Breaking News

Fenomena Komunikasi “Polipstik” dalam Pilkada

Oleh M Badri
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) selalu menjadi perbincangan menarik berbagai kalangan, dari kantor wakil rakyat sampai kedai kopi. Hal itu tidak terlepas dari berbagai fenomena yang mengiringi Pilkada. Timbulnya konflik dalam Pilkada, koalisi partai politik, hingga masuknya kalangan artis ke kancah politik merupakan isu yang kerap dibicarakan. Namun hanya sedikit yang memperbincangkan Pilkada dari sisi komunikasi politik yang memenuhi ruang publik.
Tapi benarkah komunikasi politik para kandidat kepala daerah selalu mempunyai efek positif bagi masyarakat? Dalam konteks ini yang sering terlihat adalah komunikasi politik cenderung ke arah logika pasar. Janji-janji politik yang disampaikan kepada masyarakat menjelang Pilkada tidak jauh berbeda dengan pesan iklan komersial, yang selalu menjanjikan keuntungan kepada publik. Menjamurnya sarana komunikasi, seperti media cetak dan elektronik, kemudian memperluas pasar iklan politik. Tujuannya tidak lain, untuk menciptakan opini publik bagi para kandidat.
Lebih dari itu, sudah menjadi rahasia umum bila menjelang Pilkada banyak media massa yang cenderung partisan. Media-media baru juga bermunculan, berlomba-lomba berebut kue iklan politik atau memang sengaja dibentuk sebagai media politik. Hal itu sebenarnya sah-sah saja, sebab tujuan kampanye melalui iklan politik tidak lain untuk meraup suara sebanyak-banyaknya. Media juga memiliki pemasukan besar untuk kelangsungan bisnisnya. Sebuah hubungan simbiosis mutualistis (saling menguntungkan). Namun yang menjadi permasalahan, ketika media sebagai ruang publik ikut andil dalam menciptakan pembohongan publik.
Mahalnya ongkos politik tentunya menjadi penyebab. Sehingga janji-janji melakukan perubahan mudah terlupakan. Kebanyakan, kandidat terpilih terlalu sibuk mengembalikan ongkos politik yang telah dikeluarkan. Akibatnya masyarakat yang menjadi korban, karena kepentingannya diabaikan oleh pengambil kebijakan. Pada akhirnya komunikasi politik hanya menjadi komunikasi “lipstik”. Untuk menyederhanakannya, penulis mengistilahkannya dengan komunikasi “polipstik” atau komunikasi politik yang hanya menghiasi bibir saja.
Seperti pepatah yang akrab di dunia media “bad news is good news”, para kandidat kepala daerah kemudian menerjemahkannya dengan “bad condition is good opinion”. Maka tidak heran bila kondisi kemiskinan, kebodohan, minimnya infrastruktur, dan berbagai kondisi buruk suatu daerah, menjadi isu kampanye yang kerap dilontarkan kepada publik. Tujuannya tentu saja janji melakukan perubahan setelah kandidat terpilih. Maka kata “perubahan” kemudian menjadi senjata dalam komunikasi politik yang dapat membunuh nalar publik. Tapi benarkah perubahan-perubahan yang dijanjikan akan terjadi?

Peran Media
Munculnya fenomena komunikasi “polipstik” tidak lepas dari peran media sebagai saluran kebebasan berpendapat. Sehingga banyak partai politik dan tokoh politik yang memanfaatkannya untuk merebut simpati publik melalui pencitraan. Bentuk pemanfaatan media antara lain: Pertama, gencarnya publikasi aktivitas sosial kemasyarakatan para kandidat di media massa menjelang Pilkada. Kedua, pelontaran opini atau komentar kandidat terhadap isu yang berkembang di masyarakat melalui pemberitaan media massa. Ketiga, kampanye terbuka dalam bentuk iklan politik di media massa. Ketiga pemanfaatan media tersebut tujuannya satu, yaitu pencitraan positif di mata publik.
Mengutip pendapat Nimmo (2006) isi komunikasi politik melalui media massa tersebut dapat dibedakan menjadi dua jenis. Jenis pertama yaitu pesan berbentuk informasional yang mencoba mengubah kepercayaan dan pengharapan, bukan suka atau tidak suka, preferensi, atau nilai. Sedangkan jenis pesan kedua yaitu pesan promosional. Upaya promosional mencoba mengubah preferensi dan nilai, misalnya perubahan dalam preferensi pemilih. Strategi yang digunakan tentu saja dengan mempromosikan kandidat, isu, dan partai politik pendukungnya.
Harapan munculnya kandidat independen, tentu saja akan mewarnai komunikasi politik dalam Pilkada. Kalau sebelumnya kampanye kandidat satu paket dengan kampanye partai politik pendukung, dengan adanya kandidat independen maka faktor personal menjadi lebih penting dalam pesan komunikasi. Pemanfaatan media massa untuk mendongkrak citra kandidat tentu saja tidak lepas dari kekuatan besar (magnitude) media yang dapat menarik perhatian publik, serta mempunyai peran mempengaruhi sikap dan tindakan publik.
Kalau pada akhirnya publik kecewa karena efek dari komunikasi “polipstik” yang dilakukan kandidat, tentu saja media massa sebagai saluran komunikasi, harus bertanggungjawab kepada publik. Bentuk antara lain dengan revitalisasi fungsi media sebagai kontrol sosial. Karena itulah media massa perlu berpikir cerdas untuk bersikap independen dan obyektif dalam menghadapi momentum Pilkada. Sehingga komunikasi politik yang diterima masyarakat bukan sekadar pesan-pesan logika pasar. Di sini yang perlu dicermati adalah kualitas pesan yang disampaikan, apakah berpotensi menimbulkan efek positif atau negatif bagi masyarakat pasca Pilkada.

Kecerdasan Publik
Terpaan pesan politik melalui media massa memang efektif mempengaruhi pendapat publik. Namun publik yang cerdas tentu tidak akan menerima pesan tersebut begitu saja. Banyak hal sebenarnya yang perlu dianalisa oleh publik agar tidak terjebak pada komunikasi “polipstik”. Pertama,publik harus melihat berbagai sisi menyangkut personal kandidat. Track record dan logika perpikir kandidat dalam menjanjikan perubahan di suatu daerah perlu menjadi pertimbangan untuk mendapatkan pemimpin yang amanah.
Kedua, publik perlu mengetahui siapa-siapa yang berapa di belakang kandidat bersangkutan. Meminjam pepatah lama “tidak ada makan siang yang gratis”, politik balas budi selalu berlaku dalam Pilkada, masalahnya apakah merugikan masyarakat atau tidak. Ketiga, kalau kandidat merupakan wakil partai politik, perlu dicermati apakah selama ini partai politik tersebut selalu memihak kepentingan publik atau justru menyengsarakan publik.
Untuk menganalisa ketiga hal tersebut tidaklah mudah. Kondisi masyarakat yang kurang mendapatkan pendidikan politik menyebabkan terpaan komunikasi politik melalui media diterima begitu saja. Sebab seperti halnya iklan komersial, tidak satupun kandidat yang mau memperlihatkan sisi negatifnya. Akibatnya, publik tetap saja “memilih kucing dalam karung” ketika hanya melihat sisi luar dari kandidat yang terlibat dalam Pilkada. Apalagi kalau terjebak dalam logika ekonomi, harga satu paket sembako tentu saja tidak sebanding dengan kerugian yang diterima publik bila memilih pemimpin yang korup.
Lalu bagaimana dengan Pilkada Riau yang akan digelar tahun ini? Barangkali media massa dan masyarakat perlu semakin intens memperbincangkan momentum Pilkada. Hal itu penting untuk mendapatkan beragam informasi tentang para kandidat, secara personal maupun program, baik sisi positif maupun negatifnya. Tujuannya tentu saja agar tidak terjebak dalam komunikasi “polipstik” yang dilakukan para kandidat. Di sini yang perlu digarisbawahi, jangan sampai masalah kemiskinan, kebodohan, minimnya infrastruktur dan kondisi buruk lainnya menjadi isu strategis yang terus dipelihara. Sehingga tetap terulang sampai berkali-kali Pilkada digelar, tanpa ada niat baik dari kandidat terpilih untuk melakukan perubahan.***
Dimuat di Riau Mandiri, 14 Mei 2008

No comments