"Malam Api": Gambaran Kegelapan Riau yang Tertekan
Oleh: Musa Ismail
Memang benar bahwa karya sastra dibidani dari rahim sastrawan yang penuh dengan ide-ide dan pernak-pernik kejeniusan lokal (etnik genius). Tidak heranlah jika karya sastra yang terlahir dapat dikatakan sebagai cerminan (emanas) dari kehidupan sosial masyarakat yang membesarkan dan membentuknya sebagai manusia. Buah yang jatuh tidak akan jauh dari pohonnya atau air cucuran jatuhnya ke pelimbahan juga. Begitulah peribahasa yang bisa disandingkan dengan realitas antara sastrawan, karyanya, dan kehidupan sosialnya. Mengangkat latar, tema, penokohan, dan pemakaian bahasa yang berorientasi pada lingkungannya itulah yang kita sebut sebagai salah satu kejeniusan lokal. Kejeniusan lokal inilah pula nantinya akan mewarnai karya sastra-karya sastra yang lahir secara normal itu.
Wilayah Riau sebagai provinsi yang awalnya dihuni orang-orang Melayu, kini sudah semakin majemuk. Kemajemukan ini jugalah yang menjadi berkah—selain kekayaan alam yang melimpah—bagi panorama kekayaan kejeniusan lokalnya. Di samping itu, tradisi-tradisi yang menggeliat di sini pun sudah kian bersebati. Tradisi-tradisi positif itu mencakup tradisi lisan, tulisan, dan juga tradisi yang mencakup berbagai persoalan kehidupan.Tidak jarang kekayaan semacam itu menyelusup bebas tanpa pasungan ke ruang-ruang kreativitas para sastrawannya.
Sastrawan akan dipengaruhi oleh lingkungan kehidupan masyarakatnya. Berbagai persoalan dan peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat tidak akan pernah bebas begitu saja dari bidikan kreatif sastrawan. Karya sastranya seperti cerpen pun demikian. Mustahil rasanya kalau sastrawan bebas lepas dari budaya, ideologi, tradisi, atau kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan turut membelanya. Dalam karya sastra, berbagai persoalan pertentangan akan muncul, baik sengaja maupun tidak. Persoalan kebenaran-ketidakbenaran, keadilan-ketidakadilan, kemiskinan-kekayaan, cinta-seteru, lingkungan, budaya, alam, air mata, dan sebagainya selalu muncul dalam karya sastra sejak pengkhianatan iblis di surga. Julia Kristeva, seorang ahli semiotik dan psikoanalisa Perancis mengatakan bahwa sastra menguak kebenaran mengenai alam semesta yang tertekan, kegelapan malam, rahasia, dan alam tidak sadar (repressed, nocturnal, secret, and unconscious universe).
***
Ketika peluncuran tiga buku (kumpulan cerpen Malam Api karya M. Badri, kumpulan puisi Riau-Johor Selat Melaka, dan kumpulan esai Membela Marwah Melayu karya Musa Ismail) yang diterbitkan UIR Press dan BKKI (Badan Kerjasama Kesenian Indonesia) pada 22 September 2007 lalu, saya berharap bisa bertemu-kenal dengan M Badri, penulis muda Malam Api. Namun sayang, harapan saya pengap karena hanya berhadap dengan ketidakhadiran beliau sebab suatu dan lain hal. Setelah melahap dengan rakus semua isi Malam Api (sebanyak 17 cerpen), rasanya saya kenal dekat dengan sastrawan muda berbakat Riau kelahiran Blitar ini meskipun belum pernah bertatap wajah. M Badri melalui Malam Api yang telah dilahirkannya —bagi saya—bagaikan seorang pengisah yang selalu haus dengan kejeniusan lokal (Riau) yang sekarang menjadi tempat dia dibesarkan dan ditempa sebagai manusia yang menjunjung budaya tempatan.
Meskipun kelahiran Blitar, tetapi dia ditempa dalam keberagaman lingkungan kehidupan masyarakat Riau. Karena itu, tidak heran kalau kesan pertama ketika membaca Malam Api, kita akan terbuai dengan latar belakang kehidupan sosial di mana dia pernah dibesarkan dan dibentuk. Tema, latar (setting), perwatakan, dan amanat yang diketengahkan M Badri dalam kumpulan cerpen ini merupakan suatu persebatian jiwa dan kehidupan yang pernah dan mungkin terjadi di dalam masyarakatnya. Sebagian besar tema yang disajikan M Badri dalam kumpulan cerpen yang diberi pengantar oleh Hary B Kori’un ini menyangkut tentang kehidupan sosial Melayu (Riau) yang berlaku secara universal. Cerpen Malam Api, umpamanya, meskipun Hary mengatakan sebagai cerpen yang mengisahkan kapitalisme, tetapi juga menyorot tentang rasa kepemilikan daerah. Rasa memiliki daerah ini bisa muncul dari arogansi berbagai pihak yang melakukan penjarahan dan penjajahan terhadap suatu daerah. Tema-tema lain yang terangkum dalam kumpulan cerpen ini di antaranya pelacuran, percintaan, gender, kasih sayang, bencana alam, nasib para TKI/TKW, kehidupan suku terasing, dan sebagainya yang dilukis pada ’’kanvas kata-kata’’ melalui kejeniusan lokal yang sungguh menarik. Kejeniusan lokal yang tercantum pada tema tersebut menyatu dalam unsur-unsur intrinsik seperti setting, perwatakan, dan amanat.
Sebagian besar persoalan-persoalan yang diangkat dalam Malam Api merupakan sikap kritis, baik M Badri sebagai penulis maupun sebagai masyarakat. Ketidakpuasan terhadap apa yang menimpa negeri kaya dengan kemiskinan yang begitu mengusik jiwa. Pergulatan-pergulatan konflik dibancuh sedemikian rupa sehingga perseteruan yang muncul lebih bersifat tragedi. Adabeberapa sikap kritis yang tergambar dari cerpen-cerpen yang terkumpul dalam ontologi ini. Pertama, masih banyak kehidupan masyarakat yang marjinal di Riau. Keterasingan ini bukan hanya terhadap suku-suku yang benar-benar terasing seperti Petalangan, Sakai, Akit, dan sebagainya itu, tetapi juga terhadap pembangunannya (baca cerpen “Malam Api” dan “Siapa Menghancurkan Kampung Kita, Abah?”). Kedua, mengajak masyarakat agar mempunyai semangat untuk membangkitkan marwah. Hal ini tergambar dalam cerpen “Malam Api” halaman 8:’’Kami hanya menjaga marwah, untuk tetap lahir, hidup, beranak-pinak dan mati di kampung ini....’’
Ketiga, mengkritisi kebejatan manusia yang senantiasa berbuat maksiat. Cerpen “Loktong” dijalin M Badri dengan rangkaian kata yang penuh kiasan sehingga kesan-kesan pornografi tidak akan kita tangkap di dalamnya. Dapat dikatakan bahwa pemilihan kata (diksi) dalam cerpen ini begitu metaforis sehingga ketabuan seolah-olah tak dapat kita tangkap. Keempat, ide mengangkat martabat perempuan, hakikat gender, dan kejujuran. ’’Aku tidak akan menyerah! Setiap pagi aku membantu bunda membuat kue dan menjualnya ke kedai-kedai. Lalu malamnya bunda mengajariku membaca, berhitung, mengaji, sampai memaknai kejujuran. Hidup harus jujur, kata bunda. Sebagai perempuan kami tidak boleh kalah dari lelaki. Tetapi juga tidak boleh melupakan kodrat sebagai bagian dari tulang rusuk lelaki. Selagi masih mempunyai tenaga dan harga diri, kami tidak boleh mengemis atau mencuri....’’ (cerpen “Perempuan Memeluk Rembulan”, halaman 87).
Kelima, melalui cerpen “Kepada Kembang dan Batu Karang”, “Lelaki Batu Bersampan Kayu dan Negeri yang Ditinggalkan”, M Badri mengajak kita untuk memiliki ilmu, pengetahuan, wawasan, menguasainya, dan mengubah pola pikir sebagai generasi masa depan. Penulis kumpulan cerpen ini —entah sengaja atau tidak —seide dengan Marhalim Zaini dalam cerpen “Belajar Bercinta dengan Laut”. Ide mereka bahwa laut merupakan perlambangan dari keluasan berbagai pengetahuan yang bisa memberikan dan mengajari kita banyak hal. Dalam cerpen ini juga, dilukiskan tentang keoptimisan, dagi, semangat, pejuang, dan penakluk kehidupan. Keenam, kritikan tentang kerusakan lingkungan seperti hutan dan sungai yang mengakibatkan berbagai bencana (baca “Perahu Kertas” dan “Dia Selalu Menangis SetiapMelihat Matahari Muncul dari Balik Kabut Asap”). Ketujuh, mengajak kita agar menumpaskan kekuasaan (penguasa-penguasa) yang lalim, sewenang-wenang. Dalam cerpen “Lelaki Batu Bersampan Kayu dan Negeri yang Ditinggalkan”, kekuasaan sewenang-wenang itu disimboliskan dengan Fir’aun. ’’Lalu tumbuh sebagai lelaki batu yang meruntuhkan tembok kejayaan Fir’aun. Maka ketika Fir’aun bermunculan di negeriku, aku tidak bisa menenggelamkannya di sungai....’’ (halaman 92). Persoalan ini pun terlihat dalam cerpen “Sidang Para Penyamun”. Kedelapan, ide-ide persuasif terhadap masyarakat miskin agar terus berjuang memerangi kebodohan melalui pendidikan. Cerpen “Bulan Merah di Atas Pelabuhan” merupakan kisahan ironis terhadap para pembuat kebijakan di atas kekayaan bumi Riau, yaitu proses pembodohan hingga kini masih saja terus terjadi di atas pipa-pipa minyak raksasa yang menjalar itu.
Jika dikaji lebih lanjut, tema-tema dalam Malam Api ini menyangkut tema jasmaniah (physical), tema moral (organic), tema sosial (social), tema egoik (egoic), dan tema ketuhanan (divine). Cerpen-cerpennya yang terangkum dalam tema-tema tersebut dibungkus indah dalam tatanan kisah Riau yang mengerikan, kelam, dan tertekan. Dalam kisah-kisah yang dijalinnya, jelas sekali menggambarkan kegelapan dan ketertekanan Riau sebagai salah satu negeri yang dikaruniai kekayaan alam yang melimpah. Kegelapan dan ketertekanan alam Riau yang dikemas juga menggambarkan sikap ketidakpuasan/kritis social yang mendalam.
Cerpen-cerpen yang hadir di buku ini membentuk suasana atau atmosfer cerita yang mengesankan. Dengan gaya pengungkapan yang khas sebagai penyair, judul-judul yang ditampilkannya bukan hanya sebagai judul, tetapi juga penuh dengan simbolisasi. Dengan demikian, M Badri telah menciptakan atmosfer tersendiri pula terhadap cerpen-cerpennya. M Badri bagaikan Marhalim Zaini (bukan bermaksud memperbandingkan). Kata-kata puitis itu ternyata merasuk dan mengalir deras ke dalam arus cerpen-cerpennya. Ada beberapa diksi khusus yang menggambarkan keprihatinan tentang dunia Melayu (Riau) di sini, yaitu malam, merah saga, dan senja yang masuk hampir ke seluruh cerpen yang terdapat dalam ontologi ini. Apakah ini suatu gambaran yang kritis? Wallahu alam! Namun yang tak kalah penting, penempatan-penempatan asonansi dan aliterasi begitu mengena sehingga melahirkan bunyi-bunyian dan irama atau melodi seperti dalam puisi-puisi yang ditulisnya. Secara menyeluruh, saya berkesimpulan bahwa Malam Api merupakan salah satu kumpulan cerpen yang penuh konflik, tragis, dan mengejutkan. Selain metaforis, juga menghadirkan berbagai perlambangan, terutama melalui pemakaian majas perumpamaan (simile). Meskipun berbahasa puitis, tetapi tidak mengganggu pemahaman ketika kita membacanya. Justru sebaliknya, bahasa-bahasanya mempercantik dan mengenakkan lidah otak kita. Semoga M Badri masih terus menjadi ’’Emak’’ bagi karya-karya kreatifnya.***
Musa Ismail adalah Guru SMAN 3 Bengkalis, menulis cerpen, novel, puisi, dan esai. Ingin terus berupaya mengulas karya-karya penulis Riau. Bermukim di Bengkalis.
Sumber : Riau Pos 04
Nopember 2007
No comments
Post a Comment