Grafiti Bukit Puisi, Grafiti Kelaraan yang Ekspresif
Oleh Musa Ismail
Grafiti Bukit Puisi (selanjutnya saya singkat GBP) merupakan
buku kumpulan puisi sastrawan Riau, M Badri. Kumpulan puisi ini memuat 116
puisi yang tersusun dari 2012 hingga 2002. Oleh Yayasan Sagang, GBP terpilih
sebagai Pemenang Buku Pilihan Anugerah Sagang 2012. Dalam Catatan Kecil buku
tersebut, Badri mengakui bahwa langkah kepenyairannya dimulai sejak peluncuran
cybersastra.net pada medio 2001. ‘’Di ruang sastra cyber itu, saya belajar
menulis, berdialektika, termasuk belajar menerima makian dan pujian. Sastra
cyber.’’ Namun, penyair yang juga dosen di beberapa perguruan tinggi di Riau
ini tidak menafikan peranan koran. Badri tidak melupakan sastra koran karena
media itulah yang justru membesarkannya.
Sebagai penyair yang menetap dan aktif di Riau sejak usia lima tahun, karya-karyanya tentu pula mencatat situasi Riau. Dalam kepenyairannya, Badri yang lahir di Blitar, 13 Maret 1981, tercatat memperoleh berbagai prestasi, baik tingkat provinsi maupun nasional. Bahkan, beberapa puisinya diterjemahkan penyair Myanmar, Maung Pyiyt Min, dan diterbitkan di majalah Mandalay Icon di Myanmar.
Kesan utama ketika penulis melayari puisi-puisi dalam GBP adalah pengungkapan yang ekspresif. Pengungkapan tersebut sangat puitis dan terkadang mengajuk resa dan rasa untuk membaca lebih intensif. Pengajukan resa dan rasa yang disuguhkan Badri dalam puisi-puisinya tentu saja terlahir dari suatu kesadaran jiwa yang empiris. Fenomena memesis (di luar diri penyair) dan diagesis (di dalam diri penyair) sangat tergambar melalui pengungkapan ekspresif dalam GBP. Tentu saja Badri telah melalui proses panjang tentang pengalaman dirinya yang tersaji dalam pemadatan diksi yang estetis.
Puisi merupakan hasil pemahaman mikrokosmos dan makrokosmos yang memiliki komposisi suprasegmental yang unik. Keunikan itu bisa kita kaji dari berbagai unsur yang membentuknya, baik unsur lahir maupun batin. Puisi GBP merupakan pengungkapan akulirik yang memadukan pemahama mikro- dan makrokosmos.‘’Aku lupa mematri namaku di bukit-bukit itu/sebuah kolase, namamu juga/dan arca-arca yang kita bawa sebagai pelengkap minum kopi/menjadi begitu berlumut di batu-batu/di sungai yang mengalir dari liang tubuh kita/jembatan itu, di bawahnya anak-anak memetik buih’’//.
Bait pertama puisi ini menjelaskan kealpaan akulirik (diri manusia) dalam upaya memuliakan nama (diri). Kealpaan pemuliaan diri ini bisa pula berkaitan dengan hubungan dengan ketuhanan. Karena kealpaan itu, diri manusia seperti arca-arca yang berlumut, patung-patung yang penuh kenistaan. Aspek perbandingan mikro- dan makrokosmos ini jelas sekali dalam diksi, yaitu diri dan arca, di sungai dan liang tubuh kita, jembatan itu dan anak-anak. Permainan perbandingan ini sangat sufistik. Larik terakhir bait pertama juga mencerminkan ketidakseimbangan dengan membandingkan suatu kemegahan (jembatan) dan kelaraan melalui simbolisasi anak-anak memetik buih, memanen suatu yang hampa.
Pada bait kedua, Badri masih melukiskan ekspresi dari bait pertama. ‘’Mungkin seseorang telah membacanya/entah kapan, di kafe, gazebo/dan lorong-lorong tempat kita melukis/atau menulis tanda. sebab di tanganku,/tidak ada kata yang bisa menandai/jalan hidupku, di bukit itu, sampai ke hulu’’. Larik-larik bait kedua mendeskripsikan seorang tokoh yang mungkin membaca, memahami, dan mendalami kebijaksanaan hidup. Namun, pemahaman terhadap nilai kehidupan itu tidak pasti, entah kapan, dan dari suatu tempat yang mencerminkan kekurangpedulian, santai, rileks, di kafe, gazebo, atau kelaraan, di lorong-lorong. Larik terakhir merupakan penegasan bahwa Akulirik tetap berada dalam kealpaan, kelaraan, kekosongan dalam pemuliaan diri. Kelaraan yang ekspresif itu terangkum dalam bait ketiga. ‘’Sampai akhirnya, puisi itu juga/memenjarakan kita sepanjang ngarai/hingga lupa berapa kata yang tumbuh dan berlipat/di gubuk-gubuk tua, tempat kita biasa singgah/sekadar mengabadikan resah’’. Kehidupan yang lalai mencari kemuliaan bagai rangkaian puisi yang menggambarkan keresahan, kegalauan.
Kisah kelaraan rakyat (Riau) dalam GBP juga bisa kita temukan pada beberapa puisi. Dalam Sajak Petani, Badri mencurahkan air mata petani. Lukisan lumbung padi petani yang diairi dengan air mata, cangkul yang berkarat, hama-hama yang bersarang di hati tuan, dan impor beras. Petani tetap saja berada dalam kemiskinan. Puisi berjudul ‘’Lalu Lambung Pun Membusung’’, merupakan tajuk kelaraan, kelaparan, tentang rakyat yang masih terasing di negeri sendiri, disekap kemiskinan yang belum berujung. Puisi ‘’Ke Muara Mengayuh Cinta’’, mengisahkan senandika kepedihan rakyat Riau, dari sungai hingga hutan. Kepedihan dahsyat itu terangkum dahsyat pula dalam bait terakhir: ‘’Telah kusetubuhi setiap belantara dan sungai/namun selalu saja melahirkan asap dan limbah industri/yang dibuang seperti bayi-bayi hasil onani’’, suatu kehidupan yang terbengkalai, terbuang sia-sia. Kelaraan rakyat (Riau) juga terangkum dalam puisi ‘’Setelah Kabut Membingkai Mimpi Kita, Di Gerbang Kota, Maka di Depan Kebesaran Tuhan Kita Cuma Debu, Berziarah ke Kota Mati’’.
Sebagai penyair yang menguasai ilmu komunikasi, desain grafis, dan animasi, puisi Badri pun terlihat menggunakan diksi teknologi cyber seperti terekam dalam puisi berjudulmKampung 2.0, yaitu bandwith, silikon, pokemon, photoshop, online, gigabyte, hardisk, virtual, motherboad, facebook. Di samping itu, diksi yang disenangi Badri, yaitu kopi dengan beberapa variasi frase seperti minum kopi, secangkir kopi, segelas kopi, taman kopi, serbuk kopi. Paling tidak sekitar delapan puisi menggunakan diksi kopi. Secara kultur, diksi ini muncul—berkemungkinan besar—karena penyair menangkap budaya minum kopi di negeri ini sehingga diksi tersebut seperti mendapat perhatian di jiwa penyair.
Sesuai dengan judulnya, grafiti (juga dieja graffity atau graffiti) adalah coretan-coretan pada dinding yang menggunakan komposisi warna, garis, bentuk, dan volume untuk menuliskan kata, simbol, atau kalimat tertentu. Pengungkapan kata-kata puitis dalam GBP bukan hanya dari pemahaman jiwa penyairnya, tetapi juga pengungkapan sekebat pengalamannya yang terbungkus dalam estetika. Seperti penilaian penyair Selatan Thailand, Phaosan Jehwae, yang mengatakan bahwa sajak-sajak Badri dalam GBP sangat menarik dan sarat dengan pengalaman diri, falsafah hidup, perasaan cinta, nasionalisme, nasihat, masalah masyarakat, dan masalah bangsa.***
Musa Ismail
Penulis adalah guru SMAN 3 Bengkalis.
Sebagai penyair yang menetap dan aktif di Riau sejak usia lima tahun, karya-karyanya tentu pula mencatat situasi Riau. Dalam kepenyairannya, Badri yang lahir di Blitar, 13 Maret 1981, tercatat memperoleh berbagai prestasi, baik tingkat provinsi maupun nasional. Bahkan, beberapa puisinya diterjemahkan penyair Myanmar, Maung Pyiyt Min, dan diterbitkan di majalah Mandalay Icon di Myanmar.
Kesan utama ketika penulis melayari puisi-puisi dalam GBP adalah pengungkapan yang ekspresif. Pengungkapan tersebut sangat puitis dan terkadang mengajuk resa dan rasa untuk membaca lebih intensif. Pengajukan resa dan rasa yang disuguhkan Badri dalam puisi-puisinya tentu saja terlahir dari suatu kesadaran jiwa yang empiris. Fenomena memesis (di luar diri penyair) dan diagesis (di dalam diri penyair) sangat tergambar melalui pengungkapan ekspresif dalam GBP. Tentu saja Badri telah melalui proses panjang tentang pengalaman dirinya yang tersaji dalam pemadatan diksi yang estetis.
Puisi merupakan hasil pemahaman mikrokosmos dan makrokosmos yang memiliki komposisi suprasegmental yang unik. Keunikan itu bisa kita kaji dari berbagai unsur yang membentuknya, baik unsur lahir maupun batin. Puisi GBP merupakan pengungkapan akulirik yang memadukan pemahama mikro- dan makrokosmos.‘’Aku lupa mematri namaku di bukit-bukit itu/sebuah kolase, namamu juga/dan arca-arca yang kita bawa sebagai pelengkap minum kopi/menjadi begitu berlumut di batu-batu/di sungai yang mengalir dari liang tubuh kita/jembatan itu, di bawahnya anak-anak memetik buih’’//.
Bait pertama puisi ini menjelaskan kealpaan akulirik (diri manusia) dalam upaya memuliakan nama (diri). Kealpaan pemuliaan diri ini bisa pula berkaitan dengan hubungan dengan ketuhanan. Karena kealpaan itu, diri manusia seperti arca-arca yang berlumut, patung-patung yang penuh kenistaan. Aspek perbandingan mikro- dan makrokosmos ini jelas sekali dalam diksi, yaitu diri dan arca, di sungai dan liang tubuh kita, jembatan itu dan anak-anak. Permainan perbandingan ini sangat sufistik. Larik terakhir bait pertama juga mencerminkan ketidakseimbangan dengan membandingkan suatu kemegahan (jembatan) dan kelaraan melalui simbolisasi anak-anak memetik buih, memanen suatu yang hampa.
Pada bait kedua, Badri masih melukiskan ekspresi dari bait pertama. ‘’Mungkin seseorang telah membacanya/entah kapan, di kafe, gazebo/dan lorong-lorong tempat kita melukis/atau menulis tanda. sebab di tanganku,/tidak ada kata yang bisa menandai/jalan hidupku, di bukit itu, sampai ke hulu’’. Larik-larik bait kedua mendeskripsikan seorang tokoh yang mungkin membaca, memahami, dan mendalami kebijaksanaan hidup. Namun, pemahaman terhadap nilai kehidupan itu tidak pasti, entah kapan, dan dari suatu tempat yang mencerminkan kekurangpedulian, santai, rileks, di kafe, gazebo, atau kelaraan, di lorong-lorong. Larik terakhir merupakan penegasan bahwa Akulirik tetap berada dalam kealpaan, kelaraan, kekosongan dalam pemuliaan diri. Kelaraan yang ekspresif itu terangkum dalam bait ketiga. ‘’Sampai akhirnya, puisi itu juga/memenjarakan kita sepanjang ngarai/hingga lupa berapa kata yang tumbuh dan berlipat/di gubuk-gubuk tua, tempat kita biasa singgah/sekadar mengabadikan resah’’. Kehidupan yang lalai mencari kemuliaan bagai rangkaian puisi yang menggambarkan keresahan, kegalauan.
Kisah kelaraan rakyat (Riau) dalam GBP juga bisa kita temukan pada beberapa puisi. Dalam Sajak Petani, Badri mencurahkan air mata petani. Lukisan lumbung padi petani yang diairi dengan air mata, cangkul yang berkarat, hama-hama yang bersarang di hati tuan, dan impor beras. Petani tetap saja berada dalam kemiskinan. Puisi berjudul ‘’Lalu Lambung Pun Membusung’’, merupakan tajuk kelaraan, kelaparan, tentang rakyat yang masih terasing di negeri sendiri, disekap kemiskinan yang belum berujung. Puisi ‘’Ke Muara Mengayuh Cinta’’, mengisahkan senandika kepedihan rakyat Riau, dari sungai hingga hutan. Kepedihan dahsyat itu terangkum dahsyat pula dalam bait terakhir: ‘’Telah kusetubuhi setiap belantara dan sungai/namun selalu saja melahirkan asap dan limbah industri/yang dibuang seperti bayi-bayi hasil onani’’, suatu kehidupan yang terbengkalai, terbuang sia-sia. Kelaraan rakyat (Riau) juga terangkum dalam puisi ‘’Setelah Kabut Membingkai Mimpi Kita, Di Gerbang Kota, Maka di Depan Kebesaran Tuhan Kita Cuma Debu, Berziarah ke Kota Mati’’.
Sebagai penyair yang menguasai ilmu komunikasi, desain grafis, dan animasi, puisi Badri pun terlihat menggunakan diksi teknologi cyber seperti terekam dalam puisi berjudulmKampung 2.0, yaitu bandwith, silikon, pokemon, photoshop, online, gigabyte, hardisk, virtual, motherboad, facebook. Di samping itu, diksi yang disenangi Badri, yaitu kopi dengan beberapa variasi frase seperti minum kopi, secangkir kopi, segelas kopi, taman kopi, serbuk kopi. Paling tidak sekitar delapan puisi menggunakan diksi kopi. Secara kultur, diksi ini muncul—berkemungkinan besar—karena penyair menangkap budaya minum kopi di negeri ini sehingga diksi tersebut seperti mendapat perhatian di jiwa penyair.
Sesuai dengan judulnya, grafiti (juga dieja graffity atau graffiti) adalah coretan-coretan pada dinding yang menggunakan komposisi warna, garis, bentuk, dan volume untuk menuliskan kata, simbol, atau kalimat tertentu. Pengungkapan kata-kata puitis dalam GBP bukan hanya dari pemahaman jiwa penyairnya, tetapi juga pengungkapan sekebat pengalamannya yang terbungkus dalam estetika. Seperti penilaian penyair Selatan Thailand, Phaosan Jehwae, yang mengatakan bahwa sajak-sajak Badri dalam GBP sangat menarik dan sarat dengan pengalaman diri, falsafah hidup, perasaan cinta, nasionalisme, nasihat, masalah masyarakat, dan masalah bangsa.***
Musa Ismail
Penulis adalah guru SMAN 3 Bengkalis.
Sumber: Riau Pos, 6 Oktober 2013
No comments
Post a Comment