Breaking News

Ihwal Biografi Sastrawan Riau Modern

(Apresiasi Atas Buku Leksikon Sastra Riau)

Oleh Marhalim Zaini

Betapa pun pakar semiotika Roland Barthes (1915-1980) menggemaungkan, “the death of the author,” saya yakin, kita masih sangat percaya bahwa sosok sastrawan (pengarang) tak dapat dengan mudah “terpisah” dengan karyanya.

Dan tentu, kita juga tahu bahwa Roland Barthes memang tidak sedang hendak “memisahkan” keduanya, meski dia menandaskan tentang “matinya seorang pengarang.” Sebab, makna kematian di sini bukan berarti nama si pengarang serta merta terhapus dari karyanya, menjadi anonim nasibnya, akan tetapi ini soal “makna” yang menguar dari teks karyanya itu. Di titik ini, si pengarang tidak lagi punya “kekuatan” untuk menjangkau makna akhir dari (teks) karyanya. Tak ada otoritas tunggal. Begitu sampai ke tangan pembaca, teks seperti liar tak terkendali, dan “tanda-tanda” bertebaran, memproduksi makna-makna baru. Maka, jika begitu, bukankah yang “hidup” dan terus “lahir” adalah para pembaca?

Lalu, apa kabar si pengarang? Ya, mestinya dia tetap sebagai pengarang, yang terus bekerja melahirkan teks yang baru. Teks yang juga kelak, setelah lahir, akan menempuh perjalanan nasib yang sama. Apakah kemudian teks itu akan diterima dan tumbuh dalam dunia permaknaan pembaca yang beragam dan luas, serta menuai populeritas tersebab berbagai faktor yang membesarkannya, atau ia tersudut di ruang-ruang sunyi dan kehilangan daya hidup (juga oleh tersebab berbagai faktor intrinsik atau ekstrinsik), tentu kita serahkan saja pada waktu. Yang pasti, pengarang tak boleh berhenti dan menyerah oleh “nasib tak baik” yang menimpa karyanya, juga “nasib tak baik” yang juga kerap menimpa diri si pengarang sendiri. Tak beruntung secara ekonomi misalnya, tak pula “dihargai” dalam lingkungan sosial yang masih jauh dari tradisi keberaksaraan, dan sejumlah ketakberuntungan lain yang kerap membuat banyak orang untuk lari dari pilihan menjadi pengarang. Maka kondisi semcam ini pun, pengarang (mestinya) tetap terus saja menyusun jejak-jejak biografisnya (lewat karya-karya) dalam sejarah duniakepenulisan/kesusastraan, sampai ia menemu batas, menemu tetes akhir dari tinta kalamnya.

Jejak. Ya, ihwal merekam jejak inilah yang sesungguhnya terkait dengan hadirnya berbagai buku dalam berbagai bentuk: kamus, leksikon, ensiklopedi, buku pintar, bibliografi, dan entah apa lagi namanya. Ihwal merekam jejak inilah pula yang sedikit-banyak dapat “mengobati” rasa kecil-hati si pengarang, untuk kemudian membantunya meneguhkan eksistensi, baik secara individu maupun komunal. Tapi kenapa jejak? Sebab yang tertulis/tertera di sana adalah sesuatu yang lampau, yang telah terjadi, yang telah dilalui, sebuah sejarah. Maka dalam konteks dunia penciptaan sastra, jejak itu adalah karya. Jejak seorang pengarang adalah karya. Tak pernah ada yang namanya pengarang, sebelum karya lahir. Dan “nilai” dari karya pulalah yang akan membuat jejak perjalanan seorang pengarang menjadi penting atau tidak, menjadi bernilai atau sekedar tercatat namanya.

Selain itu, tak dapat dinafikan bahwa kehadiran buku-buku sejenis ini adalah referensi penting bagi para peneliti sastra, terutama yang hendak mendekati kajian melalui struktural genetik, psikologi sastra, sosiologi sastra, dan beberapa pendekatan lain. Studi tentang tokoh sastra pun secara historis, sudah sangat banyak dilakukan para sejarawan bahkan sejak era Yunani Kuno. Dan aspek biografi, menjadi tak terhindarkan hadir sebagai salah satu sumber utama mereka. Artinya, lewat studi inilah kelak sebuah buku sejenis ini diuji, apakah nama-nama yang tercantum di dalamnya representatif atau tidak, sudah patut dicatat atau belum.

Cukup banyak, buku yang mencoba merekam jejak dunia kesusastraan kita di Indonesia. Pamusuk Eneste saja setidaknya telah menyusun dua buku sejenis, Leksikon Susastra Indonesia (Balai Pustaka, 2000), dan Buku Pintar Sastra Indonesia (Kompas, 2001). Berikutnya Hasanuddin WS dengan buku Ensiklopedia Sastra Indonesia (Titian Bandung, 2004). Jauh sebelumnya, di tahun 1989, seorang dosen dari University of London, Ernest Ullich Krastz, juga telah menyusun Bibliografi Karya Sastra Indonesia, spesifikasi tentang naskah drama, prosa, dan puisi yang terbit di majalah di tahun 1920-1980. Belum lagi yang ruang lingkupnya lebih kedaerahan, seperti Leksikon Sastra Jakarta, Leksikon Sastra Aceh, dan termasuklah di Riau yang kini telah hadir buku Leksikon Sastra Riau, selain juga di dunia maya yang sedang dikerjakan oleh Sutrianto dengan tajuk Pusat Dokumentasi Sastra Melayu Riau. Apapun bentuk dan namanya, saya kira, pencinta sastra Riau khususnya, patut menyambut baik berbagai upaya untuk pengembangan dan pergerakan sastra di negeri ini.

Leksikon Sastra Riau yang disusun oleh Husnu Abadi dan M Badri (diterbitkan oleh BKKI Riau dan UIR Press, Januari 2009) adalah juga sebuah jejak. Karena dalam buku setebal 154 halaman ini terkandung biografi 173 sastrawan. Jika mendasarkan diri pada isi kandungan buku ini (yang hanya berisi biografi sastrawan) maka andai boleh saya memberi usul, ihwal penyebutan judul buku, hemat saya lebih terwakili jika diubah menjadi Leksikon Sastrawan Riau Modern. Kata “sastrawan” di sana jelas merujuk kepada individu pengarangnya, yang memang nampaknya menjadi fokus dalam penyusunan leksikon ini. Sebab, jika dipakai kata “sastra” maka mestinya yang terkandung di dalamnya tak hanya biografi sastrawannya, akan tetapi berbagai hal-ihwal yang terkait dengan dunia sastra di Riau secara lebih luas.


Semisal yang dapat kita tengok dalam buku yang disusun Pamusuk Eneste di atas. Dalam Leksikon Susastra Indonesia, selain biografi sastrawan juga tercantum berbagai majalah sastra dan penerbit sastra. Agaknya, untuk lebih spesifik lagi, dalam Buku Pintar Sastra Indonesia, Pamusuk membagi dalam sejumlah sub: Biografi Pengarang dan Karyanya, Majalah Sastra, Penerbit Sastra, Penerjemah, Lembaga Sastra, sampai pada Daftar Hadiah dan Penghargaan. Sementara itu, untuk kata “modern” sebenarnya hanya memberi garis pembatas dan wilayah kerja penyusunan buku ini, sebab memang lebih terfokus pada sastrawan Riau modern, tak termasuk para pengarang klasik macam Raja Ali Haji, Raja Zaleha, dan yang lain-lain lagi.

Saya percaya, sebagai sebuah awal dari kerja yang sebetulnya tak bisa dikatakan mudah, Leksikon Sastra Riau (selanjutnya disingkat LSR) ini, tentu saja memiliki sejumlah kelemahan. Tidak mudah, karena tak semua penyuka sastra yang mau dengan rajin mengungkai satu persatu riwayat hidup sastrawan dan karyanya. Kerja semacam ini, sesungguhnya lebih pada kerja “pengabdian” terhadap dunia sastra. Kerja yang lebih didasari dari betapa pentingnya mencatat dan mengumpulkan proses kreativitas di dunia sastra. Jika pun kemudian terdapat kelemahan, ia adalah jalan menuju “kesempurnaan” (meski tak ada yang betul-betul sempurna di dunia ini). Lima tahun terkahir misalnya, saya juga telah turut melakukan kerja semacam itu, dengan mengkliping (hampir) semua karya penulis Riau yang termuat di media massa dan buku. Selain untuk dokumentasi, saya sangat membutuhkannya untuk dapat melakukan pembacaan atas pergerakan sastra yang terjadi dari tahun ke tahun. Setidaknya, tiap akhir tahun (sejak 2005-2008) saya berupaya untuk menulis “Catatan Sastra Riau.” Maka, harapan terbesar kita terhadap hadirnya LSR tentu dalam proses kerja-kerja berikutnya, bisa menjadi salah satu data dan dokumen representatif dan komprehensif tentang dunia sastra (di) Riau.

Untuk berupaya ikut mendukung terwujudnya harapan itu, di sini saya hendak mendiskusikan sejumlah hal. Selain, judul buku yang sudah saya ulas di atas, hal lain yang hemat saya patut dipertimbangkan adalah tentang penjelasan-penjelasan yang lebih “akademis” (di samping soal rujukan yang sudah disarankan dalam esai Musa Ismail di Harian Riau Pos, beberapa waktu lalu) dan lebih argumentatif tentang berbagai aspek metode yang dipakai penyusun dalam mengerjakan buku ini. Penjelasan itu tentu diharapkan tertera pada pengantar buku, sehingga pembaca dapat merujuknya ketika menemukan sejumlah hal yang “mengganggu.” Nah, pengantar yang saya temukan dalam buku LSR ini, hemat saya belum memadai untuk dapat menjawab beberapa hal yang “mengganggu” itu.

Di antaranya soal selektivitas nama-nama yang masuk dalam LSR. Bagaimanakah sebenarnya metode (atau semacam standarisasi) yang dipakai penyusun untuk memilih dan juga memilah nama-nama yang masuk dalam daftar inventarisasi (daftar pendataan awal). Jika memang tujuannya “sekedar” bersifat dokumentatif, semata-mata hendak mengumpulkan semua yang “pernah” menulis sastra, meski hanya satu-dua karya, maka buku ini pun akan berhenti pada setakat titik itu. Kegelisahan awal penyusun—yang sempat diutarakan dalam pengantar buku ini—memberi kesan pada saya bahwa sebab utama buku LSR disusun adalah lebih pada karena tidak banyak ditemukannya nama-nama sastrawan Riau dalam berbagai buku sejenis. Saya kira, boleh jadi kerisauan ini juga menjadi kerisauan kita semua. Namun, andai saja, penyusun dapat menjelaskan satu atau dua nama yang dimaksud (yang tidak masuk dalam buku sejenis), dengan sejumlah data yang ada, maka ini tentu dapat membantu menyempurnakan buku yang disusun oleh Hasanuddin, maupun Pamusuk. Sebab, seturut Husnu Abadi, saya meyakini bahwa para penyusun buku sejenis, tampaknya memang tidak maksimal menjangkau “titik-titik penyebaran informasi.”

Agaknya, tidak banyaknya nama-nama sastrawan Riau masuk dalam buku sejenis itulah yang kemudian mendasari dan memotivasi penyusun buku LSR untuk juga menyertakan sejumlah nama yang menurut saya “mengganggu,” sehingga proses selektivitas menjadi terkesan lemah.

Misalnya, penjelasan biografis atas nama Qori Islami (hal. 78), yang lebih menunjukkan bahwa ia adalah seorang pembaca puisi, tanpa menyertakan satu pun judul karya, membuat nama itu tak representatif untuk masuk, meski telah melakukan pembacaan puisi sampai ke luar negeri. Contoh lain, nama Asori (tertulis di LSR, sementara dalam buku antologi puisi & cerpen pemenang lomba DKR, 1994 tertulis Nasori) dan nama Ruswanto (hal. 83) terdapat kesamaan kalimat biografi, yang membedakan hanya satu karya mereka masing-masing. Hal ini, saya kira, juga membuat pembacaan kita atas pengarang tersebut sangat terbatas, dan belum memadai untuk dapat disertakan dalam sebuah leksikon. Contoh lain, pada nama Saidat Dahlan (hal. 85), tak ada contoh karya sastra yang disebut di sana.

Menjadi juri lomba penulisan sastra, saya kira, tak serta merta dapat memberi kategori sastrawan atas tokoh tersebut. Selain itu, agaknya penting juga membuat klasifikasi menjadi “Kritikus Sastra Riau” misalnya pada sejumlah nama yang tertera dalam LSR ini, seperti UU Hamidy, Muchtar Ahmad, dan beberapa nama lain.

Selektivitas juga terkait tentang penjelasan apakah sastrawan yang tertera dalam LSR dapat disebut sebagai “sastrawan Riau.” Penyusun memang telah memberi penjelasan prihal ini dalam pengantar, dengan kategori: lahir di Riau, atau tinggal di Riau, atau yang pernah mengenyam aura negeri Riau dengan bertempat tinggal beberapa masa di Riau. Pada prinsipnya, saya turut sepakat dengan kategori tersebut. Meskipun, harus juga dilihat apakah sastrawan tersebut juga melakukan proses menulis di Riau, dan ikut “mengalami” pergerakan sastra (di) Riau. Nama Sariamin Ismail (hal. 87) misalnya, dari keterangan biografinya, agak ragu bagi kita apakah ia bisa dikatakan sebagai sastrawan Riau.

Sementara ia lahir di Pasaman, jadi guru di Bengkulu dan Bukittinggi. Keterangan bahwa “terakhir bermukim di Pekanbaru, dan punya kegemaran memelihara bunga” tak dapat menunjukkan indikasi yang akurat dan kuat bahwa ia dapat dikatakan sebagai sastrawan Riau. Meskipun misalnya banyak orang dari generasi Sariamin mengatakan bahwa ia memang benar sastrawan Riau, tapi jika merujuk ke buku LSR, pernyataan itu sulit dibenarkan.

Selain Sariamin, ada nama Aldian Arifin (hal. 6), yang bagi saya, juga sulit untuk mengindikasikan bahwa ia adalah sastrawan Riau. Terutama karena sejumlah data utama menunjukkan ia lebih cenderung ke Sumatera Utara. Selain itu, hemat saya, penting juga bagi penyusun untuk memberi penjelasan lebih kuat tentang kenapa para sastrawan dari Kepulauan Riau juga masuk dalam buku ini.

Saya kira, terlepas dari berbagai tema diskusi yang saya suguhkan di atas, saya hendak mengapresiasi bahwa boleh jadi penyusun buku LSR ini sedang hendak memperlihatkan panorama (atau mungkin dinamika) perkembangan sastra Riau itu. Jika kita semua yakin bahwa mereka yang tercatat dalam LSR ini adalah para sastrawan Riau, maka hari ini, saat ini, kita patut berbangga sekaligus bersedih. Kenapa? Bangga karena rupanya demikian ramai sastrawan kita, demikian semarak dunia sastra kita. Bersedih, karena kita harus bertanya, di manakah (karya-karya) sebagian dari mereka kini?***


SPN Marhalim Zaini, SSn, menulis dalam berbagai genre. Sepuluh bukunya telah terbit. Sejumlah sajaknya telah diterjemahkan ke bahasa Inggris dan Portugal. Terpilih sebagai 100 Puisi Indonesia Terbaik 2008 dan 60 Puisi Indonesia Terbaik 2009 oleh Anugerah Pena Kencana. Diundang baca karya pada International Literary Biennale 2005 dan Ubud Writers and Readers Faetival 2007. Kini berkhidmat sebagai Kepala Sekolah Menulis Paragraf.


Sumber: Riau Pos, 6 Desember 2009

No comments