Breaking News

Berziarah ke Kota Mati


Telah lenyap sebaris hikayat
dikubur ombak
lalu angin pun mabuk*

Begitulah kalau kita singgah di dermaga kota
sekedar berbela sungkawa atau menabur bunga
sebab dari sabang hingga meulaboh
gelombang pasang menenggelamkan pelabuhan
menghanyutkan harapan
dan masa depan

Juga di calang, serpihan peradaban masih berserakan
seperti buih yang mendidih. tubuh-tubuh melepuh
selepas subuh. dan semilir angin pantai telah menjelma badai
seperti pasir-pasir yang berkarat
ketika ribuan mayat terkubur di balik lumpur
di tanah subur yang telah lebur

Di penampungan kita masih bisa menyaksikan
tangis bayi dan rintih korban. seperti yang diceritakan setiap koran
atau sisa air bah yang membelah rumah-rumah
dan gerak seudati menjadi tarian memilukan
menghempas dada kota yang telah rata

Di sini kita bentangkan doa
dalam setiap ziarah yang bertabur air mata
ketika menyaksikan di depan layar kaca;
kabut berarak, dan pantai itu menjadi
gaib tempat cinta menjadi batu
nisan, dingin dan gelisah bersama
air mata yang terus mengucur
menjadi sungai di kampung-kampung**

2005

*dari puisi “Ulee Lheue” yang ditulis Maskirbi, sastrawan Aceh.
**bait terakhir sajak “Memolita Pantai” karya Mustafa Ismail, penyair asal Aceh.




Percintaan Embun

Aroma kebun, kembang-kembang bersemayam
di balik bukit yang meranum. zikir sebiji matahari
mulai mengelupas dari balik pagar
yang melingkar di tubuh perawan, gunung-gunung
dan jalan setapak di sawah-sawah

Aku berkaca pada daun-daun basah
sebelum kedua mataku menjelma kupu-kupu
dan bercinta di pagi yang hijau
semak-semak merimbun di atas tubuhku
yang berkabut resah

Kuasingkan peluh ke sungai-sungai
yang mengalir indah, di pematang
tubuhmu. kekasihku jadilah embun
di taman-taman dan kuncup kembang
dalam pengembaraan yang gamang

2005




Bahasa Sawah

Merayap di pematang rerumputan menyanyi
seperti gerak petani yang setia mengintai
kembang jagung dan beberapa lembar cerita murung
yang terhempas dari kulit nasib, lebih mirip tembang panjang
seperti kemarau merajam batang-batang sunyi
dan butiran keringat yang berkarat

Padi menguning
pematang kering dan tikus yang hinggap di kening
tak cukup menyembunyikan kegelisahan
tentang hujan dan rintik paceklik
yang berguguran di atas gubuk, sebelum ambruk
pun, beras-beras dari negeri tetangga
masih menghantui mimpi di pagi buta

Bertahun-tahun
embun selalu saja memberikan warna yang sama
ketika doa-doa hinggap dan mengendap
di ruang-ruang sunyi
sambil menunggui matahari

2005




Ketika Pulang

I.
Barangkali langit telah menunggu kita pulang
dengan bulannya yang dibalut bintang
seperti benih padi mengambang
kemudian angin berhenti di samping rumah
setelah mencium pipimu yang dingin
tak terjamah

Misalkan kita masih tersangkut hening
dan aroma tanah belum juga berubah
mungkin jalan kerikil masih resah
setiap melewati tikungan
atau perkampungan

II.
Menunggu risau di senja hari
seperti sepi yang membakar emosi
dan hati galau hanya mencipta lagu-lagu
yang memperlambat perputaran waktu
diam dan bisu

Mungkin menghitung hari
juga sama dengan menampung airmata
yang jatuh satu-satu seperti hujan
dalam telapak tangan terbuka
sambil menaburkan doa
ayat-ayat cinta

2005




Menjelang Pergi

Dari raut wajahmu aku melihat peta
dan arah cuaca yang melingkar seperti roda
juga mata angin mengisyaratkan hama
yang mengaburkan perjalanan
dan merusak setiap kilometer setelah kutandai
dengan warna pelangi

Selalu saja malam berkabut
merenggut mimpi kita yang jenaka
bila bahasa tubuhmu masih memikat
setiap hama yang mengembara
sebelum menghancurkan ranjang kita

Menjelang tengah hari, aku pergi
sambil menenggak segelas cemas
dan mentertawai diri
yang bersayap belati

2005



Surat Pertama

Kepadamu aku menulis dengan secangkir hujan
di atas daun-daun pinus, yang humus
bersampul simfoni dari ranting-ranting mahoni
jalanan menurun sepanjang tahun
dan menanjak menandai jarak
setiap kalender mengelupas di tapal batas

Lanskap pagi masih terendam
gunung-gunung dan bukit-bukit, puisi
dan aku membuat rumah dari kertas
sebelum kukirimkan pada senja yang manja
pada cakrawala dan setangkup cahaya

Lalu tampaklah sungai siak membanjiri ranjangku
dengan warnanya yang kelabu
dan aromanya yang beku
konon, hujan seharian tak cukup menghapuskan
jejak perjalanan

2005




Rotasi Pagi
  : kabut asap

Kepadamu aku kabarkan sebaris catatan yang menyala
di tungku matahari telah terbenam di ruang kelam
seluruh tatapan meronta, pedih dan binasa
dalam kepingan partikel-partikel kupelajari kemarau
atau rintik hujan yang berarak seperti sebaris belibis
di langit-langit tubuh kita, sebuah ceruk air mata

Aku kembali menemukan gurat kecemasan
berlembar-lembar sebelum angin mengirim kabar
tentang hikayat kota-kota, di celah peta
yang setiap tahun selalu saja terkurung
meratapi nasib di hamparan rimba––rimba luka
menggadaikan embun di balik retina rabun

Wajah kita telah hangus tertampar, lalu terbakar
sepanjang perjalanan melewati dua musim
setelah mereka tebas daun-daun ranting-ranting
atau irama kayu tumbang, serupa tembang kenangan
yang tiada habisnya mereka dendangkan

2005




Rotasi Tengah Hari
  : sesak dada

Di kampung ini aku lewati tanah lempung
derit roda menggilas kerikil dari pecahan tebing
dan beberapa jembatan dirajam pasir sungai
ketika rerumputan tumbuh lalu mengering
di sela dada kita yang melepuh lalu berdenting
seperti piano melagukan el nino

Tak ada percakapan, sayang
dan kabut yang kau ceritakan itu ternyata
tersebar di mana-mana, menyesakkan dada
dalam setiap nafas yang menghempas
rerimbun air mata dari belantara terluka
lalu binasa dan menjelma murka

Maka aku pun terus mengikuti perputaran waktu
dan menceritakan kisah ini kepadamu:
“telah luluh cahaya siang di perbatasan
bila setiap gumpalan awan
selalu menimbulkan bayangan-bayangan
sisa pembakaran”

2005




Rotasi Senja
  : kesetiaan

Masihkah kita menuliskan tanda tanya?
ketika di genggaman kita telah terselip seikat kembang
dan burung-burung memahat kesetiaan
dengan sayapnya yang berbentuk daun jati
sambil memancurkan perigi abadi

Seperti matahari mengukir senja
aku ingin mengalirkan sungai-sungai
dan menciptakan perahu dari rongga doa
sebab waktu akan membuktikan setiap makna
dari kata-kata yang kita kayuh berdua

Lalu di jemarimu kulingkarkan sebait puisi
simpanlah di rahimmu yang paling rahim
dengan kelembutan bahasa ibu
yang selalu melahirkan rindu

2005




Rotasi Malam
  : mengubur mimpi

Akhirnya akan sampai suatu masa
kita harus mengubur mimpi-mimpi buruk
atau menerjemahkan rasa kantuk
menjadi sesuatu yang sangat berharga
saat kunang-kunang mengelupaskan cahayanya
dan sujud di atas daun-daun

Tak ada kabut yang terlipat
dan warna bulan kembali menjadi ranum bunga
sebab malam tak lagi berkarat seperti di musim-musim lalu
ketika kita lihat bayangan gerimis tertindih
butiran salju dari ribuan jerebu

Di atas langit adam dan hawa
bercahaya seperti sepasang bintang berkejaran
bersayap rembulan yang sama-sama mereka kepakkan
lalu merajut ranjang abadi dari lengkung pelangi
sementara kita di sini masih seperti kupu-kupu
yang belajar merangkai wanginya kembang

2005


No comments