Komunitas Sastra: Antara Mobilisasi Karya dan Mobilisasi Massa
Oleh M Badri
Pertumbuhan komunitas sastra merupakan fenomena
menarik untuk melihat perkembangan minat masyarakat terhadap sastra. Meskipun
tanpa komunitas, sebenarnya sastrawan juga dapat berkembang. Tapi mengambil
filosofi “sapu lidi”, dengan berkomunitas para peminat dan pegiat sastra dalam
memperkuat individu, proses, dan karyanya. Sebab banyak hal didapat dari
komunitas yang iklim di dalamnya cukup sehat untuk berkreativitas. Tanpa
kepentingan-kepentingan tertentu selain bersastra (menulis, diskusi,
apresiasi).
Ketika membaca beberapa tulisan, kadang juga mengamati
langsung, saya melihat masih banyak yang belum memahami esensi dari sebuah
komunitas. Meskipun komunitas adalah sekumpulan orang-orang, bukan berarti
komunitas sastra merupakan ajang pengumpulan orang sebanyak-banyaknya dalam
sebuah lingkaran kata: sastra, penulis, pena, dan sebagainya. Terlebih bila
pengumpulan orang-orang tanpa melihat motif dan tujuan berkomunitas, apakah
ingin berproses kreatif, sekadar meramaikan, atau menebar kepentingan
(tertentu).
Apa arti sebuah komunitas sastra, bila orang-orang di
dalamnya kebanyakan tidak mempunyai motivasi untuk berkarya? Saya memandang ini
lebih kepada makna berkomunitas. Sebab hasil akhir dari para peminat sastra
(terutama penulis pemula) adalah menghasilkan karya, bukan sekadar seremonial
belaka. Bila sebuah komunitas sastra tak mampu menunjukkan karyanya, komunitas
tersebut tak lebih dari mobilisasi massa.
Dalam pandangan saya, penggambaran tentang komunitas
sastra bisa sangat sederhana, misalnya beberapa orang berkumpul pada suatu
siang di galeri buku, atau suatu malam di bawah kolong jembatan. Dengan
beberapa gelas kopi dan sebungkus rokok ––bungkusan gorengan juga barangkali.
Membawa beragam ide dan pikiran untuk didiskusikan atau ditumpahkan. Bisa juga
sangat wah, seperti di sebuah ruangan hotel dengan suasana yang
serba mewah. Anggotanya juga mencapai puluhan orang dengan beragam latar
belakang dan motif berkomunitas yang dibawa masing-masing individu.
Dari beberapa kali berkomunikasi dengan rekan-rekan penulis
yang berkomunitas, saya kemudian memandang komunitas menjadi lebih simpel lagi:
mengobrol dan menulis. Kadang hanya di kamar sempit berbau apak, di warung kopi
sederhana, di toko buku kecil, di ruang maya, juga di ruang terbuka dan selalu
berpindah-pindah. Tetapi para pegiatnya menampakkan eksistensinya, dengan
menampilkan karya kreatifnya di sejumlah media massa. Menunjukkan kemampuannya
melalui berbagai sayembara.
Namun bagaimanapun bentuknya, tentunya komunitas
sastra merupakan sekumpulan orang yang tahu (atau ingin tahu) tentang sastra
dengan melibatkan diri pada berbagai aktivitas sastra. Banyak aktivitas yang
bisa dilakukan oleh pegiat komunitas sastra, dari diskusi ringan sampai
perdebatan sengit tentang kesusastraan. Kadang hanya sekadar menggosip tentang
individu-individu sastrawan atau menjadi ajang “pengujian” karya sebelum
dikirimkan ke media massa, untuk mendapat pengakuan publik melalui perantara
redaktur budaya.
Di sinilah kemudian muncul pertanyaan sederhana tadi,
apakah komunitas sastra merupakan forum untuk memobilisasi karya atau
memobilisasi massa? Kalau saya berpendapat, tidak ada yang lebih penting dari
sebuah komunitas sastra selain memobilisasi karya dengan menulis dan
menghasilkan karya-karya kreatif. Sedangkan mobilisasi massa, biarlah itu
dilakukan ormas-ormas yang jumlahnya tentu jauh lebih banyak dari jumlah
komunitas sastra. Tapi kalau kedua-duanya bisa digabungkan tentu suatu prestasi
tersendiri ––atau masalah sendiri. Sebagai gambaran, misalnya sebuah komunitas
penulis di suatu tempat jumlah pengurusnya diasumsikan sepuluh persen dari
jumlah anggota. Bisa dibayangkan bila jumlah pengurusnya saja mencapai puluhan
orang, berapa banyak karya yang dihasilkan (seandainya motifnya untuk berkarya)
para anggotanya.
Keberadaan komunitas sastra memang sangat berpengaruh
terhadap proses kreatif anggotanya. Karena biasanya dalam komunitas terjadi
persinggungan kreatif, saling belajar, saling kritik dan sebagainya. Melalui
proses tersebut kemudian akan lahir karya-karya yang bernas, penulis yang
diperhitungkan, dan lebih penting lagi tetap terjaganya gairah untuk berkarya.
Tetapi, kadang keberadaan komunitas sastra hanya menguntungkan
individu-individu tertentu, tokoh-tokoh tertentu, semisal ketuanya atau
donaturnya. Kalau yang terakhir ini, sebuah komunitas cenderung menjadi “alat”
orang-orang yang berkepentingan, bukan menjadi “forum” bersama untuk berproses
kreatif.
Karena komunitas sastra tidak sama dengan ormas,
tentunya tujuan dari komunitas sastra adalah bagaimana sukses bersama dalam berkarya.
Sehingga publik sastra tidak teracuni oleh ideologi-ideologi tertentu di luar
konteks sastra yang membawa bendera sastra. Sebab dalam sastra sendiri telah
terjadi kecenderungan pengkotak-kotakan, antara moralis dan liberalis, kanan
dan kiri, dan sebagainya. Hal itu menyebabkan timbulnya sekat-sekat,
pertentangan yang mengarah pada permusuhan, bukan malah memunculkan perdebatan
yang sehat untuk menemukan muara sastra yang universal. Apa jadinya bila
kepentingan di luar sastra (terlebih tidak memahami sastra) turut ambil bagian
dalam polemik tersebut.
Esensi Komunitas
Kalau ditanya apakah yang dibutuhkan publik sastra
dari komunitas, jumlah karya atau anggotanya? Saya yakin, dengan akal sehat,
semua akan sepakat karya lebih penting dari orang-orangnya. Bahkan seringkali
publik mengenal karyanya daripada penulisnya. Itulah realitas dari dunia
tulis-menulis, dunia sastra dengan segala warnanya. Bahwa tidak ada yang lebih
penting dari karya. Hal ini juga diakui oleh sastrawan sekaliber Joni Ariadinata
beberapa waktu lalu, dalam suatu perbincangan sastra di Pekanbaru. Pengakuan
legalitas organisasi (seperti SK dan atribut) tidak penting bagi penulis,
tetapi yang penting karya apa yang telah dihasilkan. Itulah perbedaan komunitas
penulis dengan ormas.
Kesuksesan komunitas juga tidak ditentukan oleh figur
tokohnya, nama besar organisasinya, terlebih kekuatan dananya. Sehingga
pandangan tentang pentingnya faktor sastrawan seniornya, penyandang dana,
campur tangan pemerintah, kemampuan lobi untuk mensukseskan acara seremonial,
dalam sebuah komunitas hanyalah pemikiran sempit (juga picik). Dalam publik
sastra yang menjadi ukuran keberhasilan adalah kualitas karya yang dihasilkan
anggota komunitasnya.
Di sini yang sering dilupakan adalah bahwa
keberhasilan aktivitas kesastraan tergantung bagaimana masing-masing pribadi
berproses kreatif untuk menghasilkan karya. Keberadaan komunitas hanya faktor
pendukung dan penyemangat untuk terus berkarya. Sehingga percuma saja menempel
di depan kebesaran nama komunitas kalau tidak berbuat apa-apa, tidak
menghasilkan karya. Hanya pesta dan hura-hura. Sebab nama besar komunitas bukan
menjadi jaminan kualitas karya anggotanya.
Dalam beberapa kali diskusi kadang saya heran terhadap
sikap beberapa pegiat komunitas ––terutama pemula. Baru satu atau dua kali
menulis sudah bisa mengukur kualitas karyanya ––tentunya dari sudut pandang
pribadi dengan memakai jubah besar nama komunitas. Sehingga menggugat redaktur
sastra koran atau majalah, kenapa tidak memuat karya-karyanya. Penilaian-penilaian
individu seperti ini sebenarnya sah-sah saja, sepanjang untuk evaluasi terhadap
karya yang telah dibuat. Bukan justru menjustifikasi bahwa karya yang telah
dihasilkan sudah “luar biasa” sehingga wajib disiarkan kepada publik.
Gugatan-gugatan narsisme seperti ini sebenarnya tidak perlu muncul seandainya
penulis mau berkaca dengan membaca karya-karya penulis yang benar-benar luar
biasa, lalu mengevaluasi karya sendiri. Bukan malah “buruk muka cermin
dibelah”.
Masalah lain yang kadang timbul dalam komunitas sastra
adalah munculnya virus epigon pada penulis pemula. Kecenderungan “mendewakan”
sang senior atau sang guru menyebabkan keseragaman gaya penulisan. Dalam jangka
pendek wajar bila murid menirukan gurunya, namun bila berkesinambungan dan
menjadi indoktrinasi saya kira membawa masalah. Calon penulis tidak memiliki
kebebasan menampilkan gaya atau tidak berani memunculkan karakter
kepenulisannya. Inilah bila komunitas menjadi tempurung bagi katak kreativitas,
bukan menjadi sungai yang mengalirkan kreativitas. Maka komunitas hanya akan
kontraproduktif dan memandulkan proses kreatif anggotanya.
Esensi penting dalam berkomunitas adalah bagaimana
individu-individu yang akan berkelompok membawa idealisme dan semangat
masing-masing. Sebab komunitas hanya wahana untuk berkreasi, berinteraksi dan
berekspresi. Dengan semangat dan idealisme, para pemula tidak terjebak pada
bayang-bayang kebesaran komunitas, jumlah anggota komunitas, indoktrinasi
komunitas, nama besar figur atau batas-batas kreativitas. Sehingga bisa
memilih, menjadi idealis atau elitis. Maka pegiat komunitas sastra di Riau,
berlomba-lombalah menghasilkan karya, bukan sekadar mengumpulkan massa
sebanyak-banyaknya.***
Pernah Dimuat Riau Pos edisi Minggu
No comments
Post a Comment