Komunikasi Penanggulangan Karhutla
Oleh M Badri
Kabut asap
akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Riau, sekarang ini sudah menjadi
bencana yang perlu ditangani dengan serius. Namun hingga kini konsep penanggulangan karhutla masih
belum efektif. Ini terlihat dari masih sering terjadinya karhutla di Riau,
bahkan Pekanbaru yang notabene ibukota provinsi. Dampaknya pun
dirasakan di banyak sektor, terutama lingkungan dan ekonomi. Untuk itu perlu
digagas langkah strategis untuk menanggulangi bencana tahunan yang melanda Riau
ini.
Bila mengacu
pada United Nation Development Program (UNDP) yang mendefinisikan bencana
sebagai gangguan yang serius dari berfungsinya suatu masyarakat, yang
menyebabkan kerugian-kerugian besar terhadap lingkungan, material dan manusia,
maka karhutla dapat dikatakan sebagai bencana. Meski, dampaknya tak sebesar
kebakaran hutan di Amerika Serikat dan Australia, yang menelan banyak korban
jiwa.
Respons
pemerintah selama ini masih sebatas ketika terjadi bencana. Untuk itulah,
sebaiknya kondisi
tersebut membuka kesadaran bersama bahwa perlu manajemen strategis untuk
mengatasi karhutla di Riau. Manajemen bencana selama ini terabaikan dan tidak
menjadi prioritas, karena bencana masih dianggap hanya datang sewaktu-waktu.
Berdasarkan pengalaman tersebut, seharusnya pemerintah dan masyarakat memiliki
komitmen membangun kerja sama dalam manajemen bencana melalui komunikasi yang
efektif.
Lemahnya komunikasi penanggulangan bencana terlihat
sekali pada koordinasi dan pengorganisasian. Akibatnya kerap terjadi kelambanan
dalam merespons bencana. Lumpuhnya Bandara Sultan Syarif Kasim II, meningkatnya
penderita ganguan pernafasan, dan rusaknya ribuan hektar lahan akibat karhutla
seharusnya menjadi pelajaran berharga. Padahal masalah tersebut dapat
diminimalisir seandainya koordinasi kesiapsiagaan menghadapi karhutla
dilaksanakan dengan baik. Ramalan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) tentang
potensi kemarau panjang dan deteksi hot spot seharusnya bisa
menjadi dasar untuk membuat konsep manajemen pra bencana.
Manajemen Partisipatif
Dalam penanggulangan karhutla perlu kerja sama dan
koordinasi yang melibatkan semua unsur
di pemerintahan, LSM, masyarakat, bahkan dunia usaha dan perguruan tinggi. Lemahnya
penanggulangan bencana selama ini, terjadi karena lembaga yang berkompeten
menangani bencana masih belum melibatkan partisipasi masyarakat di daerah rawan
karhutla.
Padahal Piagam Kemanusiaan dan Standar Minimum dalam
Respons Bencana (Sphere, 2006) memandang penduduk yang terkena dampak bencana
perlu secara aktif berpartisipasi dalam pengkajian, perancangan, pelaksanaan,
pemantauan dan evaluasi. Untuk itu harus dilakukan upaya khusus memastikan
keikutsertaan perwakilan orang-orang secara seimbang dalam program bantuan,
termasuk kelompok rentan dan kelompok terpinggirkan.
Panduan Umum Penanggulangan
Bencana Berbasis Masyarakat yang diterbitkan IDEP (2006) juga menegaskan bahwa
di daerah rawan bencana seharusnya dibentuk Kelompok Masyarakat Penanggulangan
Bencana (KMPB), yang bertugas membuat perencanaan untuk mengurangi dampak
bencana yang mungkin terjadi di wilayahnya. Dengan partisipasi masyarakat tersebut, jumlah kerusakan dan akibat yang
ditimbulkan dapat diminimalisir.
Bahkan Konferensi Sedunia tentang Pengurangan Bencana yang merumuskan
Kerangka Kerja Hyogo 2005-2005: Membangun Ketahanan Bangsa dan Komunitas
terhadap Bencana (Hyogo Framework for Action 2005-2015: Building the
Resilience of Nations and Communities to Disasters) merekomendasikan
perlunya menggalakkan partisipasi komunitas dalam pengurangan risiko bencana
melalui penegakan kebijakan-kebijakan khusus, penggalangan jejaring,
pengelolaan strategis sumber daya suka rela, pengakuan peran dan tanggungjawab,
dan delegasi serta pembagian kewenangan dan sumber daya yang diperlukan.
Manajemen penanggulangan bencana partisipatif ini
bertujuan untuk menciptakan kesadaran masyarakat terhadap karhutla. Masyarakat
perlu diberi penyuluhan dan pemahaman terhadap faktor-faktor penyebab karhutla
dan risiko yang ditimbulkannya. Sehingga kerusakan dan kerugian yang lebih
besar dapat dicegah sejak dini.
Efektivitas Komunikasi
Komunikasi penanggulangan
karhutla akan efektif bila pemerintah menerapkan manajemen penanggulangan
karhutla yang partisipatif. Melalui kerja sama dan koordinasi tersebut, kebijakan
pemerintah dalam penanggulangan karhutla akan lebih efektif dengan
mengoptimalkan sumberdaya lokal yang tersedia. Sehingga masyarakat tidak hanya
dilihat sebagai obyek penanggulangan karhutla, tetapi mereka juga sebagai
subyek yang bertanggungjawab terhadap potensi karhutla di wilayahnya.
Pengetahuan, sikap dan tindakan
masyarakat terhadap karhutla akan tercipta melalui komunikasi strategis yang
dilakukan pemerintah di daerah rawan karhutla. Hal itu tentunya membutuhkan
kesadaran melihat penanggulangan karhutla sebagai suatu manajemen, bukan
sekadar respons terhadap alam. Perubahan paradigma menghadapi karhutla perlu
segera dilakukan untuk menghindari risiko yang lebih besar.
Saat melakukan riset komunikasi penanganan bencana di
Yogyakarta untuk menyelesaikan tesis dua tahun lalu, penulis melihat pentingnya
peran opinion leader dalam suatu komunitas serta pembentukan
kelompok masyarakat (pokmas) untuk mengurangi risiko bencana. Adanya
simpul-simpul di tingkat masyarakat tersebut terbukti memudahkan proses
penanggulangan bencana. Hal ini barangkali bisa diadopsi untuk menangani
karhutla di Riau.
Untuk itu, ada beberapa hal yang dapat disarankan
untuk meminimalisir karhutla di Riau.Pertama, Pemerintah Provinsi
Riau barangkali perlu membentuk sebuah komisi khusus yang bertugas menangani
karhutla, mulai pencegahan hingga tindakan. Komisi ini beranggotakan perwakilan
dari dinas kehutanan, badan lingkungan, pemadam kebakaran, BMG, TNI/ Polri, LSM,
organisasi pecinta alam, unsur perguruan tinggi, dan lain sebagainya. Komisi
ini bertanggungjawab melakukan upaya kesiapsiagaan karhutla dan merumuskan
strategi penanganannya.
Kedua, perlu dibentuk pokmas penanggulangan karhutla di
tingkat desa/ kelurahan yang rawan. Adanya pokmas dapat mengurangi karhutla
dengan melakukan deteksi dini dan upaya pencegahan di wilayahnya. Pokmas ini
diberi jejaring untuk berkoordinasi dengan komisi penanggulangan karhutla yang
dibentuk oleh pemerintah. Di sini kemudahan arus informasi dan komunikasi
antara pokmas dengan komisi penanggulangan karhutla cukup penting untuk
mengurangi risiko karhutla.
Ketiga, perlunya
ketegasan hukum terhadap pelaku karhutla. Selama ini pelaku sering tidak
terdeteksi karena tidak adanya kepedulian masyarakat terhadap karhutla di
wilayahnya. Dengan adanya pokmas penanggulangan karhutla, diharapkan timbul
kesadaran masyarakat untuk melaporkan bahkan menangkap pelaku karhutla untuk
diserahkan kepada pihak berwajib.
Adanya partisipasi masyarakat ini tentunya akan
mempermudah kerja pemerintah dalam menanggulangi karhutla. Pemerintah dapat menempatkan posisinya sebagai outsider yang
melaksanakan fungsi regulator, fasilitator dan dinamisator. Masyarakatlah yang
kemudian menjadi owner program penanggulangan karhutla. Dengan
kata lain, pemerintah lebih menekankan fungsi perlindungan melalui upaya yang
bersifat top-down, dan pada sisi lain pemberdayaan masyarakat
dilakukan dengan cara bottom-up. ***
No comments
Post a Comment