Breaking News

Jurnalisme Ramah Bencana

Bencana alam tsunami di Kepulauan Mentawai yang disusul letusan Gunung Merapi selama beberapa hari menjadi headline media massa. Media pun berlomba-lomba menyajikan berita sedahsyat mungkin, dengan mengedepankan data korban jiwa dan kerusakan yang diakibatkannya. Lengkap dengan gambar-gambar bernilai human interest yang menggugah nurani pembaca dan pemirsa untuk berempati. Di balik niat mulia jurnalis untuk menginformasikan korban bencana kepada khalayak, kadang tanpa sadar malah mengakibatkan bencana kedua kepada para korban.
Sebagai contoh terbaru, kerja jurnalisme ala infotainment “Silet” yang ditayangkan salah satu stasiun swasta. Dimana akibat proses kerja jurnalisme yang dangkal dan cenderung sensasional, malah menciptakan kecemasan pada publik di lokasi bencana. Sehingga publik yang sedang dirundung kemalangan, semakin dilanda kepanikan dan ketakutan akibat produk jurnalisme “isu” yang tidak jelas kebenarannya.
Wajar bila publik geram dengan “Silet” yang memperkeruh suasana dalam kondisi bencana. Bahkan di laman jejaring sosial Facebook sudah muncul grup “Hentikan Tayangan Infotainment SILET Sekarang Juga !!!” yang anggotanya mencapai ribuan. Penggunaan narasi yang bombastis dengan bumbu mistis, serta minus data dan fakta sangat kontraproduktif dengan nilai-nilai jurnalisme. Karena kerja jurnalisme jelas-jelas merupakan pengumpulan data dan fakta. Melihat kasus tersebut, barangkali pihak-pihak yang menempatkan infotainment sebagai karya jurnalistik perlu berpikir ulang dengan statement tersebut.
Dalam kondisi bencana, jurnalis harus melihat korban sebagai subjek. Bukan sebagai objek yang dieksploitasi untuk menghasilkan good news. Sebagai gatekeeper, jurnalis harus memiliki naluri untuk mengemas berita berdasarkan data dan fakta yang memiliki kredibilitas sebelum disampaikan kepada khalayak. Di sini, jurnalis perlu memiliki empati dan menulis dengan sudut pandang korban untuk berbicara dengan khalayak. Dengan demikian produk jurnalisme yang disajikan mewakili realitas dan terhindar dari eksploitasi untuk kepentingan komersial berita semata.
Untuk menghasilkan karya jurnalistik berbobot, jurnalis memang dituntut untuk berpeluh. Bukan sekadar melihat permukaan peristiwa lalu menuliskannya secara bombastis. Menulis dari kedalaman peristiwa memang menjadi kunci utama untuk menghasilkan karya jurnalisme yang padat data dan fakta. Hal itu jugalah yang mengantar ProPublica, sebuah media online non-profit mendapatkan penghargaan bergengsi Pulitzer tahun ini.
Lewat tulisan investigatif berjudul “The Deadly Choices at Memorial”, yang dipublikasikan pada 27 Agustus 2009, reporter  ProPublica bernama Sheri Fink mengungkap kebijakan rumah sakit di Amerika Serikat dalam menangani pasien musibah badai Katrina, yang menyebabkan kematian-kematian tidak wajar. Dengan menyelam di kedalaman peristiwa, ia mendapatkan pengakuan dari beberapa dokter rumah sakit New Orleans yang menyatakan bahwa mereka secara tak sengaja telah menginjeksi para korban dengan dosis morfin yang mematikan. Berkat tulisan tersebut, pemerintah setempat kemudian mengatur kembali panduan penanganan kesehatan saat terjadi peristiwa darurat di tengah keterbatasan peralatan kesehatan.
Model peliputan tersebut tentu juga diharapkan ada pada pemberitaan bencana di Tanah Air. Karena sebagaimana diungkapkan antropolog Clifford Geertz, pekerjaan jurnalis berdekatan dengan pekerjaan peneliti. Dimana, jurnalis juga mengkonstruksi realitas sosial menjadi teks yang mengandung informasi. Sehingga penting bagi jurnalis untuk tidak sekadar memberitakan suatu peristiwa. Tetapi sebagaimana seorang peneliti, jurnalis juga harus mampu menggambarkan secara detail data dan fakta ketika peristiwa itu berlangsung.
Karena itulah, media massa seyogianya tidak sekadar memberitakan peristiwa yang hanya terlihat di permukaan. Tetapi juga melihat sebab-akibat dari realitas suatu peristiwa. Apalagi dalam kondisi bencana, sensitifitas korban sangat tinggi. Sehingga diharapkan berita yang sampai ke khalayak tidak malah menyebabkan chaos. Tapi publik tentunya berharap berita informatif yang dapat mengurangi tekanan psikologis dan mengajak mereka berpikir jernih dalam kondisi bencana.
Fakta Versus Hiperbola
Jurnalis dalam penyusunan berita kerap dihadapkan pada dua konstruksi, fakta dan hiperbola. Apalagi di tengah persaingan konten media, berita yang sehebat-hebatnya menjadi tuntutan utama. Sehingga jurnalis kadang melebih-lebihnya fakta dalam meliput bencana. Contoh nyata yang sering terjadi adalah pemberitaan jumlah korban. Nyaris setiap media pada fase awal pasca bencana menginformasikan jumlah korban yang berbeda. Tidak sedikit media, terutama yang berlomba-lomba menayangkan live report atau update report menyebut jumlah korban secara berlebihan. Seolah mendahului takdir Tuhan dalam menyampaikan angka kematian.
Hiperbola berikutnya terjadi saat memvisualisasikan kerusakan. Media terutama televisi kerap mengambil gambaran yang kurang pas dengan nilai-nilai “code of conduct” kemanusiaan. Dimana pada salah satu poin aturan main kegiatan bantuan kemanusiaan itu sebutkan bahwa dalam kegiatan informasi, publikasi dan promosi, harus memandang korban sebagai manusia yang bermartabat. Dimana dalam publikasi, tidak hanya menonjolkan tingkat penderitaan korban bencana, tetapi juga perlu menonjolkan upaya/ kapasitas masyarakat dalam mengatasi penderitaan mereka.
Di sebuah milis, seorang aktivis penanganan bencana menyampaikan keprihatinannya terhadap perilaku televisi yang menayangkan hal-hal kurang pantas. Sebut saja televisi yang berlomba menunjukkan mayat-mayat dengan “telanjang” tanpa sensor, yang sangat tidak menghargai nilai kemanusiaan. Puncaknya adalah ketika evakuasi Mbah Maridjan, dengan sangat tidak bermartabat, mempertontonkan tubuhnya untuk komoditas pendongkrak rating media.
Kalau diamati, siaran televisi saat terjadi bencana memang diarahkan untuk menjadi semacam reality show. Sementara kebutuhan nyata korban bencana di pengungsian kurang mendapat sorotan. Sehingga realitas kehidupan pengungsi tidak banyak yang diketahui publik. Hal itu juga yang menyebabkan terhambatnya proses penanganan bencana. Padahal fokus utama penanganan bencana adalah penyelamatan korban yang masih hidup.
Dalam pandangan penulis yang pernah melakukan riset penanganan bencana, ada tiga hal yang perlu dipahami oleh jurnalis dalam meliput bencana. Pertama, pada fase pengurangan risiko pra bencana, media berperan menginformasikan upaya mitigasi dan kesiapan menghadapi bencana. Di sini media perlu menginformasikan berbagai tindakan preventif untuk meminimalisir dampak negatif bencana yang akan terjadi. Informasi berkaitan dengan mitigasi ini harus berdasarkan data dan fakta yang disusun dari sumber-sumber ilmiah yang diakui keberadaannya. Bukan sumber-sumber berbau klenik atau mistis yang berdasarkan ramalan belaka.
Kedua, pada masa tanggap darurat peliputan sebaiknya lebih ditekankan pada upaya untuk mendukung informasi berkaitan dengan penyelamatan jiwa dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat korban bencana. Misalnya menggali fakta kecukupan pangan, sandang, tempat tinggal sementara, perlindungan, kesehatan, sanitasi dan air bersih bagi pengungsi.
Ketiga, pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi media berperan menginformasikan dan mengawasi pemulihan standar pelayanan minimum seperti pelayanan publik, pelayanan sosial dasar, prasarana dan sarana dasar, pemulihan fasilitas perekonomian, pembangunan kembali perumahan, rehabilitasi mental, dan pembangunan kembali seluruh sistem yang ada dalam masyarakat.
Dengan melihat korban bencana sebagai subjek, jurnalis diharapkan memaparkan fakta dengan bijak dan tidak menjadikan bencana sebagai komoditas berita semata. Sehingga bencana diekspos dengan lebih ramah untuk tujuan kemanusiaan. Bukan melihat bencana sebagai azab yang harus diberitakan secara bombastis dan hiperbola. (*)
M Badri MSi. Penulis adalah Chief Editor RiauBisnis.com, pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pekanbaru dan pengajar di beberapa perguruan tinggi. Tulisan ini dipublikasikan di Riau Pos, Kamis (11/11/2010).

No comments