Malam Api
Cerpen
M Badri
Kami
orang kampung. Nenek moyang kami sejak dulu hidup dan mati di kampung. Hutan
belantara dan rawa adalah jiwa kami, nyanyian burung dan lengkingan siamang
adalah hiburan setiap pagi dan petang. Untuk sampai ke kampung, orang-orang
dari kota harus menempuh jarak ratusan kilometer di jalan batu yang sama
kerasnya dengan jalan hidup kami. Lalu menerabas ke dalam hutan yang
meliuk-liuk mengikuti irama bukit dan lembah.
Kami
berladang karet dan umbi-umbian untuk menyambung hidup yang luasnya sejauh
matahari terbit dan terbenam. Ada juga beberapa pohon sialang yang masih setia
menampung lebah penghasil madu. Maka setiap bulan purnama kami beramai-ramai
pergi ke hutan untuk mengadakan pesta panen madu sambil mendendangkan
tetabuhan. Dan anak-anak menari di antara tiang-tiang yang memancang rumah.
Memancang tubuh kami untuk tetap lahir, hidup dan mati di kampung ini. Lalu
apakah aroma kulit kayu yang hijau harus berubah menjadi anyir darah yang
memerahkan kampung?
***
Siapakah
mereka? Kami hanya melihat cadar hitam yang menutupi muka mereka. Barangkali di
baliknya, ada wajah beringas dan mata liar yang siap membakar apa saja. Karena
tiba-tiba api membumbung tinggi dari sebuah rumah, melumat atap rumbia dan
menghanguskan dinding-dinding meranti. Sampai di situ kami hanya diam, sebab
sejak dulu nenek moyang kami tidak pernah mengajarkan permusuhan.
“Segera
tinggalkan kampung ini. Tanah kalian sudah menjadi milik perusahaan!” Seseorang
berbadan tegap berteriak sambil mengacung-acungkan bedil laras panjang ke muka
kami. “Kalau sebulan mendatang kalian masih di sini, kami akan bakar kampung
ini sampai selesai!”
“Tapi
ini tanah kami!”
“Sudah
turun temurun kami hidup di sini!”
“Hutan
moyang kami!”
Dan,
“Brakkk.....”
Gagang
bedil menghantam muka Datuk Talma. Tetua kampung itu tersungkur dengan darah
mengucur, dari hidung dan bibir. Gigi kami gemeretak, menahan amarah. Namun
hanya bisa menahan, tanpa kuasa mengeluarkan. Karena kami takut terkena kutuk
kalau sampai menyebarkan permusuhan. Kami takut sungai di selatan kampung
mengamuk lagi, menggenangi hampir seluruh kampung. Seperti ketika Rustam dan
Awang berkelahi sampai satunya mati, beberapa tahun silam. Banjir bandang
setinggi atap rumah meratakan semua tanaman yang tumbuh di ladang. Begitulah,
kami tidak menyukai permusuhan, seperti kami tidak menyukai kematian dan banjir
bandang.
Apakah
kami harus diam ketika marwah kami diinjak-injak para pendatang? Mereka telah
membabat separuh hutan, melebihi batas areal mereka, membakarnya, dan
menjadikannya lahan perkebunan. Padahal nasib kami masih tergantung dengan
hutan, pohon sialang, dan lebah madu. Tonggak pembatas selalu berubah dan
semakin mendekati perkampungan. Semakin hari hutan kami semakin sempit.
Sekarang malah akan menggusur, menguasai kampung yang sudah turun temurun kami
tempati.
Kemudian
mereka pergi. Meninggalkan luka yang membekas di dada. Tapi kami tetap tidak
akan menyebarkan permusuhan. Awalnya, beberapa tahun silam ada perusahaan
perkebunan milik kerabat menteri yang membuka lahan di sini. Mereka dengan
sesuka hati mematoki hutan dan menebanginya, lalu membakarnya. Kampung kami
diselimuti kabut selama 40 hari 40 malam. Betapa sesak dada kami bukan? Tapi
kami membiarkannya, karena mereka belum terlalu mengusik. Hanya raungan gergaji
mesin yang sayup-sayup sampai ke telinga. Namun entah mengapa, beberapa bulan
terakhir ini, kampung ini menjadi bulan-bulanan kekejaman mereka. Mereka ingin
menguasai tanah kampung, dan mengusir kami seperti segerombolan babi hutan.
Beberapa
hari berselang, keadaan kembali seperti semula. Kami melakukan aktivitas
seperti biasa. Ke kebun karet, ke ladang menyemai umbi-umbian, atau ke sungai
memancing dan memasang bubu. Malam purnama, anak-anak menari di bawah bulan.
Beriring tetabuhan dari kulit rusa yang dikeringkan. Lagu-lagu dan sorak-sorai
seolah melupakan kejadian beberapa malam sebelumnya. Kami tak akan pergi,
meninggalkan kegembiraan ini, setelah bertahun-tahun menyulami siang dan malam.
Seperti mendendangkan nyanyian panjang.
Tangan-tangan
saling berpegangan, ada api unggun di tengahnya. Selama beberapa malam, sampai
purnama tak lagi bertandang. Lalu senyap kembali menyelimuti kampung kami.
Begitulah, setiap purnama masyarakat kampung berkumpul di tanah lapang.
Sorak-sorai menyambut para lelaki selesai memanen madu. Makan bersama di tanah
lapang. Kebahagiaan kami sederhana bukan? Tapi kenapa orang-orang asing itu
mengganggu kami? Dengan parang dan bedil laras panjang.
“Sampai
kapan kita bisa menali di bawah bulan abah?”
Putri
kecilku, menggelayut di pundakku. Jemarinya yang lentik memainkan rambut-rambut
halus yang memanjang di daguku. Di langit, bulan samar-samar mengintai dari
balik awan yang memar.
“Kita
akan terus menari nak!”
“Tapi
ada olang-olang jahat!”
Matanya
yang polos memancarkan ketakutan, mungkin juga kebencian. Ada aliran bening
yang keluar dari hulu matanya. Dia melihat kilatan api unggun yang hampir
habis.
“Mengapa meleka mengamuk di kampung kita abah? Meleka jahat! Jahat! Jahat! Ihhhhh........”
Kakinya
dihentak-hentakkan ke tanah, beberapa kali, sampai dia lunglai dan tertidur di
bahuku. Mungkin putri kecilku sempat menyaksikan kejahatan orang-orang yang
menyerang kampung, beberapa hari lalu, sebelum purnama. Dan ingatannya masih
merekam setiap makian, kilatan parang, api yang membumbung tinggi. Terus
tersimpan menjadi dendam, meskipun hanya tersimpan. Karena nenek moyang kami
tidak pernah mengajarkan permusuhan.
***
Kampung
kami tak seberapa besar. Bila orang-orang asing itu datang dan menyerang dengan
membabi buta, kami pasti tak berdaya. Apalagi jumlah mereka hampir seimbang
dengan banyaknya lelaki dewasa di kampung kami. Karena kami tidak menyukai
permusuhan, maka kami tak punya parang untuk berperang, apalagi bedil laras
panjang. Kami hanya menyimpan parang untuk menebang kayu dan pisau pemotong
getah karet yang kami simpan di kolong rumah. Di antara tiang-tiang pancang
yang kami buat tinggi-tinggi, untuk menyimpan hasil ladang. Di sana para
perempuan sering berkumpul menyaring madu, lalu di masukkan ke dalam botol dan
kami jual di pinggir-pinggir jalan batu yang jaraknya seperempat hari jalan
kaki dari kampung.
Mobil-mobil
balak yang lewat di jalan batu sering berhenti. Membeli umbi-umbian, getah
karet, dan madu dari hutan kami atau sekedar menggoda anak-anak gadis dari
kampung kami yang lugu dan pemalu. Kadang kami juga menukar hasil ladang dengan
beras dan minyak, kalau kami tak sempat pergi ke pasar yang teramat jauh
jaraknya. Kami biasa menumpang mobil balak atau mobil pengangkut buah sawit
untuk ke pasar, dengan upah sebotol madu. Roda mobil selalu gemeretak beradu
dengan batu-batu di jalan, yang setiap kemarau meninggalkan gumpalan debu.
Beberapa anak gadis kampung kami bahkan ada yang dipinang sopir-sopir mobil
balak itu, lalu dibawa entah ke kampung mana, dan tidak pernah kembali lagi.
Begitulah,
luas kampung kami hanya sejauh matahari terbit dan tenggelam. Hingga tidak
terasa, sebentar lagi purnama. Masih adakah sorak-sorai, tari-tarian di bawah
bulan? Juga tetabuhan? Karena kedatangan puluhan lelaki tinggi besar berparang
dan bedil panjang, sudah hampir sebulan berlalu. Kata-kata kasar mereka kembali
terngiang di telinga kami. “Kalau sebulan mendatang kalian masih di sini, kami
akan bakar kampung ini sampai selesai!”
Sampai
selesai? Apakah itu maksudnya sampai tak tersisa. Lalu di manakah kami akan
tinggal? Sudah turun temurun kami hidup di sini. Karena ini tanah moyang kami,
hutan yang di wariskan leluhur kami. Kami tidak akan pergi! Kami masih ingin
melihat anak-anak menari sambil sorak-sorai, di bawah bulan. Sambil menunggu
para lelaki pulang memanen madu dari pohon-pohon sialang, perempuan kampung
kami tetap akan menyiapkan makanan. Untuk kami nikmati bersama-sama, sambil
mempersembahkan tetabuhan kepada alam yang menyediakan hidup untuk kami.
Kami
tetap ingin menari di bawah bulan. Karena itu kebahagiaan kami. Kami tidak akan
pergi. Karena sejak dulu moyang kami hidup dan mati di kampung ini. Di langit,
purnama mulai mengintai dari balik ranting-ranting pepohonan. Kami kemudian
mengumpulkan kayu kering, lalu ditumpuk tinggi-tinggi. Kalau orang-orang asing
centeng perusahaan itu datang kembali, mungkin ini menjadi tarian terakhir.
Maka kami akan membuat api unggun yang lebih besar dari biasanya. Kami akan
menari sepuasnya, di bawah bulan. Indah bukan?
Haaa...
Hooo... Heee... Haaaa......
Prakk..!!!
Prakk.. !!! Dung..! Dung.. !!!
Prakk..!!!
Prakk.. !!! Dung..! Dung.. !!!
Haaa...
Hooo... Heee... Haaaa......
Api
membumbung tinggi. Bulan purnama merekah, dengan sinar yang memerah. Beradu
dengan cahaya api yang menjilat-jilat ke angkasa, seperti lidah raksasa.
Tetabuhan terus beradu dari tangan-tangan kekar, beriring sorak-sorai perempuan
kampung kami. Tapi tak ada yang menari? Kami duduk dan berdiri dengan cemas,
melihat ke setiap penjuru, semak belukar dan kayu-kayu besar. Kami semua
memegang parang, yang biasa kami pakai untuk menebang pohon, memotong getah
karet, menyayat ikan. Kami tetap siaga, meskipun tetabuhan dan sorak-sorai
terus bersahutan.
Siapa
ingin menari? Mungkin kami akan membuat tarian kematian, untuk terakhir
kalinya, kalau orang-orang itu datang. Meskipun moyang kami tidak pernah
pengajarkan permusuhan. Kami hanya menjaga marwah, untuk tetap lahir, hidup,
beranak-pinak dan mati di kampung ini. Siapa ingin menari? Hanya lidah api dan
cahaya purnama, yang meliuk-liuk dimainkan angin. Siapa ingin menari? Hingga
dini hari tak ada yang datang, tak ada tarian......***
Pekanbaru – Bogor, 2005 – 2006
No comments
Post a Comment