Catatan dari Bintan Arts Festival 2007
Oleh M Badri
Bintan Arts Festival (BAF) merupakan
perhelatan akbar yang digelar seniman Kepri. Sutardji Calzoum Bachri, Danarto,
Rendra, Putu Wijaya, Joko Pinurbo, Butet Kertarejasa, Nano Riantiarno, Marhalim
Zaini, Johanes Sugianto, adalah beberapa nama di antara sekian banyak seniman
ternama yang pernah datang ke Tanjungpinang, yang juga kampung halaman
“presiden penyair” Sutardji Calzoum Bachri. Tahun ini yang menjadi starring adalah penyair dan novelis Sitok Srengenge dari Jakarta . Selain menampilkan seniman Tanjungpinang, Lingga, Karimun
dan Batam, BAF juga menghadirkan beberapa seniman dari luar Kepri seperti
Jakarta, Riau, Sumatera Barat, Thailand dan Singapura. Saya sendiri diundang
panitia BAF sebagai penerima Raja Ali Haji Award, karena puisi “Ayat-ayat Penyengat”
ditabalkan sebagai pemenang pertama kontes penulisan puisi nasional bertema
“Tafsir Bebas Gurindam Duabelas”. Bersama saya juga diundang pemenang lainnya,
penyair kawakan dari Medan yang
masih tetap produktif, A. Rahim Qahhar. Magnet Raja Ali Haji, akhirnya menarik
saya untuk datang ke Tanjungpinang dan berziarah ke Pulau Penyengat “menemui”
Raja Ali Haji. Berikut catatannya:
Barang siapa dikutuk menjadi penyair
Wajiblah menziarahi Raja Ali Haji
Barangkali kalimat itu suatu saat nanti
akan terselip di antara lembaran halaman buku-buku yang membahas Gurindam
Duabelas. Nama besar Raja Ali Haji (1808 -1873) mempunyai magnet bagi para
penyair––dan seniman lainnya––untuk datang ke Tanjungpinang, Kepulauan Riau
(Kepri). Sehingga banyak penyair datang ke Pulau Bintan lalu menyeberang ke
Pulau Penyengat, hanya untuk melihat sebuah perkampungan dengan banyak
peninggalan kejayaan masa lalu kerajaan Melayu. Salah satunya adalah makam Raja
Ali Haji, seorang budayawan di gerbang abad XX (begitu ditulis Hasan Junus),
yang terpinggirkan di antara makam-makam kerabat kerajaan. Sampai Hasan
Aspahani, seorang penyair nasional dari Kepri, sehari setelah perhelatan BAF
selesai, langsung menulis larik puisi: “…Siapa pujangga dikubur di luar
kubah istana/ Kita faham, syair tak bisa memindah letak makam...”
BAF yang tahun ini sudah memasuki tahun
ketujuh merupakan perhelatan akbar yang digelar seniman Kepri. Tak
tangung-tanggung, panitia dari tahun ke tahun banyak mengundang seniman
nasional maupun internasional untuk memeriahkan acara tersebut. Sutardji Calzoum
Bachri, Danarto, Rendra, Putu Wijaya, Joko Pinurbo, Butet Kertarejasa, Nano
Riantiarno, Marhalim Zaini, Johanes Sugianto, adalah beberapa nama di antara
sekian banyak seniman ternama yang pernah datang ke Tanjungpinang, yang juga
kampung halaman “presiden penyair” Sutardji Calzoum Bachri. Tahun ini yang
menjadi starring (begitu panitia menyebutnya) adalah penyair
dan novelis Sitok Srengenge dariJakarta.
Selain menampilkan seniman Tanjungpinang,
Lingga, Karimun dan Batam, BAF juga menghadirkan beberapa seniman dari luar
Kepri seperti Jakarta, Riau, Sumatera Barat, Thailand dan Singapura. Saya
sendiri diundang panitia BAF sebagai penerima Raja Ali Haji Award pertama
kalinya, karena puisi “Ayat-ayat Penyengat” ditabalkan sebagai pemenang pertama
kontes penulisan puisi nasional bertema “Tafsir Bebas Gurindam Duabelas”.
Bersama saya juga diundang pemenang lainnya, penyair kawakan dari Medan yang
masih tetap produktif, A. Rahim Qahhar. Magnet Raja Ali Haji, akhirnya menarik
saya untuk datang ke Tanjungpinang dan berziarah ke Pulau Penyengat, yang
sebelumnya hanya saya dengar dari khotbah Hasan Junus saat saya rajin
bertandang ke redaksi Majalah Sagang di Pekanbaru.
BAF yang merupakan metamorfosis dari
Bintan Zapin Festival, menurut saya merupakan bentuk lain dari kegelisahan
seniman Kepri selama ini. Setelah Kepri berpisah dengan Provinsi Riau karena
dimekarkan menjadi provinsi sendiri, secara tidak langsung para seniman Kepri
harus membuat identitas kebudayaan sendiri meskipun akarnya tetap saya, budaya
Melayu. Kegelisahan itu kemudian dituangkan sejumlah seniman, terutama
sastrawan Hoesnizar Hood dan para awak Dewan Kesenian Kepulauan Riau, dalam
bentuk festival tahunan yang gaungnya hingga ke mancanegara.
Meskipun dengan kondisi seadanya, tanpa
gedung kesenian dan properti yang memadai, tetapi BAF terbilang sukses dan
konsisten diselenggarakan setiap tahun. Manajemen acara yang diterapkan panitia
merupakan kunci keberhasilan acara tersebut. Sehingga dari tahun ke tahun,
selalu ada yang baru dari BAF. Selain menjadi panggung apresiasi, BAF juga
menjadi ajang interaksi seniman Kepri dan daerah lain. Saya dan (mungkin juga)
Sitok Srengenge, yang sama-sama baru pertama kali datang ke Tanjungpinang,
kalau tidak menghadiri BAF barangkali belum bertemu penulis-penulis Kepri
seperti Hoeszinar Hood, Hasan Aspahani, Hendri Anak Rahman, Abdul Kadir
Ibrahim, Aswandi Syahri, Samson Rambah Pasir, Ramon Damora, dan lainnya.
Meskipun nama-nama tersebut sudah tidak asing lagi, karena kerap berunculan di
media massa dan buku-buku sastra.
Lautan Manusia di Ocean Corner
Tidak salah kalau Tanjungpinang dijuluki
“Kota Gurindam”. Besarnya perhatian masyarakat terhadap kesenian terlihat pada
malam pertunjukan BAF, 2 – 3 November 2007. Kurang lebih seribu penonton
memadati panggung terbuka di Ocean Corner, yang langsung menghadap
laut. Suasana tersebut seakan ingin membuktikan kepada dunia bahwa dari gugusan
kepulauan itu telah banyak seniman besar tumbuh. Selain Raja Ali Haji,
setidaknya Ibrahim Sattah, Idrus Tintin, Sutardji Calzoum Bachri dan Hasan
Junus banyak melahirkan karya sastra setelah intens bercumbu dengan asin laut
di kepulauan itu.
Gubernur Kepri Ismeth Abdullah, saat
membuka acara tersebut menjawab (atau malah menambah) kegelisahan seniman.
Janji untuk membangun gedung kesenian yang dijadwalkan selesai dua tahun
mendatang salah satunya. Satu kegelisahan terjawab sudah, Kepri akan memiliki
gedung kesenian. Kegelisahan lain muncul, karena gedung kesenian akan dibangun
di Dompak yang konon katanya jauh dari pusat peradaban. Membaca tulisan
Hoesnizar Hood dalam kolom “Temberang” di Batam Pos(Minggu, 4
November 2007), seakan kegelisahan itu tertuang dalam penggalan kalimatnya,
“Kanpemerintah mau membangun kesenian di Dompak? Dahi saya berkerut
mendengarnya. Benteng kebudayaan itu harus terletak di jantung akar budayanya.
Kalau di Dompak nanti yang datang siapa?”
Melupakan sejenak kegelisahan kawan-kawan
seniman Kepri, acara dilanjutkan dengan pemberian cenderamata kepada para
seniman yang berjasa atas terselenggaranya BAF 2007 dan menyerahan Raja Ali
Haji Award kepada para pemenang. Kemudian pertunjukan diawali dengan pembacaan
puisi oleh M Badri (Bogor/Pekanbaru) yang menampilkan puisi Kuambil
Rembulan yang Tumbuh di Dadamu, Laut Limbah dan Lalu
Lambungpun Membusung. Berselingan dengan suguhan musik dantarian dari
beberapa daerah dan mancanegara, Sitok Srengenge (Jakarta) dan A. Rahim Qahhar
(Medan) menunjukkan kehebatannya membaca puisi. Walikota Tanjungpinang
Suryatati A. Manan juga tak mau kalah, ia menuangkan kegelisahannya saat membaca
puisi berjudul “Janda” yang ditulisnya sendiri. Melihat itu, saya jadi teringat
salah satu judul tulisan Hasan Aspahani di Kolom POSMETRO, “Bu Tatik
Bersajak-sajak, Pak SBY Bernyanyi-nyanyi.”
Pada hari kedua BAF, siangnya diisi dengan
perbincangan budaya bertema “Pengaruh SEZ Terhadap Budaya Lokal” dengan
pembicara Zamzami A. Karim (Tanjungpinang), Samson Rambah Pasir (Batam) dan
Agung Bhakti Pratomo (Universitas Paramadina Jakarta). Baru pada malam kedua
BAF yang merupakan puncak acara, para seniman menyihir penonton yang jumlahnya
semakin membludak. Sitok Srengenge menghipnotis dengan beberapa puisinya yang
dibaca tanpa teks. Sitok yang menjadi starring pada BAF 2007
dikenal sebagai penyair yang sudah malang melintang di dunia sastra
internasional dan bisa membaca puisi tanpa teks hingga dua jam lebih.
Kepiawaiannya menghapal puisi, membuatnya lebih leluasa beraksi di atas
panggung.
Kemudian Hasan Aspahani memukau penonton
dengan puisi Bibirku Bersujud di Bibirmu yang diawali dengan
mantera “Leherku batang getah, menorehkan darah” yang menggelegar. Begitu juga
dengan Samson Rambah Pasir dan Hoesnizar Hood yang membacakan puisi dari buku
“Tempuling” karya Rida K Liamsi, hingga membius penonton sampai akhir acara.
Tak kalah dengan penyair, para penari, pemusik, pemain teater juga membuat
gegap gempita panggung terbuka di pinggiran Tanjungpinang tersebut.
Selesai perhelatan BAF 2007, kegelisahan
seniman muncul kembali. Bisakah tahun depan BAF menghadirkan gelombang lautan
manusia lebih besar di tempat itu? Kalau kemudian gedung kesenian jadi di
bangun di Dompak, mungkinkah gegap gempita seperti di Ocean Corner masih
terjadi? Apapun bentuknya, kegelisahan selalu memberi spirit kepada seniman
untuk berkarya. Terlepas dari kegelisahan tersebut, magnet Raja Ali Haji akan
terus menarik para penyair Indonesiadan dunia untuk datang ke Tanjungpinang.
Tinggal menunggu giliran.(*)
No comments
Post a Comment