Angin dari Selatan
Senja berkabut.
Di antara tempias gerimis yang
membaur dengan bias matahari senja, dia
memetik dawai pipa1. Satu per satu dengan khusyuk.
Iramanya pelan, sesekali kencang bahkan kadang melengking-lengking. Tubuhnya yang kuning pucat bersandar
di kursi kayu, memandang arus laut yang
tenang. Sesekali dia
mengibaskan rambutnya yang hitam lurus. Diterpa angin dari selatan yang pasang surut.
Cheongsam2
warna merah marun yang dipakainya sedikit basah, oleh gerimis.
Lampion yang berbaris di sepanjang gang yang dipenuhi ruko-ruko tua
perlahan-lahan bersinar kemerahan. Wangi dupa berhembus mengikuti angin yang menyelinap
di antara pagar-pagar besi. Dia
menyanyi lirih, nyaris tak terdengar. Kalah oleh jerit ribuan walet yang memenuhi
langit, mencari sarang yang hilang menjelang malam.
Dia menjadi sedih ketika memandang
bias cahaya lampion kemerahan. Tiba-tiba teringat
kampung halaman. Pikirannya menerawang jauh ke belakang. Ke lembah Sungai
Kuning yang mengalir kecoklatan. Meliuk seperti ular naga membelah perbukitan tandus.
Sungai yang bersumber di daerah pegunungan Kwen-Lun itu, memberinya kenangan
panjang. Sepanjang sejarahnya yang berliku.
Hamparan sawah hijau, burung-burung
di rerumpun bambu menjadi kenangan paling indah yang diingatnya. Hanya sesaat, karena
potret buram perkampungan kumuh lebih dominan mengisi memori kepala indahnya. Industrialisasi
yang menjadi anak kandung kapitalisme di negerinya, menjadi babak baru drama kehidupan
masa remajanya. Cerobong yang terus-menerus
mengepulkan asap menjadikan langit abu-abu kekuningan. Tak ada lagi padang
rumput hijau, aroma kebun dan sungai yang dipenuhi ikan-ikan.3
“Lapangan hijau dan sungai
menjadi tempat paling murah untuk pembuangan sampah industri. Kami pun kehilangan tempat
bermain,” katanya, suatu sore
usai menjawab
daftar panjang pertanyaanku, untuk
melengkapi data riset antropologi budaya tentang akulturasi budaya orang Tiongkok di Bumi Melayu.
Kenangan itu berselang-seling
dengan peristiwa awal Juni dua puluh tiga tahun silam. Saat ratusan atau bahkan
ribuan orang bergelimpangan di lapangan Kota Terlarang, sambil meneriakkan
pekik kematian yang dibawa jutaan serdadu yang menjelma bayangan malaikat
pencabut nyawa. Lengkap dengan senapan, peluru tajam dan puluhan tank yang
mengepung arak-arakan manusia yang mengusung keranda revolusi.
“Dunia seakan
melupakannya. Seperti amnesia masa lalu yang tabu untuk diceritakan. Aku masih sempat
menyaksikan malam jahanam ketika ribuan demonstran diberondong mesiu sampai
bertumbangan. Mungkin juga kekasihku, yang terakhir kulihat menghadang tank
sambil entah mengatakan apa pada serdadu yang dengan gagahnya mengokang moncong
kendaraan iblis itu.” Dia melanjutkan cerita sambil menerawang jauh ke masa
lalu.4
“Kekasihmu kah, pria
yang menjadi legenda perlawanan di Tiananmen dan dipilih sebagai orang yang
mengubah wajah dunia oleh salah satu majalah terkemuka itu?”
“Sejarah memang
aneh. Aku tahu persis, dia baru pulang dari lapak tukang jahit mengambil jahitan
gaun yang akan kupakai pada pesta lulusan sekolah kejuruan di akhir bulan. Aku melihatnya
dari jauh, bersama teman-teman sekelasku di sekitar lokasi kerumunan
orang-orang yang menuntut perubahan itu.”
“Tapi orang di
seluruh dunia sudah menganggapnya sebagai ikon perjuangan. Serupa orang-orang
yang mati pada suatu tragedi perlawanan.”
“Kekasihku bukan
bagian dari para demonstran, dia hanya kebetulan lewat dan jalannya terhalang
tank. Barangkali si tukang foto juga sedang kebetulan mendapatkan momen itu, sehingga
mengabadikannya untuk dunia dalam sebuah gambar tanpa latar pesan. Bukannya
orang-orang sampai kini tidak tahu asal muasal dan nasib pemuda dalam gambar yang
tersebar di koran-koran itu? Itulah, sejarah memang aneh.”
“Yahh, fotonya sudah
menjadi citra perlawanan perjuangan demokrasi, setelah pembantaian di lapangan
yang pernah menjadi pusat kehidupan para kaisar masa lalu negerimu.”
“Itulah, sejarah
kadang absurd. Dilukis dengan abstrak pada lembaran-lembaran koran dan buku
bacaan. Bahkan hingga kini, selain aku, tak ada yang tahu siapa manusia di
depan tank itu. Tapi sudahlah, itu hanya bagian dari serpihan masa laluku ketika
tragedi terjadi. Aku sudah
melupakannya, seperti semua orang juga terpaksa melupakannya.”
“Karena itu kah kamu
pergi meninggalkan negaramu, dan nasib membuatmu menjejakkan kaki di kota tepi laut
ini?”
“Sekali lagi, aku
ingin melupakan kejadian itu. Seperti bangsaku dipaksa melupakannya. Aku bahkan
tidak tahu bagaimana nasib kekasihku yang di foto terlihat gagah menghadang
tank itu. Mungkinkah dia mati tergilas kendaraan baja seperti ratusan
demonstran lainnya. Ataukah dia melarikan diri bersama para pemimpin mahasiswa yang
kini tinggal di Eropa atau Amerika? Sampai sekarang aku tak pernah tahu...”
Dia terlihat murung,
melipat berita yang dia baca di salah satu koran terbitan Minggu. Lalu
bercerita, setelah kerusuhan di lapangan itu, dia juga tidak pernah tahu nasib teman-temannya
yang berada di tengah kekacauan politik akhir tahun 1980-an. Bersama
keluarganya dia pun kembali ke kampung halaman. Selama beberapa tahun tinggal
di sekitar lembah Sungai Kuning. Menyaksikan kapitalisme bergerilya ke desa-desa secara
masif.
***
Labirin sunyi.
Kami pun berubah menjadi bagian
dari roda mesin pabrik, tenaga kerja yang mau dibayar dengan gaji murah. Semuanya
mengatasnamakan pembangunan ekonomi, memberantas kemiskinan dan jargon-jargon
politik lainnya. Makanya
produk-produk selundupan dari negeriku bisa dihargai sangat murah, murah sekali. Semurah harga keringat kami yang sudah membaur
dengan limbah
beracun.
Barangkali kamu pernah melihat karya fotografi polusi Lu Guang,
yang memenangkan penghargaan Eugene Smith sekitar dua tahun lalu. Itulah potret
industri di sana. Banyak orang mati karena limbah industri, termasuk kedua
orang tuaku yang menderita kanker akut, sangat akut.
Sejak saat itu aku menjadi sendiri, hidup di lingkungan yang tak
bersahabat. Kemudian datang orang baik dari Lanzhou yang mengajakku merantau ke
Australia bersama para imigran lain yang ingin mencari peruntungan di kampung
orang. Melewati sungai, gunung dan lautan luas menggunakan kapal barang. Kami terinspirasi
para imigran Asia Tengah yang mencari suaka, menembus badai dan gelombang.
Tapi ketika kapal barang yang
membawa kami melewati Selat Melaka, menuju Barat Laut untuk memutari Pulau
Sumatera menuju Samudera Hindia, gelombang ganas membelahnya. Seperti mulut
naga raksasa yang menyemburkan badai. Dengan cepat perahu masuk ke perut laut
yang dingin. Aku tak tahu berapa orang yang selamat. Berapa rang yang mati.
Berapa orang yang hilang.
Mungkin karena tubuhku mungil,
kurus, aku mudah terapung. Begitu
aku sadar, sudah ada di kapal milik semokel dari salah satu pulau paling luar,
belakangan kutahu namanya Rupat
Utara. Ia membawaku ke pulau itu, pulau asing yang ternyata banyak dihuni
orang-orang yang berlayar dari Tiongkok, lalu terdampar, ratusan tahun lalu. Cukup
lama aku berada di sana, berbaur dengan masyarakat tradisional yang hidup
dengan akulturasi ras dan budaya. Kandas sudah rencana mengadu nasib ke
Australia. Tapi barangkali, garis nasib memang membawaku ke pulau yang langsung
berhadapan dengan Selat Melaka itu.
Bertahun-tahun aku di sana, tinggal
di perkampungan nelayan. Berbaur
dengan masyarakat Melayu, Jawa, Akit
dan berbagai latar belakang kultur lainnya. Kami hidup harmoni, saling berbagi
dalam kesederhanaan. Aku tinggal dengan orang tua angkat, Paman Lim, pria tua berumur
hampir setengah abad yang ternyata masih bisa berbahasa asli negeriku. Dialah yang kemudian mengajariku beragam
bahasa yang digunakan masyarakat negeri ini. Di perkampungan itu, orang-orangnya sederhana dan bersahaja. Rumah-rumahnya panggung beratap seng, yang melengking nyaring ketika ditikam hujan.
Banyak kenangan di sana, aku menyaksikan
zapin yang ternyata mirip dengan tarian tradisonal di kampung masa kecilku
dulu. Tarian yang banyak dimainkan orang-orang keturunan petualang yang pernah
melewati jalur sutra. Melihat berbagai tradisi yang saling berinteraksi, aku
semakin sadar manusia dilahirkan untuk menjadi saudara. Bukan saling berperang
memperebutkan kuasa.
Lalu Paman Lim
mengajakku pergi ke
Jakarta, di tempat saudaranya yang menjadi saudagar baju bekas di Tanah Abang. Kota besar yang sangat kumuh
dan semrawut. Aku
tinggal di rumah kerabat Paman Lim di sebuah ruko di gang sempit sekitar Glodok. Selama beberapa
bulan aku belajar
di sekolah musik tradisional, minatku sejak dulu. Karena terakhir, aku sekolah di kejuruan
seni tradisional, tidak jauh dari lapangan yang menjadi saksi berakhirnya
komunisme dan perlawanan tindakan korup penguasa negeri asalku.
***
Senja merah.
Gadis berumur dua
puluh lima tahunan itu baru selesai menyeruput secangkir teh tanpa gula. Di
beranda lantai dua sekolah musik itu, ia sedang memetik guzheng5 diiringi biola dan berbagai alat musik yang
dimainkan beberapa temannya. Belajar mengharmonikan berbagai instrumen untuk melagukan
“Indonesia Raya” dan “Tanah Airku” yang akan dipentaskan di Taman Ismail
Marzuki tiga bulan lagi. Lalu mereka memainkan lagu tradisional Tiongkok ”Tian
Mimi” yang digubah menjadi ”Dayung Sampan.”6
Dayung sampan mencari ikan
Ikan dicari hai nelayan
Di tengah muara
Kalau tuan mencari makan
Makan dicari hai nelayan
Menarik suara
ya ya ya ya...
Petikan guzheng itu menimbulkan bunyi
gemerincing seperti air mengalir. Suaranya yang jernih dan merdu membawa
keteduhan di tengah riuh Jakarta. Tiba-tiba mereka mendengar keributan di jalanan,
orang-orang dari segala penjuru berteriak rasis sambil merusak bangunan dengan
kayu dan linggis. Mengacung-acungkan parang, mendobrak pertokoan dan menjarah
isinya. Dari jauh ribuan atau puluhan ribu orang terlihat menyemut di jalanan.
Dihadang puluhan tank yang menyemprotkan air. Asap putih pekat membumbung
disertai letusan bedil.
Gadis itu berdiri,
juga teman-temannya yang sedari tadi memainkan alat musik dengan khusyuk. Harmoni
irama merdu tadi seketika berhenti.
“Aku seperti melihat
peristiwa yang hampir sepuluh tahun sebelumnya kusaksikan di negeriku. Ribuan orang
di jalanan itu kuduga mahasiswa, dan ternyata memang benar. Persis seperti di
lapangan Kota Terlarang pada masa itu, masa orang-orang menyerahkan diri
menjadi tumbal reformasi entah revolusi.”
Dia berkata dengan
lirih. Seperti tidak ingin mengingat kembali dua kejadian yang dialaminya dalam
waktu tak sampai sepuluh tahun. Bahkan dia tak pernah membayangkan kalau kerusuhan
politik kedua ini akan lebih buruk dari sebelumnya. Kalau sebelumnya dia
kehilangan kekasih yang diakuinya sebagai pria gagah di depan tank itu, kali
ini dia kehilangan segalanya. Sesuatu yang dia tak mau ceritakan.
“Tiba-tiba kerumunan
orang-orang yang berteriak dan merusak itu, sampai di rumah tempat kami
latihan. Pintu didobrak dengan keras. Kami ketakutan ketika mereka, dengan
penuh amarah tiba di lantai dua. Dengus nafas mereka seperti ribuan tank dengan
moncong yang siap melumat tubuh kami. Tapi ini lebih perih...”
Dia tidak melanjutkan
ceritanya. Lalu beranjak dari tempat duduk, menuju teras rumah panggung yang
menghadap selat. Matanya menatap nanar pada riak ombak berwarna keruh yang terhempas
kapal-kapal akan bersandar di dermaga.
“Tak ada lagi yang
bisa kuceritakan mengenai peristiwa itu. Aku juga tak akan menceritakannya.
Karena aku tak ingin mengingatnya lagi. Dua peristiwa itu ingin sekali
kuhanyutkan ke laut lepas. Supaya hilang disapu gelombang...”
Aku diam, tidak
ingin menggarami luka lama yang menggerus ingatannya. Memeras air mata yang
sedari tadi mengalir mengikuti arus cerita. Menderas di pipinya yang kuning
langsat, lalu membeku di bibirnya yang semakin pucat. Cukup lama ia memandangi
gelegak ombak di selat itu.
“Aku hanya ingin
menetap sampai tua dan mati di kota tua ini. Memandangi kapal-kapal lewat
sambil menganyikan lagu-lagu kesukaanku. Dengan menyanyi aku bisa mendamaikan
hidup ini.”
***
Malam bulan.
Dari hotel tempat menginap
selama melakukan riset di kota pelabuhan itu, sayup-sayup aku mendengar suara pipa mendayu-dayu. Memantulkan irama
Melayu yang unik. Nadanya tegas dan bertenaga. Meski tanpa nyanyian aku masih bisa
menerjemahkan iramanya:
Cahaya manis kilau gemilau
Di Kampung Tapir indah menawan
Aku bernyanyi berzapin riang
Moga hadirin aduhai sayang
Jadi terkesan...7
Dari balkon paling
atas, aku melihatnya menyanyi di sebuah kafe. Membangun harmoni antarbudaya dengan
musik. Melupakan sejarah kelam. Ia ingin damai dalam menyelaraskan masa depan. Merangkai
simponi kehidupan dengan lagu. Angin dari selatan menerbangkan rambutnya yang
panjang terurai. Seolah mengikuti irama pipa
dan segala nada yang berkecamuk di kepalanya. (*)
Pekanbaru, Juni 2012
Catatan:
1 Pipa: alat musik petik dari kayu memiliki
empat dawai, khas negeri Tiongkok.
2 Cheongsam: pakaian wanita khas
Tiongkok yang artinya gaun panjang.
3 Tentang kapitalisme China didasari tulisan
“Bangkitnya Sang Naga” di TEMPO,
edisi 23-29 Januari 2012.
4 Tentang lelaki di depan tank terinspirasi tulisan
“Kisah Manusia Tank” di KOMPAS,
Minggu, 3 Juni 2012.
5 Guzheng: kecapi China.
6 Tentang perpaduan musik antarbudaya ini
terinspirasi tulisan “Alunan Teduh Angin Selatan” di KOMPAS, Minggu, 10 April 2011.
7 Sebagian lirik lagu “Laksamana Raja Dilaut” yang
dipopulerkan Iyeth Bustami.
No comments
Post a Comment