Sagang dan Kebangkitan Industri Kreatif
Anugerah Sagang ke-13 yang diselenggarakan 28 Oktober 2008 lalu, merefleksikan dua hal penting dalam khazanah intelektual manusia. Pertama, eksistensi kebudayaan Melayu Riau yang selama ini menjadi fokus penghargaan Yayasan Sagang itu sendiri. Kedua, peluang kebangkitan industri kreatif di Riau sebagai sektor alternatif pengembangan perekonomian masyarakat. Dalam wacana pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia, kedua hal itu memang menjadi satu kesatuan.
Industri kreatif merupakan industri yang berbasis aset kekayaan intelektual (intellectual property), yang saat ini dinilai sebagai pilar penting untuk mendorong penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi. Sebab aset intelektual tidak pernah habis, justru terus berkembang seiring kemajuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berbeda dengan sumber daya alam, yang kualitas dan kuantitasnya semakin lama semakin berkurang.
Indonesia sebenarnya termasuk tertinggal dalam mewacanakan pengembangan industri kreatif sebagai sektor alternatif. Karena selama ini potensi besar industri kreatif belum digarap dengan baik, oleh pelaku ekonomi maupun lembaga penunjang. Padahal di negara- negara maju seperti Amerika Serikat, Australia, Singapura, dan negara-negara di Eropa, industri kreatif terus dipacu dan dikembangkan untuk menggerakkan perekonomian negara.
Saat ini industri kreatif dunia telah menyumbang produk domestik bruto (PDB) global sebesar US$ 2 triliun dan dua tahun mendatang akan mencapai US$ 10 triliun. Di Inggris, saat ini industri kreatif mampu menyumbang hingga 8,2% pada pendapatan nasional negeri itu. Industri ini bahkan menjadi sektor terbesar setelah jasa perbankan, dengan menyerap sekitar 2 juta tenaga kerja. (SWA No.11/XXIV/29 Mei-11 Juni 2008).
Departemen Perdagangan, medio tahun ini mengeluarkan cetak biru (blue print) dan mengklasifikasikan 14 subsektor yang masuk kategori industri kreatif, yakni kerajinan, arsitektur, periklanan, desain, film, radio dan televisi, seni rupa, seni pertunjukan, mode (fashion), permainan interaktif (games), musik, penerbitan dan percetakan, layanan komputer (software), serta riset dan pengembangan. Rata-rata kontribusi PDB industri kreatif tahun 2002-2006 sebesar Rp 104,6 triliun atau 6,3% dan menduduki peringkat ke-7 dari 10 lapangan usaha utama yang ada di Indonesia. Nilai ekspor industri kreatif mencapai Rp 81,4 triliun dan berkontribusi sebesar 9,13% terhadap total nilai ekspor nasional, dengan penyerapan tenaga kerja mencapai 5,4 juta pekerja (www.depdag.go.id).
Potensi Industri Kreatif Riau
Riau memiliki potensi sumber daya industri kreatif yang luar biasa. Kekayaan kultural, terutama seni dan budaya yang ada di Riau, bisa menjadi pondasi pengembangan industri kreatif ke depan. Sebab semua subsektor yang masuk kategori industri kreatif, semua ada di Riau dan potensial untuk dikembangkan. Namun selama ini, sebagian besar eksploitasi sumber daya kreatif belum mengarah pada pengembangan untuk tujuan ekonomi. Padahal industri kreatif sebenarnya bisa menjadi pondasi utama Visi Riau 2020, yang memiliki spirit menjadikan Riau sebagai pusat perekonomian dan kebudayaan Melayu di Asia Tenggara.
Berbagai sumber daya kreatif yang layak dikembangkan di Riau misalnya subsektor kerajinan, yang merupakan proses kegiatan kreatif berbasis kreasi produk. Jenis kerajinan yang potensial dikembangkan antara lain kerajinan berciri khas Melayu seperti songket dan batik Riau. Termasuk juga kerajinan berbasis kuliner seperti makanan bercita rasa khas Melayu. Pengembangan pasar subsektor ini, selain meningkatkan daya saing produk Riau juga untuk mengomunikasikan identitas kultural kepada publik yang lebih luas.
Subsektor arsitektur, Riau memiliki kekayaan budaya berupa arsitektur rumah berciri khas Melayu. Bahkan buku “Rumah Melayu” yang ditulis Mahyudin Al Mudra sudah ditahbiskan sebagai buku pilihan pada Anugerah Sagang 2003. Namun desain arstitektur Melayu belum dikembangkan secara serius. Ini terlihat dari belum membudayanya arsitektur Melayu pada bangunan-bangunan yang ada di Riau, kecuali di instansi pemerintahan. Padahal arsitektur Melayu bila mendapat sentuhan modern dan disesuaikan dengan konsep arsitektur kontemporer, bisa mematahkan dominasi arsitektur gaya Barat. Pengembangan arsitektur Melayu kontemporer yang mencolok, antara lain baru terlihat pada arsitektur Anjung Seni Idus Tintin, Perpustakaan Soeman HS dan konsep The Peak Hotel and Apartement.
Subsektor periklanan, merupakan industri kreatif yang berkaitan dengan kreasi dan produk iklan, seperti perencanaan komunikasi iklan, produksi iklan, dan pemasaran. Subsektor ini memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Apalagi kebutuhan iklan media luar ruang terus bertambah. Begitu juga dengan kebutuhan iklan media elektronik. Setakat ini, industri periklanan Riau masih banyak yang tergantung pada perusahaan advertising di Jakarta, baik perencanaan maupun produksi. Ini menjadi tantangan insan kreatif di Riau untuk mengubah pardigma itu. Sehingga potensi sumber daya lokal bisa menjadi pemain utama di daerah.
Subsektor radio dan televisi, banyak stasiun media elektronik itu yang sudah berdiri di sini. Namun paling menonjol mengangkat kebudayaan Melayu yaitu Radio Soreram 95,1 FM (penerima Anugerah Sagang 2008) dan Riau Televisi (Rtv). Industri radio dan televisi di Riau berpeluang dikembangkan untuk menopang subsektor lainnya seperti film, periklanan, seni pertunjukan, dan sebagainya. Sehingga terjadi hubungan simbiosis mutualiasme (saling menguntungkan) antarsubsektor.
Subsektor film, saat ini sudah banyak produksi film yang dihasilkan sineas lokal, baik profesional maupun independen. Tapi penayangannya masih sebatas di media elektronik lokal. Potensi film ini sebenarnya memiliki nilai jual untuk dikembangkan ke pasar yang lebih luas dan skala nasional. Sering adanya kompetisi film independen juga peluang bagi sineas daerah untuk berkiprah secara nasional. Misalnya baru-baru ini ada Eagle Award yang digelar Metro TV.
Begitu juga subsektor seni rupa, banyak perupa Riau yang berpotensi menembus pameran nasional dan internasional, dengan kualitas setara karya seni rupa dari Bandung, Bali dan Yogyakarta. Masalahnya, di Riau sendiri minim pameran seni dan galeri seni rupa. Sehingga potensi itu tidak muncul ke permukaan. Ini adalah tantangan bagi perupa Riau, sebab kekayaan budaya Melayu bisa digali dan ditansfer ke dalam karya seni rupa yang menghasilkan nilai ekonomi tinggi. Misalnya lukisan Topeng Mak Yong karya Emmy Kadir yang mendapat Anugerah Sagang 2008.
Potensi besar subsektor penerbitan dan percetakan juga berpeluang menyumbang sumber daya kreatif untuk Riau. Karena setiap tahun, puluhan judul buku diterbitkan oleh penulis dan penerbit Riau. Namun selama ini masih lemah dalam distribusi, sehingga belum memiliki nilai ekonomi. Padahal ekonomi perbukuan nilainya luar biasa. JK Rowling, penulis serial Harry Potter menjadi miliarder karena industri kreatif ini. Begitu juga buku Laskar Pelangi, menghasilkan royalti miliaran bagi penulisnya Andrea Hirata.
Selain yang dikemukakan di atas, masih banyak potensi lainnya seperti musik, seni pertunjukan, desain, fashion dan sebagainya. Potensi sumber daya kreatif itu sebenarnya sudah terekam dalam jejak Anugerah Sagang yang rutin digelar setiap tahun. Anugerah itu setidaknya bisa menjadi penyangga dan simbol eksistensi insan dan karya kreatif di Riau, sekaligus upaya “mengangkat batang terendam” potensi industri kreatif yang ada. Melihat apresiasi publik nasional dan internasional terhadap kekayaan intelektual Riau, wajar bila kemudian Ketua Dewan Pendiri Yayasan Sagang Rida K Liamsi pada malam Anugerah Sagang 2008 meniupkan spirit “mazhab Riau”.
Mengutip tulisan Jakob Oetama “Meraih Peluang Industri Kreatif” yang disarikan dari pidatonya pada acara Stadium Generale Universitas Multimedia Nusantara (UMN), alasan perlunya mengembangkan industri kreatif karena memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan. Selain itu, industri kreatif menciptakan iklim bisnis yang positif dan membangun citra serta identitas bangsa. Di sisi lain, industri kreatif berbasis pada sumber daya yang terbarukan, menciptakan inovasi dan kreativitas yang merupakan keunggulan kompetitif suatu bangsa serta memberikan dampak sosial yang positif. Meski demikian, untuk menggerakkan industri kreatif diperlukan beberapa faktor. Di antaranya, arahan edukatif, memberikan penghargaan terhadap insan kreatif, serta menciptakan iklim usaha yang kondusif (Kompas, 24 Oktober 2008).
Berdasarkan pendapat itu, untuk tataran Riau saat ini yang sudah dijalankan baru sebatas penghargaan terhadap insan kreatif, yaitu Anugerah Sagang. Sedangkan arahan edukatif dan penciptaan iklim usaha yang kondusif, saat ini masih jauh panggang dari api. Barangkali karena industri kreatif belum dilirik menjadi sektor ekonomi andalan di Riau. Penyebabnya, Riau masih puas dengan ekonomi sumber daya alam berbasis minyak dan gas (migas), serta perkebunan. Namun melihat krisis global yang berdampak pada jatuhnya harga minyak dunia dan anjloknya harga sawit, karet dan kopra, masihkah mengabaikan industri kreatif?
Membangkitkan Industri Kreatif Riau
Berkaca pada permasalahan itu, berbagai potensi tersebut bila dikelola dengan baik sebenarnya akan menggerakkan ekonomi kreatif. Sehingga ke depan Riau bisa lepas dari ketergantungan pada sektor minyak dan gas (migas), serta perkebunan. Ekonomi kreatif sendiri dapat didefinisikan sebagai sistem kegiatan manusia yang berkaitan dengan produksi, distribusi, pertukaran, serta konsumsi barang dan jasa yang bernilai kultural, artistik, dan hiburan. Ekonomi kreatif itu, bersumber pada kegiatan ekonomi dari industri kreatif.
Secara umum, industri kreatif bisa didefinisikan sebagai industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, ketrampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan dan lapangan pekerjaan, dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta individu tersebut. Karena merupakan kepemilikan intelektual, industri kreatif juga dikendalikan oleh hukum kekayaan intelektual seperti paten, hak cipta, merek, royalti, dan desain.
Dalam merumuskan cetak biru (blue print) industri kreatif, Indonesia masih jauh ketinggalan dari negara-negara tetangga lainnya. Misalnya Singapura, telah lama mengembangkan ekonomi kreatif dalam rangka membangun daya saing negara itu melalui pemaduan seni, bisnis, dan teknologi. Begitu juga dengan Malaysia, yang melihat seni bisa menjadi komodifikasi ekonomi melalui pariwisata.
Lalu bagaimana dengan Riau? Hingga saat ini Pemerintah Daerah (Pemda) Riau belum memberi perhatian serius pada sektor industri kreatif ini. Padahal melihat keanekaragaman seni, budaya, dan warisan budaya Melayu di Riau, potensi itu sangat besar. Masalahnya, Pemda Riau dan pelaku industri yang ada saat ini belum mampu mengubah potensi itu menjadi industri yang membuka lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Kondisi ini sebenarnya tidak lepas dari keterlambatan pemerintah Indonesia merespons industri kreatif sebagai peluang ekonomi baru. Perkembangan industri kreatif di Bandung, Yogyakarta, dan Bali saja, selama ini lebih banyak digerakkan oleh reaksi pelaku (industri kreatif) terhadap permintaan (pasar) dan belum mendapat sentuhan perencanaan jangka panjang. Sebab pemerintah sendiri baru merancang Cetak Biru Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2009-2025, pertengahan tahun ini.
Kenapa industri kreatif di ketiga daerah itu tetap berkembang? Selama ini komunitas memainkan peranan penting untuk menumbuhkan iklim industri kreatif. Misalnya komunitas masyarakat pengrajin, komunitas masyarakat seni, dan sebagainya. Ketidaktergantungan mereka pada pemerintah menyebabkan industri kreatif bisa mandiri dan terus berkembang. Sehingga Yogyakarta dikenal memiliki keunggulan lokal industri kerajinan gerabah dan perak. Kemudian Bandung memiliki keunggulan lokal pada clothing dan musik. Sedangkan Bali memiliki keunggulan lokal pada seni rupa dan seni kriya.
Masalah regulasi dan keterbatasan biaya menyebabkan produk industri kreatif banyak yang tidak dipatenkan. Di Bandung misalnya, saat ini ada 400 merek clothing yang belum dipatenkan. Padahal dari segi value, setidaknya tahun 2006 ada Rp 25 miliar per bulan dari produk itu. Selain paten, masalah lainnya adalah kepercayaan perbankan yang rendah. Ekonomi kreatif ini tergolong baru, sehingga tidak dipahami oleh bank di Indonesia. Bank lebih mudah memberikan pinjaman kepada petani, karena ada tanah, ada agunan, sedangkan industri kreatif menjual ide (TEMPO, 11-17 Agustus 2008).
Kreativitas Kolektif
Karena industri kreatif di Riau memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi sumber ekonomi andalan, maka perlu paradigma baru dalam membuat kebijakan perekonomian Riau. Apalagi bila berkaca pada Visi Riau 2020, yang menjadikan Provinsi Riau sebagai pusat perekonomian dan kebudayaan Melayu di Asia Tenggara, sudah selayaknya industri kreatif diperhatikan dengan serius. Sebab faktor kebudayaan dan perekonomian merupakan penggerak industri kreatif itu sendiri.
Riau belum terlambat untuk memulai menggerakkan industri kreatif. Modal potensi sumber daya kreatif sudah ada, tinggal bagaimana menciptakan kreativitas kolektif antarpemangku kepentingan. Melihat model pengembangan ekonomi kreatif yang dikemukakan Departemen Perdagangan, seperti layaknya sebuah bangunan yang akan menguatkan ekonomi Indonesia. Konstruksinya berupa landasan, pilar dan atap sebagai elemen-elemen bangunan ekonomi, yaitu: industry, technology, resources, institution, financial intermediary.
Aktor utama penggerak lahirnya kreativitas, ide, ilmu pengetahuan dan teknologi yang vital bagi tumbuhnya industri kreatif adalah cendekiawan (intellectuals), bisnis (business) dan pemerintah (government) yang disebut sebagai sistem ‘triple helix’. Hubungan yang erat, saling menunjang dan bersimbiosis mutualisme antara ketiga aktor tersebut dalam kaitannya dengan landasan dan pilar-pilar model industri kreatif, akan menghasilkan industri kreatif yang berdiri kokoh dan berkesinambungan (http://www.depdag.go.id).
Untuk menumbuhkan kreativitas kolektif di Riau, juga perlu membangun kesadaran kolektif ‘triple helix’ tadi. Terutama menciptakan paradigma baru pembangunan ekonomi Riau ke depan. Jangan hanya bergantung pada sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui. Tetapi beralihlah ke industri yang berbasis aset kekayaan intelektual (intellectual property).
Dalam kerangka menciptakan kreativitas kolektif, penulis merekomendasikan tiga hal: Pertama, perlunya pengenalan dan pengembangan industri kreatif di dunia pendidikan. Institusi pendidikan yang berorientasi melahirkan insan-insan kreatif juga harus diarahkan untuk menciptakan kreativitas dan daya saing. Misalnya perguruan tinggi yang membuka program studi atau konsentrasi broadcasting, advertising, sastra, teater, musik, tari, dan sebagainya.
Penulis merasa miris membaca Liputan Khusus Riau Pos, Ahad, 2 November 2008, yang memberitakan terancam ditutupnya Jurusan Sastra Melayu di Universitas Lancang Kuning, karena kekuangan mahasiswa. Kondisi itu perlu menjadi perhatian serius semua pihak terutama Pemda Riau, agar jurusan yang merupakan salah satu tiang penjunjung marwah Melayu itu tetap eksis. Dalam kerangka pengembangan industri kreatif, seharusnya perguruan tinggi yang ada di Riau juga ada yang membuka jurusan seni rupa, seni kriya, desain komunikasi visual (desain grafis), dan komunikasi multimedia.
Kedua, pelaku bisnis harus memerhatikan sektor industri kreatif sebagai komoditas yang diperlakukan sama dengan komoditas bisnis lainnya. Di sini, pelaku bisnis juga harus berinovasi menciptaan produk kreatif Riau yang bisa menjadi produk unggulan khas daerah. Pasar produk kreatif juga perlu dikembangkan lebih luas, terutama pasar ekspor. Dalam konteks pembiayaan, pihak perbankan terutama Bank Riau, harus melayani pembiayaan sektor industri kreatif, melalui kredit mikro, kredit tanpa agunan, atau program kemitraan.
Ketiga, Pemda Riau harus membuat cetak biru dan regulasi pendukung tumbuhnya investasi di sektor industri kreatif. Membina para pelaku industri kreatif yang sudah ada, dengan mengarahkan kepada industri yang berorientasi pasar. Pemda juga harus proaktif membantu pelaku industri kreatif dalam pengurusan paten. Kemudian membentuk creative council dan membangun gedung pameran industri kreatif Riau yang memadai.
Cetak Biru Industri Kreatif
Dalam membuat cetak biru dan kerangka kerja pengembangan industri kreatif di Riau, titik awalnya (origin point) bisa dimulai dari tahun 2009. Kemudian diarahkan menuju tercapainya visi dan misi industri kreatif Riau, yang diselaraskan dengan Visi Riau 2020 (destination point). Skenario cetak biru itu misalnya, tahap I tahun 2009-2012 digunakan untuk perbaikan iklim ekonomi kreatif di Riau. Tahap II tahun 2012-2015 untuk peningkatan sumber daya dan investasi. Tahap III tahun 2015-2018 untuk peningkatan bisnis kreatif dan lapangan kerja. Kemudian tahap IV tahun 2018-2020 untuk pemantapan citra industri kreatif Riau.
Cetak biru tersebut menjabarkan pemetaan dan rencana pengembangan industri kreatif di Riau. Misalnya dengan mengacu model peta industri kreatif yang dibuat pemerintah (Departemen Perdagangan), berdasarkan pada lima pilar utama: (1) industri yang terlibat dalam produksi industri kreatif; (2) teknologi sebagai pendukung terwujudnya kreativitas individu; (3) sumber daya seperti sumber daya alam dan lahan; (4) kelembagaan mulai dari norma dan nilai di masyarakat, asosiasi industri, dan komunitas pendukung hingga perlindungan atas kekayaan intelektual; dan (5) lembaga intermediasi keuangan.
Dengan adanya pemetaan potensi sumber daya kreatif, membangun kesadaran kreativitas kolektif, dan pembuatan cetak biru industri kreatif, diharapkan seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dalam bidang industri kreatif memiliki arahan yang jelas untuk mencapai visi ekonomi kreatif Riau pada 2020 nanti. Sehingga potensi industri kreatif di Riau, selain berpeluang mendapat penghargaan, juga mendapat arahan edukatif dan iklim usaha yang kondusif. Semoga Anugerah Sagang itu bisa menjadi spirit kebangkitan industri kreatif di Riau.***
(Tulisan saya ini dimuat bersambung di halaman Opini Harian Pagi Riau Pos, pada tanggal 11-12 November 2008)
No comments
Post a Comment