Kebangkitan Nasional dan Kebangkitan Lokal
Tanggal 20 Mei 1908 lalu, berdiri sebuah organisasi bernama Boedi Oetomo, yang merupakan perkumpulan kaum muda berpendidikan yang peduli terhadap nasib bangsa. Hari itu pun dikenang sebagai hari bersejarah yang sarat simbol patriotisme kaum intelektual melawan hegemoni kolonialisme. Pada masa itu, bangkit kesadaran kesatuan kebangsaan kaum terpelajar untuk menentang penjajahan Belanda yang telah berabad-abad lamanya berlangsung di tanah air. Karena dinilai sebagai cikal bakal kebangkitan nasional bangsa Indonesia, maka tanggal 20 Mei dijadikan sebagai Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas).
Boedi Oetomo tidak hanya membangkitkan nasionalisme di Hindia Belanda, tetapi pengaruhnya mencapai Asia Tenggara dan bahkan Asia secara umum. Sebab nasionalisme dipandang sejarawan Dr SarDesai dari Universitas California sebagai elemen tunggal paling kuat, dinamik, menggugah yang telah mengubah konfigurasi politik Asia dan Afrika pada abad ke-20. Nasionalisme merupakan respons atas ekspolitasi politik dan ekonomi atas pihak yang diperintah (Kompas, 12 Mei 2008).
Kini setelah lebih 100 tahun, Harkitnas tetap diperingati meskipun sebatas seremonial. Makna kebangkitan nasional tidak lagi menjadi “jiwa” yang sakral. Kalau dulu kebangkitan nasional muncul karena adanya kesadaran bersama melawan tekanan kolonialisme pihak asing, kini ketika tekanan tersebut dalam bentuk hegemoni kapitalisme global, semangat itu tidak muncul lagi. Padahal efek yang ditimbulkan oleh kapitalisme global tidak kalah dahsyat dengan kolonialisme. Kolonialis ekonomi yang menerobos batas-batas ekonomi dan politik Indonesia, kini menjadi ancaman serius bagi kedaulatan bangsa.
Tidak salah kalau banyak pihak menilai makna kebangkitan nasional dari tahun ke tahun semakin luntur. Terlebih bila dikaitkan dengan otonomi daerah, yang dalam tataran praktis cenderung kepada otonomi kedaerahan. Pendapat ini muncul setelah melihat kecenderungan masyarakat untuk kembali pada sifat kedaerahannya. Otonomi daerah seyogianya memunculkan “kebangkitan lokal” untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan yang menyejahterakan rakyat. Bukan justru memunculkan “raja-raja kecil” yang saling bersaing memperkaya diri sendiri, sementara masyarakatnya masih melarat dan terbelakang.
Melihat awal kebangkitan nasional yang didasari rasa keprihatinan terhadap kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan, seharusnya pemerintah daerah terinspirasi semangat tersebut. Dulu, Belanda yang menelantarkan bangsa Indonesia, dengan membiarkan rakyat bodoh, melarat dan menderita. Kemudian setelah Indonesia merdeka, giliran pemerintahan sentralistik yang sering menelantarkan pembangunan di daerah. Setelah kran otonomi daerah dibuka, kebangkitan lokal yang diharapkan masih belum begitu terlihat. Padahal dulu, kebangkitan nasional muncul karena kesadaran bersama, bukan pemberian pemerintah kolonial Belanda.
KRR sampai Fornas Otsus
Berdasarkan kerangka dasar kebangkitan nasional bangsa Indonesia, penulis mencoba melihat kebangkitan lokal masyarakat Riau. Dalam catatan sejarah Riau, masyarakat Riau (termasuk Kepulauan Riau) pernah melaksanakan kongres tahun 1956 yang disebut Kongres Rakyat Riau (KRR) I. Kongres tersebut merupakan wujud kebangkitan lokal masyarakat Riau yang pada masa itu masih menjadi bagian dari Sumatera Tengah, berupa Karesidenan Riau dengan wilayah meliputi Kampar, Indragiri, Bengkalis, dan Kepulauan Riau. Kongres tersebut kemudian menghasilkan keputusan secara musyawarah, bahwa Riau harus dipisahkan dari Sumatera Tengah untuk kemudian menjadi provinsi yang berdiri sendiri.
Setelah melalui perjuangan panjang selama enam tahun, maka terbentuklah Provinsi Riau. Dengan terbentuknya Provinsi Riau, para tokoh yang memperjuangkannya berharap provinsi ini dapat lebih menyejahterakan masyarakatnya. Sebab Riau dikenal sebagai daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah, baik sektor pertambangan terutama minyak bumi, maupun sektor lain seperti kehutanan dan kelautan. Asumsi hukum alam, “negeri kaya rakyatnya sejahtera” ternyata hingga puluhan tahun kemudian tidak terbukti.
Kekayaan Riau yang dibesar-besarkan ternyata hanya sebatas kebanggaan semu. Nyatanya sumber daya alam yang melimpah tersebut setelah dieksploitasi hanya sedikit yang kembali ke daerah. Riau terkenal sebagai penyumbang devisa negara terbesar dari sektor migas, namun kenyataannya persentase kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan infrastruktur juga cukup besar. Kebijakan pemerintahan yang sentralistik menyebabkan posisi tawar pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya alamnya sangat rendah. Ironis memang, dibalik kebesaran suatu daerah terdapat catatan panjang tentang keterbelakangan.
Puluhan tahun mengalami perlakuan yang tidak adil, menyebabkan masyarakat Riau memendam “kemarahan”. Kondisi ini menumbuhkan semangat kebangkitan lokal yang pernah berhasil menjadikan Riau sebagai provinsi melalui KRR I. Terlebih, reformasi 1998 membuka jalan bagi daerah untuk “memberontak” terhadap kesewenang-wenangan pemerintah pusat. Tidak terkecuali Riau, dua tahun setelah reformasi masyarakat mengadakan KRR II yang kemudian memilih opsi merdeka. Opsi tersebut mengalahkan opsi lainnya yaitu federal dan otonomi. Opsi merdeka terlihat sebagai titik puncak kejenuhan masyarakat Riau terhadap kondisi daerah yang memprihatinkan dari sisi ekonomi, pendidikan, budaya maupun politik.
Namun setelah satu dekade berlalu, kekuatan hasil dari KRR II masih belum terlihat. Berbagai rekomendasi yang dihasilkan hanya sebagian yang mencapai target. Kenapa efek kebangkitan lokal dalam KRR II tidak seperti KRR I? Banyak hal mungkin yang menjadi faktor, pertama, belum adanya kesatuan pandangan antartokoh yang terlibat dalam kongres. Hal ini tercermin dengan belum adanya kesatuan opsi untuk menentukan masa depan Riau. Berbeda dengan kondisi KRR I yang menghasilkan kebulatan tekad untuk membentuk Provinsi Riau.
Kedua, keputusan yang dihasilkan melalui voting cenderung emosional akibat tekanan politik sentralistik selama orde baru. Keputusan yang diambil tanpa strategi dan kajian mendalam, terutama melihat kekuatan faktor internal (sumberdaya politik lokal) dan faktor eksternal (politik luar negeri) tidak mempunyai posisi tawar yang kuat. Sehingga, opsi dalam kongres hanya dapat menggelitik pemerintah pusat. Seharusnya, opsi yang dihasilkan memiliki posisi tawar yang tinggi untuk setidaknya mendapat status otonomi khusus.
Ketiga, masih lemahnya komunikasi politik pejabat pemerintah daerah terhadap pusat. Lemahnya komunikasi politik pemimpin daerah antara lain disebabkan sentralitas partai politik. Sebab, hingga saat ini pemimpin daerah merupakan bagian dari partai politik yang kepemimpinannya secara nasional berada di tingkat pusat. Kondisi ini memungkinkan terjadinya intervensi pimpinan pusat partai politik yang umumnya juga menjabat di pemerintahan. Selain itu, gencarnya pemerintah pusat memberikan reward dalam bentuk berbagai penghargaan yang bersifat seremonial berpotensi mengurangi kekritisan pemimpin daerah.
Selain disebabkan ketiga hal di atas, munculnya “kebangkitan lokal” dalam wilayah lokal sendiri, otomatis melemahkan posisi tawar pemerintah daerah. Sebagai contoh, Kepulauan Riau yang dulu menjadi bagian Provinsi Riau, masyarakatnya kemudian menuntut pembentukan provinsi sendiri. Hal itu antara lain disebabkan kurangnya perhatian pemerintah provinsi terhadap kepulauan tersebut. Kondisi seperti ini persis seperti era kebangkitan nasional, karena ketidakpuasan pribumi terhadap kolonial. Juga semangat KRR karena ketidakpuasan masyarakat Riau terhadap pemerintah pusat.
Ketidakpuasan masyarakat terhadap penyelenggara pemerintahan kemudian memunculkan kebangkitan-kebangkitan lokal lainnya. Contoh lain, munculnya wacana pembentukan Provinsi Riau Pesisir, karena selama ini dari segi pembangunan mereka merasa sering diabaikan pemerintah Provinsi Riau. Bahkan hingga tingkat kabupaten, kelompok masyarakat yang tidak puas kemudian menyerukan kebangkitan lokal untuk membentuk kabupaten sendiri. Kondisi seperti ini akan terus terjadi selama penyelenggara pemerintahan, baik pusat maupun daerah, tidak adil dalam melakukan pembangunan.
Lahirnya Forum Nasional Otonomi Khusus (Fornas Otsus) Riau sebenarnya merupakan era baru “kebangkitan lokal” masyarakat Riau. Melalui Fornas Otsus setidaknya masyarakat Riau berusaha membangkitkan kembali semangat untuk memperbaiki kondisi daerah. Aspek budaya kemudian menjadi isu penting yang diperjuangkan, selain pengelolaan sumber daya alam. Hal itu antara lain untuk meningkatkan kapasitas masyarakat baik dari segi budaya, ekonomi, pendidikan, maupun infrastruktur. Masyarakat kemudian berharap Fornas Otsus ke depan mampu membangkitkan marwah Riau. Namun bagaimana kabar Fornas Otsus kini?
Melihat dimensi “kebangkitan nasional” dan “kebangkitan lokal” di atas, barangkali dapat ditarik benang merah bahwa dua hal tersebut bisa menjadi suatu kesatuan yang sinergis maupun kontrapoduktif. Bersinergi bila kebangkitan lokal bertujuan membangkitkan kapasitas daerah dalam pembangunan untuk menyejahterakan rakyat. Kebangkitan lokal sebenarnya merupakan landasan dasar untuk melahirkan kebangkitan nasional (kembali), terutama dalam membangun bangsa dan negara agar sejajar dalam dunia global dan memiliki posisi tawar secara geoekonomi maupun geopolitik. Namun kebangkitan lokal akan kontrapoduktif bila hanya menciptakan sentimen kedaerahan, kepentingan kelompok, dan kepentingan elit politik. Bukan merupakan kebangkitan bersama masyarakat suatu daerah untuk membangun daerah tersebut agar kehidupan masyarakatnya lebih baik. (*)
M Badri. Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FDIK UIN Suska Riau. Tulisan ini dimuat di Harian Riau, Selasa (30/Mei/2011).
No comments
Post a Comment