Sebatang Ranji di Tepi Sungai
Cerpen M
Badri
Mereka
menyandarkan tubuhnya di pagar sungai. Menatap aliran airnya yang perlahan dan
kehitaman. Di sekitarnya, gedung-gedung tinggi menjulang menghimpit matahari
senja yang bersinar kemerahan. Sebagian cahayanya memantul di antara tumpukan
sampah yang berputar dan mengendap. Mereka menikmati matahari yang
perlahan-lahan meredup. Berganti dengan lampu-lampu yang sebagian tertata rapi,
dan sebagiannya lagi berserakan. Suasana itu mengingatkannya pada lanskap enam
puluhan tahun lalu. Di tepi sungai ini, mereka biasa menunggu malam di bawah
sebatang asam ranji tua sambil memainkan harmonika. Mereka sangat menikmatinya,
saat kunang-kunang mulai beterbangan dari satu perdu ke perdu lain. Bersaing
dengan bintang-bintang yang bermunculan. Tak ada bunyi jangkrik lagi di kampung
ini ––yang kini menjadi kota. Apalagi lenguh kerbau dan bising anak-anak pergi
ke surau.
Hasan dan
Frans, mereka kembali bertemu dua hari yang lalu. Setelah lebih enam puluh
tahun menjalani takdir masing-masing. Pertemuan yang direncanakan, setelah
pertemuan sebelumnya karena ketidaksengajaan. Sebulan lalu, Hasan baru saja
diundang Greenpeace ke kantor pusatnya di Amsterdam. Ia menerima
penghargaan dari organisasi lingkungan internasional itu, sebagai orang yang
hampir seumur hidupnya menjaga kelestarian lingkungan. Memelihara kelestarian
hutan dan cadangan air di kampungnya, yang semakin lama semakin menipis. Sebab
di lereng gunung, di kampungnya, vila-vila terus bermunculan. Berdiri angkuh
setelah merobohkan pohon-pohon dan tebing. Usaha yang oleh orang kebanyakan
dianggap sis-sia, itulah yang kemudian dihargai.
Hasan
bertemu kembali dengan Frans, saat jalan-jalan menyusuri taman kota Amsterdam
suatu sore, di hari terakhir kunjungannya ke kota itu. Dua lelaki tua, duduk
berhadap-hadapan di bangku yang berbeda. Satunya memegang tongkat dari logam
ringan, satunya lagi menyandarkan punggung rentanya di bangku taman. Tak ada
percakapan, Hasan hanya menajamkan pandangan ke arah lelaki tua di depannya.
Hampir setengah jam berpikir, sebelum memutuskan untuk menyapa.
“Kau itu
Frans?” Ia mulai bicara. Enam puluh tahun lebih bukan waktu yang baik untuk
menyimpan ingatan.
“Benarkah
itu kau?” Ia kembali menegaskan.
Lelaki di
depannya, yang kelihatan lebih tua, masih diam dan heran. Dia melepas kacamata
tebalnya, lalu memasangnya lagi, berkali-kali. Alat bantu dengar yang menempel
di telinganya dia sempurnakan letaknya.
“Frans?”
“Who are
you?” dia menurunkan posisi kaca matanya.
“Hasan!
Hasan Bin Makmun...”
Tapi dia
masih heran dengan orang yang menyapanya dengan bahasa Indonesia. Sebab puluhan
tahun dia tidak menggunakan bahasa itu. Tapi dia masih mengingatnya, meskipun
kosa kata yang dihapalnya sudah banyak yang luruh, seiring dengan renta
usianya.
“Siapa
kamu?” dia memastikan.
“Hasan!
Sungai Ciliwung...”
Dia masih
berpikir. “Hasan, sungai Ciliwung... Sungai Ciliwung... Hmm...”
“Batavia!
Jakarta! Indonesia! Harmonika! Ya, harmonika di sungai Ciliwung...” Hasan diam
sejenak sambil memikirkan kata-kata yang tepat untuk membantu ingatan lelaki
tua itu.
“Asam
ranji...!” Dia tahu lelaki tua di depannya menyukai pohon besar yang dulu
sering didatanginya, setiap senja, sambil memainkan harmonika.
Lelaki yang
dipanggil Frans mengangguk-angguk.
“Ya, ya... I ingat,
ingat... Asam ranji di Hindia, Indonesia...”
Dia
tersenyum.
“Hasan cowboy....
Ya? Eh, penggembala itu bull, ker-ker-kerbau... He-he-he...” Dia
terkekeh, memperlihatkan barisan gusinya yang tanpa gigi.
“Iya, Hasan
gembala kerbau... Ternyata kau masih ingat, Frans?”
Kemudian
mereka berpelukan, lama sekali, sambil meneteskan sisa air mata yang mengalir
dari mata mereka yang telah dikerumuni kerak katarak. Sore di Amsterdam itu,
kemudian menjadi cerita panjang. Sampai hampir tengah malam mereka bernostalgia
tentang masa lalu. Kemudian Hasan mengundang Frans berkunjung ke Indonesia,
setelah berpuluh-puluh tahun.
***
Mereka
duduk-duduk di bawah sebatang asam ranji. Di sebelahnya sungai yang tak begitu
luas mengalir jernih dan kehijauan. Banyak ganggang dan lumut tumbuh di
dasarnya. Beberapa sampan lalu lalang membawa penumpang. Di sanalah mereka
hampir setiap senja duduk di bawah rindangnya pohon, menghadap ke sungai sambil
meniup harmonika. Sebab di antara sampan-sampan itu, selalu ada noni-noni Belanda
yang cantik dan amoy-amoy bermata lembut yang menumpang.
Menghabiskan waktu sore menyusuri sungai yang jernih, sambil memandang
keindahan matahari senja yang kemerahan.
Dua remaja
itu, Frans dan Hasan––tentunya setelah Hasan meninggalkan kerbau-kerbaunya di
lapangan rumput yang tidak jauh dari sungai–– menyukai pemandangan itu.
Gadis-gadis cantik di atas sampan, berkulit lembut dan bibir kemerahan. Senja
menjadi sangat romantis, meskipun mereka sama sekali tidak berani menyapa
gadis-gadis itu. Hanya suara harmonikanya saja yang kadang menggoda. Balasannya
cukup dengan senyuman. Sederhana bukan?
Frans beribu
Manado dan bapaknya perantau Belanda yang menjadi pegawai rendahan di
perkebunan milik pemerintah Hindia Belanda. Namun setelah Indonesia dikuasai
Jepang, kemudian keluarganya pulang ke Belanda. Hampir setahun mereka berkawan,
sebab Frans yang Indo tidak berkawan dengan para pemuda Eropa. Dia sering
menyendiri di dekat asam ranji. Kemudian bertemu Hasan, si penggembala yang
sering menunggu kerbau-kerbaunya merumput di tempat sama. Frans mengajarinya
bermain harmonika dengan irama-irama sederhana.
“Sungai ini
sangat indah. Alirannya selembut rambut gadis-gadis itu.” Frans bergumam sambil
membolak-balik kumpulan sajak William Butler Yeats, pemenang Nobel 1923 yang
sajak-sajaknya dinilai inspiratif dan kebesaran bentuk artistiknya menghidupkan
daya hidup semua bangsa. Buku yang dicetak stensilan dengan huruf-huruf kabur
tersebut sering dibawanya bergantian dengan syair puitis Rabindranath Tagore
dan puisi kritis T.S. Eliot.
“Begitu
berartikah sungai, bagimu?”
“Iya, sungai
sumber kehidupan semua mahluk di sekitarnya. Sumber keindahan kita juga bukan?”
“Benarkah?”
kata Hasan sambil terus memainkan harmonikanya.
“Bayangkan
jika sungai ini kotor! Mana mau gadis-gadis di sampan itu bermain di atasnya.
Tempat yang indah selalu mendatangkan keindahan...”
“Dari mana
kamu dapat kata-kata itu?”
“Ini! Kalau
kamu ingin memaknai keindahan, baca ini...” Dia menyodorkan sebuah buku puisi
lusuh.
“Aku tidak
bisa membaca. Nantilah kamu ajari... Sementara, aku memaknainya dengan
lagu-lagu.”
Frans
tersenyum. Dilemparkannya sebuah kerikil kecil ke tepi sungai. Plung!
Hasan masih
meniup mainan barunya. Sejak itu mereka sering menghabiskan senja bersama-sama.
Di tepi sungai di bawah asam ranji, bermain harmonika, memandang gadis-gadis
cantik di atas sampan yang hilir mudik dari hulu ke hilir. Tanpa berani
menggodanya. Hanya irama harmonika dan tatapan mata yang seolah bicara.
***
Hasan
kembali ke kampungnya, di kaki Gunung Pangrango. Puluhan tahun hidup di sana,
beristri, beranak cucu. Sungai telah mengajarkan banyak hal, tentang kehidupan
dan persahabatan. Dia tahu, sungai-sungai banyak yang berhulu di perut gunung.
“Tempat yang indah selalu mendatangkan keindahan.” Dia ingat kata-kata itu,
dari Frans, teman masa remajanya yang telah pulang ke negara bapaknya.
“Percuma
kerjaan kau, San!” kata sebagian orang-orang kampungnya.
“Buang-buang
tenaga. Lebih baik kau cari makan buat anak binimu!”
Mereka
mengejek Hasan, ketika dia menanami tanaman keras di beberapa tanah tandus di
lereng gunung. Namun dia tak patah arang. Bertahun-tahun kemudian tumbuhan itu
tumbuh dengan subur. Lereng gunung pun semakin indah, setiap pagi dan senja
selalu diselimuti halimun. Hijaunya pegunungan menjadi sumber air bagi
sungai-sungai di bawahnya. Hasan melakukan itu, sampai usianya menua. Meskipun
dia harus sering bertengkar dengan orang-orang yang lebih suka membabat
pepohonan.
Hasan
kembali menanaminya, ketika sebagian habis ditebang. Juga ketika sebagian tanah
kampung di lereng-lereng gunung itu mulai dijual kepada orang-orang kota. Lalu
rumah-rumah persinggahan, vila-vila mewah tumbuh menggantikan pepohonan. Benar
kata Frans, pikirnya. Tempat yang indah selalu mendatangkan keindahan. Dulu,
keindahan masih alami dengan pepohonan yang menghijau sepanjang lereng gunung
yang sebenarnya rawan longsor. Tapi kemudian keindahan berganti, menjadi
vila-vila mewah. Keindahan yang kemudian sering mendatangkan bencana.
Tapi Hasan
tidak peduli, setidaknya lingkungan sekitar rumahnya masih hijau. Dia selalu
menanam, ketika orang-orang kampung lainnya sibuk menebang dan menjual. Maka di
antara lereng pegunungan yang meranggas itu, masih ada sisa hutan yang
menghijau. Masih mendatangkan keindahan setiap pagi dan petang, saat halimun
datang. Dia masih percaya, sebatang pohon masih menyediakan setetes air ke
sungai yang mengalir ke hilir. Seperti sebatang pohon asam ranji yang
mendatangkan keindahan di masa lalu.
***
“Inilah
sungai kita dulu, Frans,” kata Hasan sambil menepuk pundaknya yang ringkih.
“Sungguh
tragis nasibnya. Tak ada lagi gadis-gadis bersampan. Kini hanya sampah dan
limbah industri yang mengikuti arusnya yang kehitaman. Tak ada lagi aroma
minyak wangi dari gadis-gadis Belanda dan Tionghoa itu. Tak ada lagi keindahan.
Semuanya berubah menjadi aroma kematian,” Frans bergumam lirih.
“Benar
katamu. Setiap musim hujan selalu banjir, entah sudah menelan berapa banyak
korban. Sebab beton-beton itu menghambat resapan air. Belum lagi sampah dan
limbah.” Hasan menerawang jauh ke kampungnya.
“Sementara
di hulu, di lereng gunung, di kampungku pepohonan nyaris habis ditebang.
Dijadikan vila-vila milik orang kota juga. Itulah kondisi sekarang Frans,
kebijakan pemerintah negeri ini jarang yang memihak alam. Selalu uang dan
uang!” kata Hasan kesal.
“Lalu, di
mana asam ranji itu?” Frans ingat pohon tua yang dulu selalu mereka datangi
setiap senja.
“Kira-kira
di situ!” Hasan menunjuk sebuah rumah susun sederhana yang berdiri tepat di
tepi sungai. Dari atas, salah seorang penghuninya terlihat melemparkan
bungkusan plastik hitam ke sungai. Blung!
Frans
tersenyum sinis. Tongkatnya dia hentak-hentakkan ke besi pagar sungai, hingga
menimbulkan suara berdenting. Dia memandang sekitar sungai yang terlihat surut
dan hitam.
“Selalu
banjir, katamu?”
“Ya,
begitulah... Kota ini drainasenya buruk, buruk sekali. Sementara di hulu, di
lereng gunung itu, pepohonan yang menjadi sumber cadangan air dan resapan air
selalu berkurang. Kalau hujan Frans, dan di hulu memang sering hujan. Air
langsung menderas ke sini, ke kota ini. Banjir, dan itu bisa beberapa kali
setahun.”
Frans
manggut-manggut. “Tapi setidaknya kau sudah berusaha menjaganya kan?”
“Itu tidak
cukup berarti. Sebab yang merusak jauh lebih banyak!”
Lalu Hasan
melemparkan lima biji asam ranji ke sungai.
“Siapa tahu
masih mau tumbuh,” katanya sambil tersenyum.
Kemudian
mereka menyusuri tepi sungai itu sejauh beberapa puluh meter, sebelum kembali
ke hotel tempat Frans menginap. Malam semakin larut, dua lelaki tua itu juga
larut dalam cerita masing-masing, tentang takdir masing-masing. Tak ada lagi
suara merdu harmonika, selain lagu-lagu dari kafe-kafe liar di tepi sungai.
Berbaur dengan lampu warna-warni, yang di masa lalu masih berupa kunang-kunang
di rerumputan dan reranting pepohonan. Arus sungai tetap hitam, sampai langkah
kaki mereka hilang di tikungan.***
Bogor, 2007
No comments
Post a Comment