Pipa Air Mata
Cerpen M
Badri
Selalu ada
air mata. Di setiap langkah menyusuri jalan berbatu itu, menembus pekat
belukar, menuju bekas kampungnya. Kadang telapak kaki membentur kerikil-kerikil
tajam berserakan, besi-besi tua, kaleng-kaleng rombeng dan belulang binatang
rimba. Matanya menatap nanar pada cahaya kunang-kunang yang bertebaran di tepi
jalan. Menikung, menanjak dan menurun, searah pipa baja sebesar pohon kelapa.
Pipa hitam yang puluhan tahun lalu menancapkan luka di jantungnya, di
kampungnya.
Masih ada
kenangan dalam benaknya, terlampau membara untuk dilupakan. Bulan sabit yang
diselimuti awan gelap menambah kelam ingatan tentang kampung halaman,
gubuk-gubuk kayu, orang-orang lugu. “Masih adakah lubuk hijau itu?” Ia mencoba
mengingat sebuah danau yang airnya selalu hijau. Dulu, di masa kecil, ia biasa
menombak ikan di sana. Bermain sampan sampai ke tengah, memunguti lumut dan
teratai hutan.
Desah
nafasnya bersahutan dengan suara serangga hutan, desis ular, kicau burung
malam, pekikan siamang. Tapi ia tidak takut, atau langkahnya surut. “Bukankah
aku lelaki beraroma rimba,” bisiknya. “Sudah cukup banyak binatang buas yang
kubunuh, dan tubuhku, di masa kecil dulu sudah penuh luka oleh duri-duri hutan
dan cakaran binatang. Lalu kenapa aku harus takut? Ini tanah kampungku, rimba
moyangku. Akulah hantu hutan itu.”
Ia
melemparkan cerutu, membiarkan percik apinya dipadamkan angin. Dari kejauhan,
ia melihat kerlap-kerlip lampu dari warung-warung liar yang berdiri sepanjang
jalan lintas. Tempat ia meninggalkan mobil dan sopir pengantarnya. Ia ingin
jalan kaki, sendirian, dalam gelap. Menyusuri jalan berbatu puluhan kilometer
––mungkin sampai pagi. Sampai telapak kakinya penuh darah, penuh luka. Mungkin
itulah cara ia mengingat luka moyangnya, luka kampung halamannya. Puluhan tahun
lalu.
***
Haruskah ia
berterimakaih kepada William? Atau justru mengutukinya, menyumpahinya, juga
orang-orang sebangsanya. Merekalah awal segala petaka, sumber segala duka.
“Setelah menancapkan pipa berkarat ke kampung kami, lalu menanaminya dengan
luka. Mengoyak kehidupan hingga mengalirkan air mata abadi.” Dipungutnya sebuah
batu seukuran kepalan tangan, lalu dilemparkannya ke pipa baja yang rebah
dengan angkuh. Tang!
“Aku bukan
Gabriel, si malaikat itu. Bukan, aku bukan si malaikat. Aku Awang si anak Sakai
degil, si anak hutan yang takut pada suara gergaji mesin dan buldoser. Lalu
kenapa namaku menjadi Gabriel? Apa karena si keparat William, ah bukan si
keparat. Dia menjadi papaku, orang asing yang membesarkanku. Setelah kampungku
luluh lantak, tanpa bekas. Betul, tanpa bekas.”
Ia terus
bergumam sambil menghirup udara dalam-dalam. Ingatannya kembali ke puluhan
tahun lalu, masa kecil dengan kebahagiaan yang sederhana. Tempat bermainnya
sebatas semak belukar dan rawa-rawa. “Akulah Awang!” teriaknya di malam sunyi,
disahuti lengking siamang dan burung malam.
Saat itu
hutan-hutan masih lebat, rawa-rawa mengalirkan air dengan jernih. Lalu
datanglah orang-orang bertubuh tinggi besar, berambut dan berkulit merah.
Mereka datang ke hutan dengan pengawalan tentara. Survei katanya, sebab di
hutan itu ditengarai terdapat banyak sumber minyak bumi. Kemudian di waktu yang
lain, datang orang-orang yang berbeda. Juga melakukan survei dan pemetaan.
Katanya, hutan-hutan itu sangat potensial dijadikan bahan baku kayu lapis dan
kertas.
Mereka
semakin sering datang, sesekali mampir ke gubuk-gubuk renta di tengah hutan.
Memberi anak-anak kecil makanan dalam kemasan, minuman kaleng, biskuit dan
sebagainya. Awalnya anak-anak takut kepada orang asing, tapi lama kelamaan
menerima makanan aneh itu. Juga Awang, si anak degil yang tubuhnya dipenuhi
guratan onak. Sebab makanan bagi mereka, hanya buah dan umbi-umbian hutan. Juga
ikan-ikan rawa yang biasa mereka tangkap dengan tombak atau bubu.
Lalu,
semakin banyak orang datang. Semakin banyak suara mesin meraung-raung. Mereka
menebangi hutan, membabati semak belukar dan meracuni sungai-sungai untuk
diambil ikannya. Binatang buruan semakin jarang, sebab orang-orang asing itu
menembakinya untuk dijadikan santapan. Anak-anak semakin takut, sebab raungan
mesin gergaji dan buldoser siang malam membisingkan hutan. Meriuhkan ketenangan
rimba yang selama ini mereka hayati.
“Di mana
kini Lamira? Si cantik berambut panjang itu. Perawan harum bunga rimba, yang
setiap pagi dan petang pergi ke sungai. Ah, di mana perawan malang itu kini
berada. Sudahkah dia setua aku dan tinggal di kota?” gumamnya lirih. Dia
terkenang Lamira, gadis kampungnya yang lugu dan pemalu. Dulu, dulu sekali di
masa kecilnya, perawan cantik itu pernah dikabarkan hilang. Lalu dua hari
kemudian ditemukan menangis tersedu-sedu di bawah sebatang pohon meranti tua.
Hilang diculik begu, si hantu hutan itu kah?
“Tidak! Aku
tidak percaya dengan bualan tentang hantu hutan yang suka menculik perawan.
Sebab kejadian itu baru sekali, pada Lamira. Sebab kami juga berkawan dengan
hantu-hantu itu, yang setiap purnama kami hibur dengan tarian dan tetabuhan.
Lamira tidak diculik dan disetubuhi begu. Aku yakin sekali, dia disekap dan
diperkosa oleh orang-orang perusahaan itu. Karena ia selalu lari ketakutan dan
menangis setiap orang-orang itu datang, atau sekadar lewat di kampung.”
Ia terus
melangkah, hingga telah melewati beberapa bukit dan tikungan. Malam semakin
larut, ditandai dengan bunyi binatang nokturnal yang semakin ramai. Suaranya
gaduh seperti pasar malam di tepi jalan berbatu dan semak belukar sepi itu.
“Lalu di mana kini Lamira? Mungkinkah dia salah satu dari puluhan perempuan tua
penjual kacang rebus di rumah makan dekat jalan lintas tadi? Aku sudah sangat
lupa dengan wajahnya, apalagi harum bunga rimba di tubuhnya.”
Sejak
kedatangan mesin-mesin raksasa ke tengah hutan itu, semakin banyak pohon
ditebang. Kayu besar diangkut truk tronton roda sepuluh, katanya untuk bahan
kayu lapis. Sedangkan kayu kecil diangkut untuk bahan baku kertas. Mereka
semakin banyak mendatangkan mesin-mesin dengan suara melengking. Membuat lubang
dengan mesin bor, lalu memasang robot yang mengangguk-angguk setiap saat.
Belakangan ia tahu, itu pompa untuk mengangkat minyak bumi yang banyak terdapat
di dalam tanah, di dalam hutan. Mengalirkannya ke pipa-pipa raksasa yang
memanjang tak putus, melengkung mengikuti arah jalan.
Jumlah pipa
semakin banyak, mengikuti pertambahan mesin pengeboran minyak. Kemudian, ketika
jalur pipa mengarah ke kampung penduduk suku terasing itu, masalah mulai
terjadi. Sering terjadi pertengkaran antara penduduk kampung dan orang-orang
perusahaan. Apalagi ketika sungai kecil yang melintasi perkampungan tak
seberapa besar itu, banyak dicemari limbah minyak. Ikan-ikan mati, hutan-hutan
habis, orang-orang kampung semakin bernasib tragis.
“Itulah
malam jahanam! Mereka, orang-orang perusahaan, membakari gubuk-gubuk kami.
Mengusir dan memporak-porandakan kehidupan kami.” Ia tetap meneteskan air mata,
saat berjalan di samping pipa di tepi jalan itu. Air matanya semakin menderas,
ketika ia ingat ibu bapaknya, juga dua adiknya ––yang tidak pernah ditemuinya
lagi sampai sekarang. Samar-samar ia masih ingat, ketika terjebak di kobaran
api dan terpisah dari orang-orang kampung yang berlarian ke dalam hutan. Ia
masih ingat, saat seorang lelaki berkulit dan berambut merah menggendongnya
menjauh dari kobaran api.
“Sampai kini
aku tidak tahu, apakah mesti berterimakasih atau mengutuki William. Mengabdi
atau mencaci papa Will?” ia menendang kaleng bekas soft drink yang dibiarkan tergeletak di tepi
jalan. Kaleng itu mengenai salah satu sisi pipa. Klontang!
Ia juga
masih ingat, setelah itu penolongnya ––kemudian ia ketahui bernama William––
membawanya ke barak, menjauhkannya dari kehidupan rimba, menyekolahkannya.
Kemudian setelah bisa sedikit berbahasa Inggris, ia dibawa pulang ke negaranya,
tempat asal perusahaan pengeboran itu. Saat itu kebetulan masa kontrak William
di perusahaan sudah habis. Maka budaya rimbanya kemudian terkikis, menjadi
budaya metropolis. Berpuluh-puluh tahun, sampai ia ingin kembali ke masa
lalunya. Pulang ke bekas kampung halamannya, tanah moyangnya.
Ia
memandangi beberapa pompa angguk yang terdapat di tepi jalan. Juga cerobong di
bekas pengeboran yang selalu mengeluarkan api, meliuk-liuk di angkasa dengan
jalang. “Aku yakin, setelah puluhan tahun pasti tanah-tanah di sekitar areal
pengeboran ini berongga. Kalau ada gempa besar mungkin akan runtuh dan
menyisakan lubang menganga. Aku yakin itu, seperti kampung penuh lumpur di
timur pulau Jawa yang sampai sekarang masih menyisakan luka.”
Ia tersenyum
kecut. Matanya memandang silhuet beberapa pohon meranggas. Berdiri di antara
batang-batang kelapa sawit yang tumbuh tak teratur di beberapa tempat. “Aku
tidak bisa membayangkan, seandainya kebakaran hutan yang setiap tahun melanda
daerah ini, tiba-tiba meledakkan pipa-pipa itu. Tempat ini akan menjadi
neraka.” Ia berhenti dan menyandarkan tubuhnya di samping pipa, menyalakan
rokok, lalu menghembuskan asapnya perlahan-lahan. Ia istirahat sambil melamun,
menikmati keheningan malam di tepi jalan menuju bekas kampungnya.
***
Menjelang
dini hari, lamat-lamat ia mendengar deru mobil dari ujung jalan. Hanya dua sisi
lampunya saja yang nampak jelas, meliuk-liuk mengikuti tikungan dan perbukitan.
Ia tidak terlalu mempedulikannya, dan terus melangkahkan kaki. Mobil di
depannya semakin mendekat, ada lampu merah saga di atasnya, menyala
berputar-putar. Sebentar kemudian suara sirenenya melengking nyaring dan mobil
berhenti tepat di depannya. Empat orang berpakaian security turun sambil membawa pentungan.
“Siapa kau!
Malam-malam berkeliaran di areal pengeboran?” hardik security berseragam biru tua.
“Aku Gabriel
si malaikat, bukan, aku Awang si anak Sakai. Aku mau melihat sisa kampungku,”
jawabnya gugup.
“Tak ada
perkampungan di sini. Kau mau mencuri? Kau anggota bajingan pencuri besi tua
ya? Ayo ngaku!” seorang security menarik kerah bajunya.
“Tidak!
Bukan! Aku mau mengunjungi bekas kampungku.”
“Pukimak!
Maling mana mau ngaku!”
“Ayo kita
bawa ke pos,” kata security yang lain sambil mendorongnya ke bak mobil patroli.
Braaak!
Security itu menghempaskannya sambil
memaki-maki. Lalu mobilnya segera menderu ke arah jalan raya, ke arah yang tadi
dilewatinya. Tubuhnya telungkup dengan borgol di tangan. Dari bias lampu mobil,
dia masih bisa melihat pipa-pipa besar itu semakin memanjang dan menjauh. Di
tepi jalan berbatu, menjauhkannya dari bekas kampungnya, di masa lalu.
Air matanya
masih tersisa. Sejenak ia teringat gubuk-gubuk kayu di tengah hutan, kampungnya
di masa lalu, orangtua dan adik-adiknya. Rumah mungilnya di tepi Mississipi,
istri dan seorang anaknya. Juga William yang kini telah tua dan pikun,
teronggok di kursi roda. Dia merasa harus segera pulang, entah ke bekas
kampungnya atau kembali ke negaranya. Kemudian pandangannya menghitam, semakin
gelap, mengikuti warna pipa di depannya.***
Dumai – Bogor, 2007
No comments
Post a Comment