karya mereka akan dibuat dalam bentuk antologi, seleksi ketat tetap dilakukan untuk mendapatkan karya yang lebih baik.
Salah satu media untuk menyiarkan karya yang belakangan menjadi pilihan para pengarang (masih di jagad maya alias internet) adalah komunitas blog atau blogger. Blog ini lebih mirip website mini yang bisa dibuat sendiri oleh pemiliknya, tak harus membayar hosting sebagaimana website, dan dengan mudah bisa di-update kapan diinginkan. Para aktivis blog juga menganggap media ini selain menjadi alat publikasi karya yang paling mudah (tentu jika memiliki fasilitas jaringan internet) bagi aktualisasi diri, juga menjadi alat perlawanan terhadap media cetak yang dianggap menjadi pembaptis sastrawan. Namun, fasilitas blog ini tidak hanya populer di kalangan sastrawan, tetapi sudah menjadi hal yang umum karena baik atlet, selebritis, dan bahkan orang biasa sudah banyak yang memilikinya.
Di Riau berapa banyak sastrawan atau personal yang memanfaatkan blog dan milis sebagai sarana publikasi diri dan karya? Saya tak tahu persis, tetapi beberapa sastrawan seperti Fakhrunnas MA Jabbar dan M Badri sudah memilikinya.
Komunitas memang perlu dan menjadi tempat yang baik bagi para pengarang untuk mengasah kemampuan lewat diskusi, pembahasan sastra, tukar informasi dan sebagainya. Di Riau, memang tak banyak komunitas yang intens di situ. Memang beberapa komunitas dan sanggar seperti Forum Lingkar Pena (FLP), Paragraf, Sanggar Selembayung, Senapelan Writers Association (SWA) Latahtuah dan sebagainya, muncul. Tetapi sangat sedikit jumlahnya dibandingkan komunitas yang lahir di Padang, Lampung, Jakarta, Bandung atau Jogjakarta. Hal ini barangkali juga berpengaruhi tingkat kemunculan penulis muda, juga kualitas sastra.
Peran Kritikus
Lalu, adakah peran kritikus dalam perkembangan sastra Riau? Ini yang menjadi tanda tanya besar. Sejauh ini, peran kritikus tak terlihat dalam khasanah sastra Riau karena tidak banyak (jika tak mau disebut tidak ada) yang mau secara serius menjadi kritikus. Padahal, Riau memiliki tiga perguruan tinggi yang memiliki fakultas atau jurusan sastra, meski keguruan. Paling tidak, banyak sarjana sastra yang belajar sastra secara teoritik dan akademis yang memahami dan bisa menilai kualitas sebuah karya. Lalu, ke mana mereka bersembunyi?
Memang, secara berkala, ada satu-dua penulis yang menulis esai di media massa tetapi tidak serta-merta membahas karya secara mendalam sebagaimana kritikus. Mereka kebanyakan juga orang-orang yang menulis karya kreatif seperti cerpen dan puisi, yang tentu menulis esai hanya untuk mengasah kemampuan menulis dan bukan benar-benar ingin menjadi kritikus. Padahal, konon, Riau memiliki orang-orang yang punya kemampuan lebih dalam menilai karya sastra dengan teori akademis seperti Hasan Junus, UU Hamidy, Elmustian Rachman, Al Azhar, Hukmi, dan sekian orang dosen dan sarjana sastra yang setiap tahun dilahirkan oleh Unri, Unilak atau UIR.
Yang menarik, nama Maman S Mahayana belakangan malah melekat dengan sastra Riau, karena dosen satra di Universitas Indonesia yang tinggal di Depok ini sangat intens mengikuti dan mendalami satra Riau. Dalam Cakrawala Sastra Indonesia beberapa tahun lalu di Jakarta, Maman “disewa” oleh DKR untuk memberi pengantar kumpulan dan pembahasa kumpulan cerpen Riau, Pertemuan dalam Pipa, yang diadakan di Jakarta. Sayangnya, karya cerpen yang dipilih oleh DKR ketika itu tidak diambil dari sistem seleksi terbuka dan fair, tetapi mereka yang dipilih oleh DKR. Hal seperti ini sah-sah saja, tetapi mengingat banyak penulis cerpen yang ada di Riau, DKR terkesan pilih kasih dan subyektif.
Namun, di luar persoalan itu, tampilnya Maman sebagai orang yang dipilih untuk membahas, memberi kata pengantar dan mengkritisi karya pengarang Riau, seharusnya menjadi tamparan yang memilukan bagi dunia kritik sastra Riau. Sebab, di daerah yang memiliki sejarah sastra begitu gemilang, dunia kritik sastra Riau ternyata tidak hidup, padahal (sekali lagi) tidak sedikit sarjana dan kritikus yang sebenarnya dimiliki Riau.
Selain itu, Riau juga memiliki lembaga kajian bahasa dan sastra, yakni Balai Bahasa Pekanbaru, yang setiap hari tugasnya meneliti dan menelaah bahasa dan sastra di daerah ini dan mendapat dana cukup besar dai Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Namun, Balai Bahasa Pekanbaru ternyata masih belum memiliki peran berarti dalam kemajuan dunia kebahasaan dan sastra Riau secara umum. Hasil kajian, telaah dan penelitian oleh Balai Bahasa Pekanbaru hanya tersimpan berdebu di perpustakaan atau malah dalam tumpukan kertas apak, karena tidak dipublikasikan kepada khalayak.
Suatu ketika, saat berdiskusi bersama Olyrinson, Budy Utamy dan Marhalim Zaini, saya melontarkan ide: terus berkarya tanpa mempedulikan ada atau tidaknya kritikus sastra. Dan hampir senada mereka menjawab: “Kritikus ada karena ada karya, jadi benar, kita harus terus berkarya dan terus mempublikasikan. Kita berkarya untuk diri kita sendiri dan untuk dibaca oleh masyarakat, dan bukan untuk kritikus atau untuk disimpan di rak-rak apak yang tak terjamah oleh manusia…”
Kritikus sastra Riau, di mana persembunyianmu? Bantulah sastra Riau agar bisa berkembang lebih signifikan lagi.***
Hary B Kori’un adalah wartawan dan penulis novel. Tinggal di Pekanbaru
Sumber: Riau Pos, Minggu, 26
Nopember 2006
No comments
Post a Comment