Ponsel Merah dan Kolor Ijo
BEBERAPA
pekan terakir ini, marak isu telepon gelap yang (katanya) dapat membunuh orang.
Katanya lagi, sudah banyak memakan korban, di sejumlah daerah di Indonesia.
Konon, nomor gelap tersebut belakangnya berisi empat digit yang bagi sebagian
orang dipercaya sebagai “simbol setan”. Bila nomor tersebut memanggil, layar
telepon seluler (ponsel) atau nomor yang muncul akan berwarna merah. Bila
diangkat, maka si penerima akan mendadak sakit dan meninggal dunia. Sebagian
menyebutnya nomor santet dari orang yang mempraktekkan ilmu hitam.
Banyak
yang percaya, namun lebih banyak yang tertawa. Kalau yang percaya, kemudian
akan mematikan ponsel. Praktis komunikasi akan terganggu. Terlebih bila hal itu
terjadi dalam suatu sistem sosial, akibatnya tidak hanya pada psikologis
anggotanya tetapi sudah mengarah pada kinerja. Ini juga yang terjadi di suatu
kantor pemerintah di pelosok Riau, yang membuat mencak-mencak pimpinan kantor karena koordinasi
dengan anggotanya macet gara-gara isu tersebut.
Tidak
cukup sampai disitu, menurut sang penyebar isu, nomor tersebut juga meneror
lewat SMS, yang isinya kira-kira penerima harus memforward SMS tentang kebenaran “nomor
setan” tersebut ke beberapa nomor. Kalau tidak dilakukan, maka si penerima akan
mati mendadak. Karena itulah, pesan “nomor setan” tersebut cepat menyebar ke
berbagai penjuru hanya dalam hitungan hari. Akhirnya terbentuklah suatu
jaringan komunikasi yang efektif. Sepertinya penggagas isu tersebut seorang/
sekelompok komunikator ulung.
Mengenai
pesan berantai tersebut, saya jadi ingat waktu kecil, kira-kira masih kelas
tiga SD, di sebuah kampung di pedalaman Riau. Ada selebaran, yang entah asalnya
dari mana, berisi tentang penjaga makam Nabi Muhammad SAW yang bermimpi 40 hari
lagi akan terjadi kiamat. Agar selamat di akhirat, yang menerima selebaran
tersebut harus menggandakan minimal 40 kali. Kalau mengabaikan pesan itu, si
pembaca akan meninggal karena kecelakaan, kemudian yang kaya akan jatuh miskin.
Karena bahasanya meyakinkan dan disertai contoh-contoh kasus di sejumlah
negara, terlebih saya masih terlalu kecil untuk berpikir logis, akhirnya
percaya begitu saja.
Di
kampung saya tidak ada fotokopi, sebab listrik saja tidak ada, maka selama
beberapa hari saya menyalin selebaran itu dengan tulisan tangan. Sampai tangan
saya pegal, hanya dapat sepuluhan kopi, sebab “kotbah” si pembuat isu dalam
selebaran tersebut cukup panjang. Akhirnya saya pasrah, sambil harap-harap cemas
menunggu detik demi detik 40 hari ke depan menjelang kiamat. Setelah sekian
lama akhirnya pikiran saya kembali tenang, karena kiamat seperti yang diisukan
tidak terjadi. Ada-ada saja, saya jadi geli bila mengingatnya.
Menyikapi
isu “nomor setan” seperti diceritakan di atas, sejumlah pihak ikut turun
tangan. Aparat kepolisian turun ke kampung-kampung untuk mengendalikan
masyarakat yang termakan isu. Pakar telematika kemudian mengkaji dari sudut
pandang teknologi infra merah. Sementara itu pihak intelijen menyimpulkan, isu
tersebut sengaja diciptakan oleh sekelompok orang tidak bertanggungjawab, untuk
membuat rusuh suasana masyarakat menjelang pemilihan umum (pemilu).
Terhadap
pendapat intelijen tersebut saya jadi ingat isu “kolor ijo” menjelang pemilu periode
lalu. Masyarakat dibuat cemas, karena (katanya) ada mahluk berkolor (celana
dalam) warna hijau yang suka meneror warga. Mahluk itu menurut paranormal
(katanya) bisa ditangkal bila si pemilik rumah menanam “bambu kuning” dan
“pohon beringin”. Bila dikaji dari sudut pandang komunikasi, warna merupakan
simbol komunikasi nonverbal. Dalam komunikasi politik di Indonesia, warna erat
kaitannya dengan simbol-simbol partai politik. Terutama warna merah, hijau dan
kuning yang secara politis demikian melekat di benak masyarakat. Melihat
fenomena sering munculnya isu-isu tidak bertanggungjawab menjelang pemilu,
barangkali ada hubungan antara “ponsel merah” dan “kolor ijo”. Nah, pilih
merah, kuning, atau hijau? Kalau saya lebih suka warna pelangi yang indah itu. (M Badri)
No comments
Post a Comment