Membangun Iklim, Merambah Kompetisi
Oleh Hary B Kori’un
Persoalan sastra yang dihadapi Riau saat ini bukan pada kurangnya jumlah penulis atau miskinnya karya yang dihasilkan. Di ruang budaya beberapa media massa yang menjadi salah satu barometer —misalnya ruang Budaya Riau Pos— selalu muncul penulis baru dan selalu lahir karya baru, baik berupa cerpen, sajak maupun telaah sastra dan budaya.
Buku-buku sastra yang diterbitkan juga banyak setiap tahunnya, baik itu dalam bentuk kumpulan sajak, kumpulan cerpen, novel dan sebagainya. Yang menjadi salah satu pertanyaan sekarang adalah, apakah dunia sastra Riau tumbuh dalam suasana yang kondusif dan kompetitif?
Kondusif dan kompetitif. Barangkali dua kata itu memang harus dipikirkan ulang karena ketika bicara iklim, maka banyak hal dan variabel yang meski dimasukkan dan dilibatkan. Sedangkan jika bicara tentang kompetitif atau tidak, maka wilayahnya sanga luas karena ini menyangkut pada kualitas, keluasan distribusi, keluasan masyarakat pembaca dan yang paling penting adalah apresiasi pembacanya. Jika dua hal ini dikerucutkan pada lingkup yang lebih spesifik, yakni karya cerpen, apakah dunia penulisan cerpen di Riau –maksudnya ditulis oleh para pengarang Riau— saat ini sudah kondusif dan kompetitif?
Bisa jadi, ini sudah menjadi perdebatan klasik. Bahwa sejarah cerpen dimulai di Riau dengan cerpen-cerpen M Kasim dan Soeman Hs, itu tak bisa dibantah. Namun yang kemudian muncul ke permukaan, kekuatan sastra Riau ternyata lebih mengarah pada syair (pantun, sajak dan sebagainya). Dimulai dari Raja Ali Haji hingga munculnya penyair-penyair kuat seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, Idrus Tintin, Rida K Liamsi hingga ke generasi yang lebih muda seperti Fakhrunnas MA Jabbar, Taufik Ikram Jamil sampai ke Marhalim Zaini, Budy Utamy di generasi terkini, memperlihatkan bahwa dunia syair selalu mendapat ruang yang sangat dalam.
Di bidang novel, meski tak banyak, tetapi dari generasi ke generasi selalu muncul secara berkesinambungan. Setelah generasi Soeman Hs, muncul Ediruslan Pe Amanriza, Rida K Liamsi, Sudarno Mahyudin, Hasan Junus, Bustamam Halimy, Taufik Ikram Jamil hingga ke generasi Olyrinson, Nyoto, Marhalim Zaini, Gde Agung Lontar, Ahmad S Udi, Saidul Tombang, Fitri Mayani, Musa Ismail dan sebagainya, memberikan garansi bahwa penulisan novel di Riau tetap tumbuh dengan baik. Apa yang dilakukan Yayasan Bandar Serai dengan menyelenggarakan Ganti Award dalam empat tahun belakangan, memberi laluan kepada penulis novel untuk terus menulis, meski tak banyak yang mampu menapak secara luas ke tingkat yang lebih tinggi (nasional) dalam hal menyiaran karya (baik dalam bentuk cerita bersambung di media massa maupun dalam bentuk buku) maupun mampu menembus ketatnya dunia sayembara. Terakhir, novel Riau yang tersiar secara luas ke tingkat nasional adalah Bulang Cahaya (Rida K Liamsi), Tun Amoy (Marhalim Zaini, cerbung di Republika), Gadis Kunang-kunang (Olyrinson), Nyanyian Batanghari dan Jejak Hujan (Hary B Kori’un).
Lalu, bagaimana dengan cerpen? Sebenarnya Riau juga tak pernah kekeringan penulis prosa pendek ini. Setelah generasi M Kasim dan Soeman Hs, Ediruslan Pe Amanriza, Taufik Ikram Jamil, Kazzaini Ks, Sutrianto, Fakhrunnas MA Jabbar, Mostamir Thalib, Olyrinson, Abel Tasman, Marhalim Zaini, Murparsaulian, Hang Kafrawi hingga ke generasi lebih muda secara usia seperti Pandapotan MT Siallagan, Sobirin Zaini, M Badri, Ellyzan Katan dan yang lainnya, dunia cerpen Riau tak pernah berhenti berdetak. Hanya saja, tak banyak memang yang berani (berhasil?) menembus ketatnya persaingan dunia cerpen tingkat nasional.
Setelah Taufik Ikram dan Fakhrunnas yang mampu menembus belantara cerpen Indonesia, memang muncul Olyrinson dan Marhalim, dan belakangan M Badri dan Pandapotan juga menyusul, tetapi setelah itu seperti muncul stagnasi. Selain mereka, tak ada lagi karya-karya cerpenis Riau yang mampu menembus belantara cerpen Indonesia, baik berupa munculnya buku kumpulan cerpen dengan tingkat distribusi yang luas (bukan hanya dicetak seadanya dan distribusinya tak jelas), maupun cerpen-cerpen yang dimuat di media massa dengan cakupan pembaca lebih luas, yang dalam hal ini tentu media nasional.
Persoalan distribusi ini penting karena akan mentukan apakah sebuah karya tersebut dibaca oleh kalangan luas atau tidak. Begitu pentingnyakah publikasi secara nasional? Ya, penting, karena itu akan menentukan sendiri eksistensi sang penulis, dan sekaligus sebagai seleksi kualitas. Dengan tampil di media yang lebih besar, tingkat seleksinya lebih ketat, dan pastinya akan memperlihatkan mutu sebuah karya tersebut.
***
MEMBAHAS hal seperti di atas seperti membahas sesuatu yang berulang-ulang. Ihwal sastra dan pengarang sudah ditulis berulang-ulang oleh banyak penulis esai maupun dalam banyak karya yang lain. Tetapi, itulah persoalan kita sekarang. Ketika daerah tetangga di Sumatera seperti Sumatera Barat (Sumbar), Sumatera Utara (Sumut), Nanggroe Aceh Darusallam (NAD) atau Lampung yang melahirkan penulis-penulis muda tahan banting yang tak kenal menyerah meski karya-karyanya ditolak banyak redaktur budaya media massa maupun penerbit buku, tetapi mereka terus berkarya.
Setelah Jakarta, Yogyakarta dan Bandung, harus diakui Sumbar kini memiliki banyak penulis prosa yang mampu bersaing di tingkat nasional. Setelah generasi AA Navis, Chairul Harun, Abrar Yusra, Harris Effendi Thahar, Darman Moenir, Gus Tf Sakai, Khairul Jasmi, Yusrizal KW, Iyut Fitra, Ode Bartha Ananda, Sudarmoko, Agus Hernawan, kini muncul anak-anak muda berusia di bawah 25 tahunan bahkan ada yang masih belum tamat dari studinya S1-nya seperti Esha Tegar Putra, Zelfeni Wimra, Romi Zarman, Igoy El Fitra, Yetti A KA, Pinto Anugrah, Ade Efdira, Dedy Arsha dan lain sebagainya. Mereka tidak hanya eksis menulis di media-media lokal Sumbar, tetapi juga merambah koran-koran yang memilik halaman budaya bergengsi seperti Kompas, Jawa Pos, Majalah Horison, Republika, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Riau Pos, Pikiran Rakyat, Jurnal Nasional, dan lain sebagainya. Selain itu, beberapa di antaranya sudah menerbitkan buku yang diterbitkan oleh penerbit lumayan besar dengan tingkat distribusi yang menyebar ke seluruh Indonesia.
Lampung juga melakukan regenerasi sastra dengan baik. Setelah generasi Oyos Saroso, Iswadi Pratama, Isbedy Stiawan ZS, Ari Pahala Hutabarat dan sebagainya, di bawahnya muncul Dahta Gautama, M Arman AZ, Inggit Putria Marga, Jimmy Maruli Alfian, dan sebagainya yang sudah menasional. Sementara NAD, masih mengandalkan Azhari, M Fauzan dan beberapa nama lainnya. Di Sumut, nama Hasan Al Bana sudah mulai mampu berbicara banyak diikuti beberapa nama.
Regenerasi yang muncul di daerah-daerah tersebut, memang diset oleh beberapa sastrawan senior yang peduli. Mereka membangun sanggar, kelompok, komunitas dan sebagainya untuk memberikan tempat kepada anak-anak muda untuk berkreasi. Mereka berkarya dan kemudian dibahas bersama dilihat kekurangan dan kelebihannya sebelum dikirimkan ke media massa. Hal itu terus dilakukan dengan upaya-upaya yang lebih intens, dan akhirnya satu per satu mereka muncul dan eksis.
Di Riau, tak banyak yang melakukan itu. Ada beberapa komunitas yang muncul tak memberi kontribusi berarti kepada lahirnya penulis muda yang tangguh dan tak kenal menyerah karena karena hanya tergantung pada proyek pemerintah. Hanya beberapa komunitas penulis yang serius melakukannya seperti Paragraf, Forum Lingkar Pena (FLP) dan beberapa lagi. Selain itu, mereka masih menjadikan media lokal sebagai sasaran utama, bukan media nasional, sehingga ketika karya-karyanya tak dimuat di medai lokal, mereka patah semangat, bahkan ada yang menganggap redaktur budaya media lokal tak care terhadap kelahiran generasi baru. Inilah kemudian yang muncul ke permukaan, bukan mereka terus berupaya bekerja keras dan mencari celah untuk terus memperbaiki karyanya.
***
KUMPULAN Cerpen Kolase Hujan ini adalah buku kesekian yang sengaja diterbitkan oleh Riau Pos, yang salah satu gagasan idealnya adalah memberi semangat kepada para penulis prosa di daerah ini untuk terus berkarya lebih baik lagi. Sebagai kumpulan karya terpilih, bukan berarti cerpen-cerpen yang masuk dalam buku ini akan memberi kepuasan kepada semua orang bahwa cerpen-cerpen tersebut memang terbaik dibanding yang lainnya yang mungkin tak masuk dalam kumpulan ini. Namun, dengan penilian yang mungkin sangat relatif, cerpen-cerpen tersebut tetap bisa dipertanggungjawabkan sebagai cerpen yang layak masuk dalam buku ini.
Yang menarik dalam buku ini, selain nama-nama “lama” yang masih hampir selalu masuk dalam kumpulan sebelumnya, ada beberapa nama baru yang untuk pertama kalinya terpilih dan hampir semuanya perempuan. Mereka misalnya Budy Utamy, perempuan penulis asal Riau yang selama ini sudah eksis di bidang sajak. Buku sajaknya yang telah terbit adalah Rumah Hujan (Frame Publishing, Jogjakarta 2007). Selain piawai menulis syair, Budy ternyata memiliki kemampuan yang baik dalam menulis prosa. Cerpen “Perempuan Penenun Hujan” yang ditulisnya, memperlihatkan bahwa Budy Utamy memiliki bakat yang baik jika terus dikembangkan.
Perempuan lainnya adalah Dian Hartati. Gadis kelahiran Bandung ini selama ini juga sangat eksis dalam menulis sajak dan dimuat di banyak media nasional. Dian menulis cerpen berjudul “Perempuan Kupu-kupu”, berkisah tentang seorang manusia yang bermetamorfosis menjadi kupu-kupu, dan mengingatkan kita pada beberapa karya Milan Kundera. Endah Sulwesi, perempuan asal Jakarta yang selama ini dikenal sebagai peresensi buku dan dikenal luas, telah beberapa kali menulis cerpen dan salah satunya adalah “Kelana”, yang berkisah tentang perjuangan hidup seorang aktivis kemanusiaan yang berakhir dengan tragis.
Nama-nama baru yang cerpennya masuk dalam kumpulan ini antara lain Fedli Azis, Raja Isyam Azwar, Riki Utomi, dan Jefry al Malay. Mereka mengusung beragam tema dengan berbagai persoalan masyarakat yang diketengahkan. Meski ada kelamahan di sana-sini, tetapi cerpen-cerpen mereka tetap menyuguhkan hal keseharian yang barangkali luput dari ingatan kita.
Di luar itu, nama-nama seperti Raudal Tanjung Banua, Marhalim Zaini, M Badri, Sobirin Zaini, Fariz Ikhsan Putra, Pandapotan MT Siallagan, Hang Kafrawi, Ellizan Katan, Sutrianto Az-Zumar, Romi Zarman, Yetti A KA, Olyrinson, Nyoto dan Musa Ismail, adalah nama-nama familiar dalam khasanah sastra Riau dan Indonesia. Mereka tidak hanya berkutat di media lokal, tetapi juga telah menjadi bagian penting dari belantara sastra Indonesia dengan kebihan masing-masing.
Sekali lagi, kumpulan cerpen ini tidak akan memuaskan banyak orang karena sastra adalah sebuah karya yang penilaian kualitasnya sangat relatif meski tetap ada standar-standar yang bisa menjadi acuan dalam menilainya. Sebagai sebuah antologi, Kolase Hujan diharapkan akan tetap menjadi pemacu semangat bagi generasi terkini sastra Riau untuk terus berkarya dan selalu mencari kebaruan serta terus melakukan peningkatan kekuatan karyanya. Sebab, jika masuk dalam kompetisi ke wilayah yang lebih luas, maka kualitas adalah yang utama.***
Hary B Kori’un, adalah editor buku dan redaktur budaya Riau Pos. Tulisan ini adalah pengantar Kumpulan Cerpen Kolase Hujan.
Persoalan sastra yang dihadapi Riau saat ini bukan pada kurangnya jumlah penulis atau miskinnya karya yang dihasilkan. Di ruang budaya beberapa media massa yang menjadi salah satu barometer —misalnya ruang Budaya Riau Pos— selalu muncul penulis baru dan selalu lahir karya baru, baik berupa cerpen, sajak maupun telaah sastra dan budaya.
Buku-buku sastra yang diterbitkan juga banyak setiap tahunnya, baik itu dalam bentuk kumpulan sajak, kumpulan cerpen, novel dan sebagainya. Yang menjadi salah satu pertanyaan sekarang adalah, apakah dunia sastra Riau tumbuh dalam suasana yang kondusif dan kompetitif?
Kondusif dan kompetitif. Barangkali dua kata itu memang harus dipikirkan ulang karena ketika bicara iklim, maka banyak hal dan variabel yang meski dimasukkan dan dilibatkan. Sedangkan jika bicara tentang kompetitif atau tidak, maka wilayahnya sanga luas karena ini menyangkut pada kualitas, keluasan distribusi, keluasan masyarakat pembaca dan yang paling penting adalah apresiasi pembacanya. Jika dua hal ini dikerucutkan pada lingkup yang lebih spesifik, yakni karya cerpen, apakah dunia penulisan cerpen di Riau –maksudnya ditulis oleh para pengarang Riau— saat ini sudah kondusif dan kompetitif?
Bisa jadi, ini sudah menjadi perdebatan klasik. Bahwa sejarah cerpen dimulai di Riau dengan cerpen-cerpen M Kasim dan Soeman Hs, itu tak bisa dibantah. Namun yang kemudian muncul ke permukaan, kekuatan sastra Riau ternyata lebih mengarah pada syair (pantun, sajak dan sebagainya). Dimulai dari Raja Ali Haji hingga munculnya penyair-penyair kuat seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, Idrus Tintin, Rida K Liamsi hingga ke generasi yang lebih muda seperti Fakhrunnas MA Jabbar, Taufik Ikram Jamil sampai ke Marhalim Zaini, Budy Utamy di generasi terkini, memperlihatkan bahwa dunia syair selalu mendapat ruang yang sangat dalam.
Di bidang novel, meski tak banyak, tetapi dari generasi ke generasi selalu muncul secara berkesinambungan. Setelah generasi Soeman Hs, muncul Ediruslan Pe Amanriza, Rida K Liamsi, Sudarno Mahyudin, Hasan Junus, Bustamam Halimy, Taufik Ikram Jamil hingga ke generasi Olyrinson, Nyoto, Marhalim Zaini, Gde Agung Lontar, Ahmad S Udi, Saidul Tombang, Fitri Mayani, Musa Ismail dan sebagainya, memberikan garansi bahwa penulisan novel di Riau tetap tumbuh dengan baik. Apa yang dilakukan Yayasan Bandar Serai dengan menyelenggarakan Ganti Award dalam empat tahun belakangan, memberi laluan kepada penulis novel untuk terus menulis, meski tak banyak yang mampu menapak secara luas ke tingkat yang lebih tinggi (nasional) dalam hal menyiaran karya (baik dalam bentuk cerita bersambung di media massa maupun dalam bentuk buku) maupun mampu menembus ketatnya dunia sayembara. Terakhir, novel Riau yang tersiar secara luas ke tingkat nasional adalah Bulang Cahaya (Rida K Liamsi), Tun Amoy (Marhalim Zaini, cerbung di Republika), Gadis Kunang-kunang (Olyrinson), Nyanyian Batanghari dan Jejak Hujan (Hary B Kori’un).
Lalu, bagaimana dengan cerpen? Sebenarnya Riau juga tak pernah kekeringan penulis prosa pendek ini. Setelah generasi M Kasim dan Soeman Hs, Ediruslan Pe Amanriza, Taufik Ikram Jamil, Kazzaini Ks, Sutrianto, Fakhrunnas MA Jabbar, Mostamir Thalib, Olyrinson, Abel Tasman, Marhalim Zaini, Murparsaulian, Hang Kafrawi hingga ke generasi lebih muda secara usia seperti Pandapotan MT Siallagan, Sobirin Zaini, M Badri, Ellyzan Katan dan yang lainnya, dunia cerpen Riau tak pernah berhenti berdetak. Hanya saja, tak banyak memang yang berani (berhasil?) menembus ketatnya persaingan dunia cerpen tingkat nasional.
Setelah Taufik Ikram dan Fakhrunnas yang mampu menembus belantara cerpen Indonesia, memang muncul Olyrinson dan Marhalim, dan belakangan M Badri dan Pandapotan juga menyusul, tetapi setelah itu seperti muncul stagnasi. Selain mereka, tak ada lagi karya-karya cerpenis Riau yang mampu menembus belantara cerpen Indonesia, baik berupa munculnya buku kumpulan cerpen dengan tingkat distribusi yang luas (bukan hanya dicetak seadanya dan distribusinya tak jelas), maupun cerpen-cerpen yang dimuat di media massa dengan cakupan pembaca lebih luas, yang dalam hal ini tentu media nasional.
Persoalan distribusi ini penting karena akan mentukan apakah sebuah karya tersebut dibaca oleh kalangan luas atau tidak. Begitu pentingnyakah publikasi secara nasional? Ya, penting, karena itu akan menentukan sendiri eksistensi sang penulis, dan sekaligus sebagai seleksi kualitas. Dengan tampil di media yang lebih besar, tingkat seleksinya lebih ketat, dan pastinya akan memperlihatkan mutu sebuah karya tersebut.
***
MEMBAHAS hal seperti di atas seperti membahas sesuatu yang berulang-ulang. Ihwal sastra dan pengarang sudah ditulis berulang-ulang oleh banyak penulis esai maupun dalam banyak karya yang lain. Tetapi, itulah persoalan kita sekarang. Ketika daerah tetangga di Sumatera seperti Sumatera Barat (Sumbar), Sumatera Utara (Sumut), Nanggroe Aceh Darusallam (NAD) atau Lampung yang melahirkan penulis-penulis muda tahan banting yang tak kenal menyerah meski karya-karyanya ditolak banyak redaktur budaya media massa maupun penerbit buku, tetapi mereka terus berkarya.
Setelah Jakarta, Yogyakarta dan Bandung, harus diakui Sumbar kini memiliki banyak penulis prosa yang mampu bersaing di tingkat nasional. Setelah generasi AA Navis, Chairul Harun, Abrar Yusra, Harris Effendi Thahar, Darman Moenir, Gus Tf Sakai, Khairul Jasmi, Yusrizal KW, Iyut Fitra, Ode Bartha Ananda, Sudarmoko, Agus Hernawan, kini muncul anak-anak muda berusia di bawah 25 tahunan bahkan ada yang masih belum tamat dari studinya S1-nya seperti Esha Tegar Putra, Zelfeni Wimra, Romi Zarman, Igoy El Fitra, Yetti A KA, Pinto Anugrah, Ade Efdira, Dedy Arsha dan lain sebagainya. Mereka tidak hanya eksis menulis di media-media lokal Sumbar, tetapi juga merambah koran-koran yang memilik halaman budaya bergengsi seperti Kompas, Jawa Pos, Majalah Horison, Republika, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Riau Pos, Pikiran Rakyat, Jurnal Nasional, dan lain sebagainya. Selain itu, beberapa di antaranya sudah menerbitkan buku yang diterbitkan oleh penerbit lumayan besar dengan tingkat distribusi yang menyebar ke seluruh Indonesia.
Lampung juga melakukan regenerasi sastra dengan baik. Setelah generasi Oyos Saroso, Iswadi Pratama, Isbedy Stiawan ZS, Ari Pahala Hutabarat dan sebagainya, di bawahnya muncul Dahta Gautama, M Arman AZ, Inggit Putria Marga, Jimmy Maruli Alfian, dan sebagainya yang sudah menasional. Sementara NAD, masih mengandalkan Azhari, M Fauzan dan beberapa nama lainnya. Di Sumut, nama Hasan Al Bana sudah mulai mampu berbicara banyak diikuti beberapa nama.
Regenerasi yang muncul di daerah-daerah tersebut, memang diset oleh beberapa sastrawan senior yang peduli. Mereka membangun sanggar, kelompok, komunitas dan sebagainya untuk memberikan tempat kepada anak-anak muda untuk berkreasi. Mereka berkarya dan kemudian dibahas bersama dilihat kekurangan dan kelebihannya sebelum dikirimkan ke media massa. Hal itu terus dilakukan dengan upaya-upaya yang lebih intens, dan akhirnya satu per satu mereka muncul dan eksis.
Di Riau, tak banyak yang melakukan itu. Ada beberapa komunitas yang muncul tak memberi kontribusi berarti kepada lahirnya penulis muda yang tangguh dan tak kenal menyerah karena karena hanya tergantung pada proyek pemerintah. Hanya beberapa komunitas penulis yang serius melakukannya seperti Paragraf, Forum Lingkar Pena (FLP) dan beberapa lagi. Selain itu, mereka masih menjadikan media lokal sebagai sasaran utama, bukan media nasional, sehingga ketika karya-karyanya tak dimuat di medai lokal, mereka patah semangat, bahkan ada yang menganggap redaktur budaya media lokal tak care terhadap kelahiran generasi baru. Inilah kemudian yang muncul ke permukaan, bukan mereka terus berupaya bekerja keras dan mencari celah untuk terus memperbaiki karyanya.
***
KUMPULAN Cerpen Kolase Hujan ini adalah buku kesekian yang sengaja diterbitkan oleh Riau Pos, yang salah satu gagasan idealnya adalah memberi semangat kepada para penulis prosa di daerah ini untuk terus berkarya lebih baik lagi. Sebagai kumpulan karya terpilih, bukan berarti cerpen-cerpen yang masuk dalam buku ini akan memberi kepuasan kepada semua orang bahwa cerpen-cerpen tersebut memang terbaik dibanding yang lainnya yang mungkin tak masuk dalam kumpulan ini. Namun, dengan penilian yang mungkin sangat relatif, cerpen-cerpen tersebut tetap bisa dipertanggungjawabkan sebagai cerpen yang layak masuk dalam buku ini.
Yang menarik dalam buku ini, selain nama-nama “lama” yang masih hampir selalu masuk dalam kumpulan sebelumnya, ada beberapa nama baru yang untuk pertama kalinya terpilih dan hampir semuanya perempuan. Mereka misalnya Budy Utamy, perempuan penulis asal Riau yang selama ini sudah eksis di bidang sajak. Buku sajaknya yang telah terbit adalah Rumah Hujan (Frame Publishing, Jogjakarta 2007). Selain piawai menulis syair, Budy ternyata memiliki kemampuan yang baik dalam menulis prosa. Cerpen “Perempuan Penenun Hujan” yang ditulisnya, memperlihatkan bahwa Budy Utamy memiliki bakat yang baik jika terus dikembangkan.
Perempuan lainnya adalah Dian Hartati. Gadis kelahiran Bandung ini selama ini juga sangat eksis dalam menulis sajak dan dimuat di banyak media nasional. Dian menulis cerpen berjudul “Perempuan Kupu-kupu”, berkisah tentang seorang manusia yang bermetamorfosis menjadi kupu-kupu, dan mengingatkan kita pada beberapa karya Milan Kundera. Endah Sulwesi, perempuan asal Jakarta yang selama ini dikenal sebagai peresensi buku dan dikenal luas, telah beberapa kali menulis cerpen dan salah satunya adalah “Kelana”, yang berkisah tentang perjuangan hidup seorang aktivis kemanusiaan yang berakhir dengan tragis.
Nama-nama baru yang cerpennya masuk dalam kumpulan ini antara lain Fedli Azis, Raja Isyam Azwar, Riki Utomi, dan Jefry al Malay. Mereka mengusung beragam tema dengan berbagai persoalan masyarakat yang diketengahkan. Meski ada kelamahan di sana-sini, tetapi cerpen-cerpen mereka tetap menyuguhkan hal keseharian yang barangkali luput dari ingatan kita.
Di luar itu, nama-nama seperti Raudal Tanjung Banua, Marhalim Zaini, M Badri, Sobirin Zaini, Fariz Ikhsan Putra, Pandapotan MT Siallagan, Hang Kafrawi, Ellizan Katan, Sutrianto Az-Zumar, Romi Zarman, Yetti A KA, Olyrinson, Nyoto dan Musa Ismail, adalah nama-nama familiar dalam khasanah sastra Riau dan Indonesia. Mereka tidak hanya berkutat di media lokal, tetapi juga telah menjadi bagian penting dari belantara sastra Indonesia dengan kebihan masing-masing.
Sekali lagi, kumpulan cerpen ini tidak akan memuaskan banyak orang karena sastra adalah sebuah karya yang penilaian kualitasnya sangat relatif meski tetap ada standar-standar yang bisa menjadi acuan dalam menilainya. Sebagai sebuah antologi, Kolase Hujan diharapkan akan tetap menjadi pemacu semangat bagi generasi terkini sastra Riau untuk terus berkarya dan selalu mencari kebaruan serta terus melakukan peningkatan kekuatan karyanya. Sebab, jika masuk dalam kompetisi ke wilayah yang lebih luas, maka kualitas adalah yang utama.***
Hary B Kori’un, adalah editor buku dan redaktur budaya Riau Pos. Tulisan ini adalah pengantar Kumpulan Cerpen Kolase Hujan.
Sumber:
Riau Pos, 22 November 2009
No comments
Post a Comment