Tembang Bukit Kapur
Cerpen M Badri
Malam begitu sepi, diterangi beberapa bintang pucat, persis seperti awal Oktober, 10 tahun silam. Hanya gemerisik angin kemarau yang menghalau setiap kecemasan yang dilantunkan Mbok Jaliteng. Di beranda sambil membelai sebuah kendi dan sepiring tiwul1 yang terurai di piring logam. Di dipan bambu yang doyong ke kiri dan ke kanan, ketika Mbok Jaliteng terusik nyamuk gunung. Dia terus menembang, suaranya mengalun sampai ke lembah. Ke hutan jati yang mulai meranggas. Ke sungai yang dasarnya mulai mengelupas, karena airnya habis tersedot matahari dan terus mengendap di awan, entah sampai kapan.
“...Yen ing tawang ono lintang cah ayu, Aku ngenteni tekamu.....Marang mego ing angkoso, nimas Sun takokne pawartamu...” 2
Tembang Mbok Jaliteng begitu lirih. Mengurai notasi sunyi sambil menghitung uban yang merambat di kepalanya. Menghitung kepergian Sum, anak tunggalnya, ke Hongkong, ke negeri bekas persemakmuran Inggris yang menjanjikan kemakmuran. Bukit kapur masih cukup dingin, karena didukung hembusan angin dari Laut Selatan.
“Sudahlah mbok, ndak usah terlalu dipikirkan. Anakmu Sum pasti baik-baik saja di perantauan sana,” kata Tri, tetangganya yang saban hari merawat Mbok Jaliteng. Menemaninya dalam kesendirian, di perkampungan lereng bukit kapur itu.
“Tapi, kok sampai sekarang tidak pernah ngasih kabar...” Matanya masih memandang kosong ke lembah yang gelap.
“Ya, mungkin dia sedang mengumpulkan duit buat menebus pekarangan dari juragan Parto, yang dulu digadai untuk membiayai keberangkatannya,” kata Tri sambil memijit-mijit kaki keriput Mbok Jaliteng.
“Apa dia juga ndak dengar waktu di sini ada gempa besar. Apa dia ndak memikirkan, ibunya masih hidup atau sudah tertimbun runtuhan bangunan. Alaaah.... Nduk.... Nduk...3,” suaranya semakin lirih, seperti nyala lampu teplok di dinding rumahnya yang meredup.
Dari atas bukit itu Mbok Jaliteng biasa melihat keramaian kota Jogja, yang berupa ribuan lampu berkelap-kelip seperti kunang-kunang. Melihat kota itu dari jauh, Mbok Jaliteng sering terkenang jaman perjuangan, waktu dia remaja ikut bergerilya bersama pasukan pejuang kemerdekaan hingga akhir tahun 1940-an. Mengantarkan bahan makanan ke tempat-tempat persembunyian tentara pejuang, sampai ke Kaliurang. Di lereng gunung itu juga dia kemudian bertemu dengan Parman. Pemuda pejuang yang kemudian menjadi suaminya. Lelaki yang ketika itu gagah memanggul bedil. Ikat kepala dua warna yang sakral, dan meneriakkan yel-yel kemerdekaan.
Kenangan itu seperti tembang manis yang kembali disuguhkan alam di penghujung usianya. Rekaman saat usianya masih belasan, mengikuti gerilya Panglima Besar Sudirman. Menembus hutan belantara, sungai-sungai dan bukit-bukit kapur. Berkelit dari serbuan pesawat Dakota hijau belang-belang yang menderu bersama pesawat pemburu Mustang cocor merah di atas kota Jogja. Dentuman bom dan rentetan senapan mesin kembali mengiang di telinga tuanya. Dia seperti terseret kembali ke peristiwa masa lalu.
Namun sejarah heroik itu terhapus begitu saja beberapa tahun kemudian. Tepat ketika dia mengandung Sum, anak pertama dan terakhirnya dengan Parman, yang kemudian memilih menjadi petani di kampung halaman. Ketika kandungannya belum genap tujuh bulan, geger revolusi memberikan kenangan yang lain. Huru hara di ibukota merembet hingga ke kampung-kampung. Pelosok dusun, dan gaungnya menggema sampai ke bukit-bukit.
Kelap-kelip lampu yang jauh di lembah Jogja itu, dalam bayangan Mbok Jaliteng kemudian menjadi seperti obor. Persisnya ratusan obor yang berduyun-duyun merambati bukit. Kenangan awal Oktober 1965 cukup menyisakan jelaga di mata Mbok Jaliteng. Meninggalkan sayatan luka di hatinya. Ketika orang-orang berobor entah dari desa mana membakar lereng bukit itu. Menangkapi dan menyeret puluhan orang dan membawanya ke lembah. Tak ada yang tahu dan tak ada kabar. Belakangan baru dia tahu, orang-orang yang ditangkapi itu dituduh komunis, angota partai komunis, atau simpatisan komunis. Belakangan juga santer terdengar, mereka yang dibawa telah dibantai di bukit yang lain, dan mayatnya dibuang ke jurang.
“Tapi, Kang Parman bukan komunis, bukan juga atheis. Dia bertuhan, tiap hari sembahyang!!!” Teriak Mbok Jaliteng, di malam gelap itu.
“Sudah mbok, sing eling...4,” kata Tri, menenangkan.
Setelah kejadian malam itu, keluarganya kemudian menanggung beban sejarah. Stempel komunis terlanjur menempel di kehidupannya. Serupa tato yang terus melekat dan tak terhapuskan. Termasuk kepada anak yang masih dikandungnya, yang belum menghirup dunia ketika peristiwa kelabu itu terjadi. Peristiwa yang membuat senyumnya terkubur, bersama gersangnya bukit kapur, bersama jasad suaminya yang tersungkur––entah di jurang mana. Kebahagiaan seakan hilang bersama letupan-letupan obor, malam itu.
Mungkin, karena itulah dia menamai anaknya Sumringah. Supaya senantiasa tersenyum, karena senyum perlambang kebahagiaan. Dia tidak ingin terus larut dengan kesedihan yang teramat dalam. Dengan Sumringah, dia ingin mengubur semua kenangan pahit, mimpi-mimpi sunyi. Bertahun-tahun kejadian itu terlupakan. Namun sejak kepergiaan Sum ke Hongkong, 10 tahun lalu, luka lama mulai menyembul di balik kesunyiannya. Jiwa Mbok Jaliteng kembali terguncang, di usia senjanya. Dia sering termenung sendiri di atas balai-balai bambu rumahnya yang reyot.
Kesendirian kembali mengungkap kenangan-kenangan. Romantisme lereng Merapi di akhir 1940-an, datang silih berganti dengan kepedihan di malam Oktober pertengahan tahun 1960-an. Semuanya memenuhi benak Mbok Jaliteng yang tertutup kulit keriput, kerak katarak, dan uban menjuntai. Kulitnya yang legam semakin tersepuh kemarau yang menyambangi bukit kapur. Kadang dia begitu bersemangat menceritakan gerilyanya bersama Panglima Besar Sudirman, petualangan di masa muda yang membuatnya seperti pahlawan negara. Sesekali dia juga menceritakan kesedihan di malam-malam yang membuatnya seperti bajingan pemberontak. Suatu tuduhan yang membuat bekas-bekas perjuangan suaminya dulu menguap begitu saja.
Tapi orang-orang terlanjur termakan hasutan sejarah. Sebab selama 32 tahun stempel komunis itu terus memasungnya. Masyarakat sudah mencap Mbok Jaliteng dan beberapa keluarga di gunung kapur itu sebagai keturunan komunis. Perlu diwaspadai, dan hak-haknya di tengah publik kadang dikebiri. Tapi Mbok Jaliteng tak punya daya, perempuan desa itu hanya bisa menerima. Dan, kesedihannya biasa memuncak di bulan Agustus. Karena dia dilarang mengikuti riuhnya pesta ulang tahun kemerdekaan, karnaval-karnaval desa, panggung tujuh belasan. Bahkan juga diharamkan menyanyikan lagu Indonesia Raya, yang dulu merupakan kebanggaannya. Tembang yang selalu dia nyanyikan sambil mengibarkan bendera dua warna, yang sakral.
“Sum... Sum... Pulanglah, nduk,” Mbok Jaliteng meratap dalam kesunyian. Kalau sudah begitu, Tri yang masih kerabat jauhnya itu hanya bisa menenangkannya. Menghiburnya dengan tembang-tembang Dandanggula, Macapatan, kadang juga Parikan. Orang-orang desa yang masih antipati dengan komunis, turun-temurun karena kisah yang belum tentu tahu muasalnya, sering meminta Mbok Jaliteng dipasung. Sebab dia dikatakan gila, dan sederet tuduhan yang menyiksa.
“Itu karena kuwalat5 ikut-ikutan pe-ka-i...!!!”
“Gusti Allah menghukumnya sekarang..!!!”
“Biar saja kalau mati nanti mayatnya ndak usah diurus... cuihhh!!!”
Suara-suara itu, seperti bongkahan batu kapur yang berjatuhan. Menindih tubuh ringkihnya. Dia hanya bisa menyangkal tuduhan itu dalam hati, hanya dalam hati. Sebab selama puluhan tahun mulutnya dibungkam, sekadar untuk mengungkap kebenaran. Dia tahu itu, semua petaka karena dendam Lurah Bawuk kepada keluarganya. Dendam turunan karena ayah Mbok Jaliteng pernah melaporkan ayah lurah desa sebelah itu, yang menjadi mata-mata Belanda, kepada tentara pejuang. Kemudian tentara pejuang memenggal kepalanya. Sebab sebuah rencana serangan gerilya diketahui Belanda karena laporan ayah Lurah Bawuk yang menjadi antek penjajah itu.
Maka lurah Bawuk pun menaruh dendam. Dendam itu pun tertabuh ketika dia mendengar desas-desus beberapa pentolan PKI pernah mendatangi rumah keluarga Mbok Jaliteng. Dan setelah huru hara, lurah itu segera meniupkan isu keluarga Parman anggota PKI. Hingga malam gelap, ratusan obor membakar kehidupannya, menghanguskan kenangan dan mimpi-mimpinya. Tapi Mbok Jaliteng tahu kebenaran semua itu, suaminya menolak mentah-mentah ketika beberapa pentolan partai bergambar palu arit itu mengajaknya memperkuat barisan tani. Barisan yang dibentuk untuk memperkuat basis partai hingga ke desa-desa, meskipun sebenarnya sebagian besar anggotanya hanya ikut-ikutan. Banyak mereka yang tak mengetahui apapun tentang politik ditangkap bahkan dibunuh. Mbok Jaliteng juga mendengar, waktu suaminya mengusir orang-orang itu sambil mengatakan kesetiaannya pada Republik. Tapi mulutnya sudah terbelenggu rapat, sekadar mengatakan kebenaran.
Kenangan yang datang silih berganti di usia senjanya itu, terus saja datang dan pergi. Pergi ketika dia kembali teringat Sum. Kadang dia memanggil-manggil nama Sum, bila dari jauh dia melihat perempuan berjalan melewati rumahnya. Katarak yang berkarat di kedua matanya telah mengaburkan segala pandangan. Seiring dengan semakin lusuhnya kain batik yang membalut tubuh rentanya.
“...Yen ing tawang ono lintang cah ayu, Aku ngenteni tekamu.....”
Mbok Jaliteng terus saja menembang sambil menyebut nama Sum, berkali-kali. Dia semakin sering menembang setelah banyak orang mengabarkan, beberapa buruh migran mati di perantauan. Kadang mereka sengaja menakut-nakuti, kalau di siaran televisi mereka melihat Sum mati bunuh diri dari lantai tiga belas apartemen tempatnya bekerja. Atau Sum diperkosa dan disetrika majikan sampai lumpuh, sehingga tidak bisa pulang-pulang. Mendengar itu, Mbok Jaliteng menangis dan meraung-raung.
“Oalah... Nduk... Nduk.... Kok begitu nasibmu...”
Melihat penderitaan itu, orang-orang yang masih termakan hasutan sejarah, semakin girang. Tri hanya bisa menenangkan dan menghibur Mbok Jaliteng, kalau Sum masih mengumpulkan uang untuk menebus pekarangan yang tergadai. Bahwa Sum sedang mencari uang untuk membangun rumah gedeknya yang hampir ambruk. Seperti kebanyakan buruh migran lain yang berlomba-lomba membangun rumah megah di desa, setelah bertahun-tahun mengadu peruntungan di perantauan. Biasanya kata-kata Tri cukup manjur menenangkan kegelisahan Mbok Jaliteng yang sudah pikun itu. Meskipun Tri sendiri tidak pernah tahu kabar Sum sebenarnya.
Malam-malam berikutnya, kejadian seperti itu terus berulang. Seperti sebuah rotasi kenangan yang pergi dan kembali lagi. Tapi orang-orang desa beberapa bulan ini sudah tidak peduli dengan keadaan Mbok Jaliteng. Karena mereka banyak disibukkan membenahi rumah-rumah yang nyaris roboh. Menambal dinding retak dan mengatur distribusi bantuan yang datangnya tersendat-sendat. Gempa besar beberapa bulan sebelumnya telah meruntuhkan sebagian bangunan di sekitar lereng bukit kapur. Atau mencari mata air ke bukit, sebab setelah kejadian pagi itu, kemarau panjang datang meradang. Mengeringkan sungai dan mata air. Mungkin, membenahi rumah lebih penting daripada mengurusi seorang tumbal sejarah.
“Apa Sum ndak mendengar bencana di sini kemarin ya, nduk? Kok sampai sekarang dia belum juga pulang,” Mbok Jaliteng bergumam lirih. Berkali-kali dia mengucapkan kalimat itu.
Tubuh ringkihnya semakin tidak berdaya. Terkulai di dipan bambu yang usang dan reyot. Dari jendela rumahnya, bila malam dia masih suka melihat kelap-kelip lampu di kota Jogja yang mirip kunang-kunang. Setiap itu pula kenangan-kenangan lama lalu lalang di alam pikirannya. Seolah tak ingin mengelupas bersama semakin luruhnya ingatan karena pikun dan rabun. Bayangan-bayangan masa lalu yang begitu terpatri itu seperti mimpi yang datang setiap hari. Mengungkap luka dan cemas di malam-malam sepi.
“Tok! Tok!! Tok!!!”
“Tok! Tok!! Tok!!!”
Mbok Jaliteng mendengar suara-suara itu. Pintu rumahnya seperti diketuk. Dalam benak tuanya, dia mengira yang mengetuk pintu itu Sum. Sebab sekarang yang ada di sisa pikirannya hanya nama itu. Setelah sekian tahun penantian, setelah sekian uban melengkapi keriput tubuhnya.
“Sum... Sum.... Kamukah itu, nduk?”
“Sum...Masuklah, nduk....”
“...Yen ing tawang ono lintang cah ayu,
Aku ngenteni tekamu.....”
Namun tak ada jawaban. Hanya sayup-sayup tembang Mbok Jaliteng yang menyusup di tengah kebisuan hutan jati. Berbaur dengan angin malam bukit kapur. Mengalun sampai ke lembah, dan melebur di tengah kelap-kelip ribuan lampu di kota Jogja.***
Jogjakarta – Bogor, 2007
Catatan:
1tiwul : Makanan pokok pengganti nasi, terbuat dari ubi kayu.
2 penggalan tembang jawa berjudul “yen ing tawang ono lintang”, yang artinya : “Jika di langit ada bintang, cantik. Aku menunggu kedatanganmu. Kepada awan di langit, nimas. Aku tanyakan kabarmu..”
3nduk : Panggilan untuk anak perempuan
4sing eling : Yang ingat
5kuwalat: Durhaka
Malam begitu sepi, diterangi beberapa bintang pucat, persis seperti awal Oktober, 10 tahun silam. Hanya gemerisik angin kemarau yang menghalau setiap kecemasan yang dilantunkan Mbok Jaliteng. Di beranda sambil membelai sebuah kendi dan sepiring tiwul1 yang terurai di piring logam. Di dipan bambu yang doyong ke kiri dan ke kanan, ketika Mbok Jaliteng terusik nyamuk gunung. Dia terus menembang, suaranya mengalun sampai ke lembah. Ke hutan jati yang mulai meranggas. Ke sungai yang dasarnya mulai mengelupas, karena airnya habis tersedot matahari dan terus mengendap di awan, entah sampai kapan.
“...Yen ing tawang ono lintang cah ayu, Aku ngenteni tekamu.....Marang mego ing angkoso, nimas Sun takokne pawartamu...” 2
Tembang Mbok Jaliteng begitu lirih. Mengurai notasi sunyi sambil menghitung uban yang merambat di kepalanya. Menghitung kepergian Sum, anak tunggalnya, ke Hongkong, ke negeri bekas persemakmuran Inggris yang menjanjikan kemakmuran. Bukit kapur masih cukup dingin, karena didukung hembusan angin dari Laut Selatan.
“Sudahlah mbok, ndak usah terlalu dipikirkan. Anakmu Sum pasti baik-baik saja di perantauan sana,” kata Tri, tetangganya yang saban hari merawat Mbok Jaliteng. Menemaninya dalam kesendirian, di perkampungan lereng bukit kapur itu.
“Tapi, kok sampai sekarang tidak pernah ngasih kabar...” Matanya masih memandang kosong ke lembah yang gelap.
“Ya, mungkin dia sedang mengumpulkan duit buat menebus pekarangan dari juragan Parto, yang dulu digadai untuk membiayai keberangkatannya,” kata Tri sambil memijit-mijit kaki keriput Mbok Jaliteng.
“Apa dia juga ndak dengar waktu di sini ada gempa besar. Apa dia ndak memikirkan, ibunya masih hidup atau sudah tertimbun runtuhan bangunan. Alaaah.... Nduk.... Nduk...3,” suaranya semakin lirih, seperti nyala lampu teplok di dinding rumahnya yang meredup.
Dari atas bukit itu Mbok Jaliteng biasa melihat keramaian kota Jogja, yang berupa ribuan lampu berkelap-kelip seperti kunang-kunang. Melihat kota itu dari jauh, Mbok Jaliteng sering terkenang jaman perjuangan, waktu dia remaja ikut bergerilya bersama pasukan pejuang kemerdekaan hingga akhir tahun 1940-an. Mengantarkan bahan makanan ke tempat-tempat persembunyian tentara pejuang, sampai ke Kaliurang. Di lereng gunung itu juga dia kemudian bertemu dengan Parman. Pemuda pejuang yang kemudian menjadi suaminya. Lelaki yang ketika itu gagah memanggul bedil. Ikat kepala dua warna yang sakral, dan meneriakkan yel-yel kemerdekaan.
Kenangan itu seperti tembang manis yang kembali disuguhkan alam di penghujung usianya. Rekaman saat usianya masih belasan, mengikuti gerilya Panglima Besar Sudirman. Menembus hutan belantara, sungai-sungai dan bukit-bukit kapur. Berkelit dari serbuan pesawat Dakota hijau belang-belang yang menderu bersama pesawat pemburu Mustang cocor merah di atas kota Jogja. Dentuman bom dan rentetan senapan mesin kembali mengiang di telinga tuanya. Dia seperti terseret kembali ke peristiwa masa lalu.
Namun sejarah heroik itu terhapus begitu saja beberapa tahun kemudian. Tepat ketika dia mengandung Sum, anak pertama dan terakhirnya dengan Parman, yang kemudian memilih menjadi petani di kampung halaman. Ketika kandungannya belum genap tujuh bulan, geger revolusi memberikan kenangan yang lain. Huru hara di ibukota merembet hingga ke kampung-kampung. Pelosok dusun, dan gaungnya menggema sampai ke bukit-bukit.
Kelap-kelip lampu yang jauh di lembah Jogja itu, dalam bayangan Mbok Jaliteng kemudian menjadi seperti obor. Persisnya ratusan obor yang berduyun-duyun merambati bukit. Kenangan awal Oktober 1965 cukup menyisakan jelaga di mata Mbok Jaliteng. Meninggalkan sayatan luka di hatinya. Ketika orang-orang berobor entah dari desa mana membakar lereng bukit itu. Menangkapi dan menyeret puluhan orang dan membawanya ke lembah. Tak ada yang tahu dan tak ada kabar. Belakangan baru dia tahu, orang-orang yang ditangkapi itu dituduh komunis, angota partai komunis, atau simpatisan komunis. Belakangan juga santer terdengar, mereka yang dibawa telah dibantai di bukit yang lain, dan mayatnya dibuang ke jurang.
“Tapi, Kang Parman bukan komunis, bukan juga atheis. Dia bertuhan, tiap hari sembahyang!!!” Teriak Mbok Jaliteng, di malam gelap itu.
“Sudah mbok, sing eling...4,” kata Tri, menenangkan.
Setelah kejadian malam itu, keluarganya kemudian menanggung beban sejarah. Stempel komunis terlanjur menempel di kehidupannya. Serupa tato yang terus melekat dan tak terhapuskan. Termasuk kepada anak yang masih dikandungnya, yang belum menghirup dunia ketika peristiwa kelabu itu terjadi. Peristiwa yang membuat senyumnya terkubur, bersama gersangnya bukit kapur, bersama jasad suaminya yang tersungkur––entah di jurang mana. Kebahagiaan seakan hilang bersama letupan-letupan obor, malam itu.
Mungkin, karena itulah dia menamai anaknya Sumringah. Supaya senantiasa tersenyum, karena senyum perlambang kebahagiaan. Dia tidak ingin terus larut dengan kesedihan yang teramat dalam. Dengan Sumringah, dia ingin mengubur semua kenangan pahit, mimpi-mimpi sunyi. Bertahun-tahun kejadian itu terlupakan. Namun sejak kepergiaan Sum ke Hongkong, 10 tahun lalu, luka lama mulai menyembul di balik kesunyiannya. Jiwa Mbok Jaliteng kembali terguncang, di usia senjanya. Dia sering termenung sendiri di atas balai-balai bambu rumahnya yang reyot.
Kesendirian kembali mengungkap kenangan-kenangan. Romantisme lereng Merapi di akhir 1940-an, datang silih berganti dengan kepedihan di malam Oktober pertengahan tahun 1960-an. Semuanya memenuhi benak Mbok Jaliteng yang tertutup kulit keriput, kerak katarak, dan uban menjuntai. Kulitnya yang legam semakin tersepuh kemarau yang menyambangi bukit kapur. Kadang dia begitu bersemangat menceritakan gerilyanya bersama Panglima Besar Sudirman, petualangan di masa muda yang membuatnya seperti pahlawan negara. Sesekali dia juga menceritakan kesedihan di malam-malam yang membuatnya seperti bajingan pemberontak. Suatu tuduhan yang membuat bekas-bekas perjuangan suaminya dulu menguap begitu saja.
Tapi orang-orang terlanjur termakan hasutan sejarah. Sebab selama 32 tahun stempel komunis itu terus memasungnya. Masyarakat sudah mencap Mbok Jaliteng dan beberapa keluarga di gunung kapur itu sebagai keturunan komunis. Perlu diwaspadai, dan hak-haknya di tengah publik kadang dikebiri. Tapi Mbok Jaliteng tak punya daya, perempuan desa itu hanya bisa menerima. Dan, kesedihannya biasa memuncak di bulan Agustus. Karena dia dilarang mengikuti riuhnya pesta ulang tahun kemerdekaan, karnaval-karnaval desa, panggung tujuh belasan. Bahkan juga diharamkan menyanyikan lagu Indonesia Raya, yang dulu merupakan kebanggaannya. Tembang yang selalu dia nyanyikan sambil mengibarkan bendera dua warna, yang sakral.
“Sum... Sum... Pulanglah, nduk,” Mbok Jaliteng meratap dalam kesunyian. Kalau sudah begitu, Tri yang masih kerabat jauhnya itu hanya bisa menenangkannya. Menghiburnya dengan tembang-tembang Dandanggula, Macapatan, kadang juga Parikan. Orang-orang desa yang masih antipati dengan komunis, turun-temurun karena kisah yang belum tentu tahu muasalnya, sering meminta Mbok Jaliteng dipasung. Sebab dia dikatakan gila, dan sederet tuduhan yang menyiksa.
“Itu karena kuwalat5 ikut-ikutan pe-ka-i...!!!”
“Gusti Allah menghukumnya sekarang..!!!”
“Biar saja kalau mati nanti mayatnya ndak usah diurus... cuihhh!!!”
Suara-suara itu, seperti bongkahan batu kapur yang berjatuhan. Menindih tubuh ringkihnya. Dia hanya bisa menyangkal tuduhan itu dalam hati, hanya dalam hati. Sebab selama puluhan tahun mulutnya dibungkam, sekadar untuk mengungkap kebenaran. Dia tahu itu, semua petaka karena dendam Lurah Bawuk kepada keluarganya. Dendam turunan karena ayah Mbok Jaliteng pernah melaporkan ayah lurah desa sebelah itu, yang menjadi mata-mata Belanda, kepada tentara pejuang. Kemudian tentara pejuang memenggal kepalanya. Sebab sebuah rencana serangan gerilya diketahui Belanda karena laporan ayah Lurah Bawuk yang menjadi antek penjajah itu.
Maka lurah Bawuk pun menaruh dendam. Dendam itu pun tertabuh ketika dia mendengar desas-desus beberapa pentolan PKI pernah mendatangi rumah keluarga Mbok Jaliteng. Dan setelah huru hara, lurah itu segera meniupkan isu keluarga Parman anggota PKI. Hingga malam gelap, ratusan obor membakar kehidupannya, menghanguskan kenangan dan mimpi-mimpinya. Tapi Mbok Jaliteng tahu kebenaran semua itu, suaminya menolak mentah-mentah ketika beberapa pentolan partai bergambar palu arit itu mengajaknya memperkuat barisan tani. Barisan yang dibentuk untuk memperkuat basis partai hingga ke desa-desa, meskipun sebenarnya sebagian besar anggotanya hanya ikut-ikutan. Banyak mereka yang tak mengetahui apapun tentang politik ditangkap bahkan dibunuh. Mbok Jaliteng juga mendengar, waktu suaminya mengusir orang-orang itu sambil mengatakan kesetiaannya pada Republik. Tapi mulutnya sudah terbelenggu rapat, sekadar mengatakan kebenaran.
Kenangan yang datang silih berganti di usia senjanya itu, terus saja datang dan pergi. Pergi ketika dia kembali teringat Sum. Kadang dia memanggil-manggil nama Sum, bila dari jauh dia melihat perempuan berjalan melewati rumahnya. Katarak yang berkarat di kedua matanya telah mengaburkan segala pandangan. Seiring dengan semakin lusuhnya kain batik yang membalut tubuh rentanya.
“...Yen ing tawang ono lintang cah ayu, Aku ngenteni tekamu.....”
Mbok Jaliteng terus saja menembang sambil menyebut nama Sum, berkali-kali. Dia semakin sering menembang setelah banyak orang mengabarkan, beberapa buruh migran mati di perantauan. Kadang mereka sengaja menakut-nakuti, kalau di siaran televisi mereka melihat Sum mati bunuh diri dari lantai tiga belas apartemen tempatnya bekerja. Atau Sum diperkosa dan disetrika majikan sampai lumpuh, sehingga tidak bisa pulang-pulang. Mendengar itu, Mbok Jaliteng menangis dan meraung-raung.
“Oalah... Nduk... Nduk.... Kok begitu nasibmu...”
Melihat penderitaan itu, orang-orang yang masih termakan hasutan sejarah, semakin girang. Tri hanya bisa menenangkan dan menghibur Mbok Jaliteng, kalau Sum masih mengumpulkan uang untuk menebus pekarangan yang tergadai. Bahwa Sum sedang mencari uang untuk membangun rumah gedeknya yang hampir ambruk. Seperti kebanyakan buruh migran lain yang berlomba-lomba membangun rumah megah di desa, setelah bertahun-tahun mengadu peruntungan di perantauan. Biasanya kata-kata Tri cukup manjur menenangkan kegelisahan Mbok Jaliteng yang sudah pikun itu. Meskipun Tri sendiri tidak pernah tahu kabar Sum sebenarnya.
Malam-malam berikutnya, kejadian seperti itu terus berulang. Seperti sebuah rotasi kenangan yang pergi dan kembali lagi. Tapi orang-orang desa beberapa bulan ini sudah tidak peduli dengan keadaan Mbok Jaliteng. Karena mereka banyak disibukkan membenahi rumah-rumah yang nyaris roboh. Menambal dinding retak dan mengatur distribusi bantuan yang datangnya tersendat-sendat. Gempa besar beberapa bulan sebelumnya telah meruntuhkan sebagian bangunan di sekitar lereng bukit kapur. Atau mencari mata air ke bukit, sebab setelah kejadian pagi itu, kemarau panjang datang meradang. Mengeringkan sungai dan mata air. Mungkin, membenahi rumah lebih penting daripada mengurusi seorang tumbal sejarah.
“Apa Sum ndak mendengar bencana di sini kemarin ya, nduk? Kok sampai sekarang dia belum juga pulang,” Mbok Jaliteng bergumam lirih. Berkali-kali dia mengucapkan kalimat itu.
Tubuh ringkihnya semakin tidak berdaya. Terkulai di dipan bambu yang usang dan reyot. Dari jendela rumahnya, bila malam dia masih suka melihat kelap-kelip lampu di kota Jogja yang mirip kunang-kunang. Setiap itu pula kenangan-kenangan lama lalu lalang di alam pikirannya. Seolah tak ingin mengelupas bersama semakin luruhnya ingatan karena pikun dan rabun. Bayangan-bayangan masa lalu yang begitu terpatri itu seperti mimpi yang datang setiap hari. Mengungkap luka dan cemas di malam-malam sepi.
“Tok! Tok!! Tok!!!”
“Tok! Tok!! Tok!!!”
Mbok Jaliteng mendengar suara-suara itu. Pintu rumahnya seperti diketuk. Dalam benak tuanya, dia mengira yang mengetuk pintu itu Sum. Sebab sekarang yang ada di sisa pikirannya hanya nama itu. Setelah sekian tahun penantian, setelah sekian uban melengkapi keriput tubuhnya.
“Sum... Sum.... Kamukah itu, nduk?”
“Sum...Masuklah, nduk....”
“...Yen ing tawang ono lintang cah ayu,
Aku ngenteni tekamu.....”
Namun tak ada jawaban. Hanya sayup-sayup tembang Mbok Jaliteng yang menyusup di tengah kebisuan hutan jati. Berbaur dengan angin malam bukit kapur. Mengalun sampai ke lembah, dan melebur di tengah kelap-kelip ribuan lampu di kota Jogja.***
Jogjakarta – Bogor, 2007
Catatan:
1tiwul : Makanan pokok pengganti nasi, terbuat dari ubi kayu.
2 penggalan tembang jawa berjudul “yen ing tawang ono lintang”, yang artinya : “Jika di langit ada bintang, cantik. Aku menunggu kedatanganmu. Kepada awan di langit, nimas. Aku tanyakan kabarmu..”
3nduk : Panggilan untuk anak perempuan
4sing eling : Yang ingat
5kuwalat: Durhaka
(Cerpen ini pemenang pertama
sayembara cerpen nasional Escaeva-Bukukita 2007 dan dibukukan dalam Kumpulan
Cerpen Tembang Bukit Kapur)
No comments
Post a Comment