Breaking News

Angin dari Selatan

www.luxartasia.com
Cerpen M Badri

Senja berkabut.
Di antara tempias gerimis yang membaur dengan bias matahari senja, dia memetik dawai pipa1. Satu per satu dengan khusyuk. Iramanya pelan, sesekali kencang bahkan kadang melengking-lengking. Tubuhnya yang kuning pucat bersandar di kursi kayu, memandang arus laut yang tenang. Sesekali dia mengibaskan rambutnya yang hitam lurus. Diterpa angin dari selatan yang pasang surut.

Cheongsam2 warna merah marun yang dipakainya sedikit basah, oleh gerimis. Lampion yang berbaris di sepanjang gang yang dipenuhi ruko-ruko tua perlahan-lahan bersinar kemerahan. Wangi dupa berhembus mengikuti angin yang menyelinap di antara pagar-pagar besi. Dia menyanyi lirih, nyaris tak terdengar. Kalah oleh jerit ribuan walet yang memenuhi langit, mencari sarang yang hilang menjelang malam.
Dia menjadi sedih ketika memandang bias cahaya lampion kemerahan. Tiba-tiba teringat kampung halaman. Pikirannya menerawang jauh ke belakang. Ke lembah Sungai Kuning yang mengalir kecoklatan. Meliuk seperti ular naga membelah perbukitan tandus. Sungai yang bersumber di daerah pegunungan Kwen-Lun itu, memberinya kenangan panjang. Sepanjang sejarahnya yang berliku.
Hamparan sawah hijau, burung-burung di rerumpun bambu menjadi kenangan paling indah yang diingatnya. Hanya sesaat, karena potret buram perkampungan kumuh lebih dominan mengisi memori kepala indahnya. Industrialisasi yang menjadi anak kandung kapitalisme di negerinya, menjadi babak baru drama kehidupan masa remajanya. Cerobong yang terus-menerus mengepulkan asap menjadikan langit abu-abu kekuningan. Tak ada lagi padang rumput hijau, aroma kebun dan sungai yang dipenuhi ikan-ikan.3
“Lapangan hijau dan sungai menjadi tempat paling murah untuk pembuangan sampah industri. Kami pun kehilangan tempat bermain,” katanya, suatu sore usai menjawab daftar panjang pertanyaanku, untuk melengkapi data riset antropologi budaya tentang akulturasi budaya orang Tiongkok di Bumi Melayu.
Kenangan itu berselang-seling dengan peristiwa awal Juni dua puluh tiga tahun silam. Saat ratusan atau bahkan ribuan orang bergelimpangan di lapangan Kota Terlarang, sambil meneriakkan pekik kematian yang dibawa jutaan serdadu yang menjelma bayangan malaikat pencabut nyawa. Lengkap dengan senapan, peluru tajam dan puluhan tank yang mengepung arak-arakan manusia yang mengusung keranda revolusi.
“Dunia seakan melupakannya. Seperti amnesia masa lalu yang tabu untuk diceritakan. Aku masih sempat menyaksikan malam jahanam ketika ribuan demonstran diberondong mesiu sampai bertumbangan. Mungkin juga kekasihku, yang terakhir kulihat menghadang tank sambil entah mengatakan apa pada serdadu yang dengan gagahnya mengokang moncong kendaraan iblis itu.” Dia melanjutkan cerita sambil menerawang jauh ke masa lalu.4
“Kekasihmu kah, pria yang menjadi legenda perlawanan di Tiananmen dan dipilih sebagai orang yang mengubah wajah dunia oleh salah satu majalah terkemuka itu?”
“Sejarah memang aneh. Aku tahu persis, dia baru pulang dari lapak tukang jahit mengambil jahitan gaun yang akan kupakai pada pesta lulusan sekolah kejuruan di akhir bulan. Aku melihatnya dari jauh, bersama teman-teman sekelasku di sekitar lokasi kerumunan orang-orang yang menuntut perubahan itu.”
“Tapi orang di seluruh dunia sudah menganggapnya sebagai ikon perjuangan. Serupa orang-orang yang mati pada suatu tragedi perlawanan.”
“Kekasihku bukan bagian dari para demonstran, dia hanya kebetulan lewat dan jalannya terhalang tank. Barangkali si tukang foto juga sedang kebetulan mendapatkan momen itu, sehingga mengabadikannya untuk dunia dalam sebuah gambar tanpa latar pesan. Bukannya orang-orang sampai kini tidak tahu asal muasal dan nasib pemuda dalam gambar yang tersebar di koran-koran itu? Itulah, sejarah memang aneh.”
“Yahh, fotonya sudah menjadi citra perlawanan perjuangan demokrasi, setelah pembantaian di lapangan yang pernah menjadi pusat kehidupan para kaisar masa lalu negerimu.”
“Itulah, sejarah kadang absurd. Dilukis dengan abstrak pada lembaran-lembaran koran dan buku bacaan. Bahkan hingga kini, selain aku, tak ada yang tahu siapa manusia di depan tank itu. Tapi sudahlah, itu hanya bagian dari serpihan masa laluku ketika tragedi terjadi. Aku sudah melupakannya, seperti semua orang juga terpaksa melupakannya.”
“Karena itu kah kamu pergi meninggalkan negaramu, dan nasib membuatmu menjejakkan kaki di kota tepi laut ini?”
“Sekali lagi, aku ingin melupakan kejadian itu. Seperti bangsaku dipaksa melupakannya. Aku bahkan tidak tahu bagaimana nasib kekasihku yang di foto terlihat gagah menghadang tank itu. Mungkinkah dia mati tergilas kendaraan baja seperti ratusan demonstran lainnya. Ataukah dia melarikan diri bersama para pemimpin mahasiswa yang kini tinggal di Eropa atau Amerika? Sampai sekarang aku tak pernah tahu...”
Dia terlihat murung, melipat berita yang dia baca di salah satu koran terbitan Minggu. Lalu bercerita, setelah kerusuhan di lapangan itu, dia juga tidak pernah tahu nasib teman-temannya yang berada di tengah kekacauan politik akhir tahun 1980-an. Bersama keluarganya dia pun kembali ke kampung halaman. Selama beberapa tahun tinggal di sekitar lembah Sungai Kuning. Menyaksikan  kapitalisme bergerilya ke desa-desa secara masif.
***
Labirin sunyi.
Kami pun berubah menjadi bagian dari roda mesin pabrik, tenaga kerja yang mau dibayar dengan gaji murah. Semuanya mengatasnamakan pembangunan ekonomi, memberantas kemiskinan dan jargon-jargon politik lainnya. Makanya produk-produk selundupan dari negeriku bisa dihargai sangat murah, murah sekali. Semurah harga keringat kami yang sudah membaur dengan limbah beracun.
Barangkali kamu pernah melihat karya fotografi polusi Lu Guang, yang memenangkan penghargaan Eugene Smith sekitar dua tahun lalu. Itulah potret industri di sana. Banyak orang mati karena limbah industri, termasuk kedua orang tuaku yang menderita kanker akut, sangat akut.
Sejak saat itu aku menjadi sendiri, hidup di lingkungan yang tak bersahabat. Kemudian datang orang baik dari Lanzhou yang mengajakku merantau ke Australia bersama para imigran lain yang ingin mencari peruntungan di kampung orang. Melewati sungai, gunung dan lautan luas menggunakan kapal barang. Kami terinspirasi para imigran Asia Tengah yang mencari suaka, menembus badai dan gelombang.
Tapi ketika kapal barang yang membawa kami melewati Selat Melaka, menuju Barat Laut untuk memutari Pulau Sumatera menuju Samudera Hindia, gelombang ganas membelahnya. Seperti mulut naga raksasa yang menyemburkan badai. Dengan cepat perahu masuk ke perut laut yang dingin. Aku tak tahu berapa orang yang selamat. Berapa rang yang mati. Berapa orang yang hilang.
Mungkin karena tubuhku mungil, kurus, aku mudah terapung. Begitu aku sadar, sudah ada di kapal milik semokel dari salah satu pulau paling luar, belakangan kutahu namanya Rupat Utara. Ia membawaku ke pulau itu, pulau asing yang ternyata banyak dihuni orang-orang yang berlayar dari Tiongkok, lalu terdampar, ratusan tahun lalu. Cukup lama aku berada di sana, berbaur dengan masyarakat tradisional yang hidup dengan akulturasi ras dan budaya. Kandas sudah rencana mengadu nasib ke Australia. Tapi barangkali, garis nasib memang membawaku ke pulau yang langsung berhadapan dengan Selat Melaka itu.
Bertahun-tahun aku di sana, tinggal di perkampungan nelayan. Berbaur dengan masyarakat Melayu, Jawa, Akit dan berbagai latar belakang kultur lainnya. Kami hidup harmoni, saling berbagi dalam kesederhanaan. Aku tinggal dengan orang tua angkat, Paman Lim, pria tua berumur hampir setengah abad yang ternyata masih bisa berbahasa asli negeriku. Dialah yang kemudian mengajariku beragam bahasa yang digunakan masyarakat negeri ini. Di perkampungan itu, orang-orangnya sederhana dan bersahaja. Rumah-rumahnya panggung beratap seng, yang melengking nyaring ketika ditikam hujan.
Banyak kenangan di sana, aku menyaksikan zapin yang ternyata mirip dengan tarian tradisonal di kampung masa kecilku dulu. Tarian yang banyak dimainkan orang-orang keturunan petualang yang pernah melewati jalur sutra. Melihat berbagai tradisi yang saling berinteraksi, aku semakin sadar manusia dilahirkan untuk menjadi saudara. Bukan saling berperang memperebutkan kuasa.  
Lalu Paman Lim mengajakku pergi ke Jakarta, di tempat saudaranya yang menjadi saudagar baju bekas di Tanah Abang. Kota besar yang sangat kumuh dan semrawut. Aku tinggal di rumah kerabat Paman Lim di sebuah ruko di gang sempit sekitar Glodok. Selama beberapa bulan aku belajar di sekolah musik tradisional, minatku sejak dulu. Karena terakhir, aku sekolah di kejuruan seni tradisional, tidak jauh dari lapangan yang menjadi saksi berakhirnya komunisme dan perlawanan tindakan korup penguasa negeri asalku.
***

Senja merah.
Gadis berumur dua puluh lima tahunan itu baru selesai menyeruput secangkir teh tanpa gula. Di beranda lantai dua sekolah musik itu, ia sedang memetik guzheng5 diiringi biola dan berbagai alat musik yang dimainkan beberapa temannya. Belajar mengharmonikan berbagai instrumen untuk melagukan “Indonesia Raya” dan “Tanah Airku” yang akan dipentaskan di Taman Ismail Marzuki tiga bulan lagi. Lalu mereka memainkan lagu tradisional Tiongkok ”Tian Mimi” yang digubah menjadi ”Dayung Sampan.”6
Dayung sampan mencari ikan
Ikan dicari hai nelayan
Di tengah muara
Kalau tuan mencari makan
Makan dicari hai nelayan
Menarik suara
ya ya ya ya...
Petikan guzheng itu menimbulkan bunyi gemerincing seperti air mengalir. Suaranya yang jernih dan merdu membawa keteduhan di tengah riuh Jakarta. Tiba-tiba mereka mendengar keributan di jalanan, orang-orang dari segala penjuru berteriak rasis sambil merusak bangunan dengan kayu dan linggis. Mengacung-acungkan parang, mendobrak pertokoan dan menjarah isinya. Dari jauh ribuan atau puluhan ribu orang terlihat menyemut di jalanan. Dihadang puluhan tank yang menyemprotkan air. Asap putih pekat membumbung disertai letusan bedil.
Gadis itu berdiri, juga teman-temannya yang sedari tadi memainkan alat musik dengan khusyuk. Harmoni irama merdu tadi seketika berhenti.
“Aku seperti melihat peristiwa yang hampir sepuluh tahun sebelumnya kusaksikan di negeriku. Ribuan orang di jalanan itu kuduga mahasiswa, dan ternyata memang benar. Persis seperti di lapangan Kota Terlarang pada masa itu, masa orang-orang menyerahkan diri menjadi tumbal reformasi entah revolusi.”
Dia berkata dengan lirih. Seperti tidak ingin mengingat kembali dua kejadian yang dialaminya dalam waktu tak sampai sepuluh tahun. Bahkan dia tak pernah membayangkan kalau kerusuhan politik kedua ini akan lebih buruk dari sebelumnya. Kalau sebelumnya dia kehilangan kekasih yang diakuinya sebagai pria gagah di depan tank itu, kali ini dia kehilangan segalanya. Sesuatu yang dia tak mau ceritakan.
“Tiba-tiba kerumunan orang-orang yang berteriak dan merusak itu, sampai di rumah tempat kami latihan. Pintu didobrak dengan keras. Kami ketakutan ketika mereka, dengan penuh amarah tiba di lantai dua. Dengus nafas mereka seperti ribuan tank dengan moncong yang siap melumat tubuh kami. Tapi ini lebih perih...”
Dia tidak melanjutkan ceritanya. Lalu beranjak dari tempat duduk, menuju teras rumah panggung yang menghadap selat. Matanya menatap nanar pada riak ombak berwarna keruh yang terhempas kapal-kapal akan bersandar di dermaga.
“Tak ada lagi yang bisa kuceritakan mengenai peristiwa itu. Aku juga tak akan menceritakannya. Karena aku tak ingin mengingatnya lagi. Dua peristiwa itu ingin sekali kuhanyutkan ke laut lepas. Supaya hilang disapu gelombang...”
Aku diam, tidak ingin menggarami luka lama yang menggerus ingatannya. Memeras air mata yang sedari tadi mengalir mengikuti arus cerita. Menderas di pipinya yang kuning langsat, lalu membeku di bibirnya yang semakin pucat. Cukup lama ia memandangi gelegak ombak di selat itu.
“Aku hanya ingin menetap sampai tua dan mati di kota tua ini. Memandangi kapal-kapal lewat sambil menganyikan lagu-lagu kesukaanku. Dengan menyanyi aku bisa mendamaikan hidup ini.”
***

Malam bulan.
Dari hotel tempat menginap selama melakukan riset di kota pelabuhan itu, sayup-sayup aku mendengar suara pipa mendayu-dayu. Memantulkan irama Melayu yang unik. Nadanya tegas dan bertenaga. Meski tanpa nyanyian aku masih bisa menerjemahkan iramanya:
Cahaya manis kilau gemilau
Di Kampung Tapir indah menawan
Aku bernyanyi berzapin riang
Moga hadirin aduhai sayang
Jadi terkesan...7
Dari balkon paling atas, aku melihatnya menyanyi di sebuah kafe. Membangun harmoni antarbudaya dengan musik. Melupakan sejarah kelam. Ia ingin damai dalam menyelaraskan masa depan. Merangkai simponi kehidupan dengan lagu. Angin dari selatan menerbangkan rambutnya yang panjang terurai. Seolah mengikuti irama pipa dan segala nada yang berkecamuk di kepalanya. (*)

Pekanbaru, Juni 2012


Catatan:
1  Pipa: alat musik petik dari kayu memiliki empat dawai, khas negeri Tiongkok.
2  Cheongsam: pakaian wanita khas Tiongkok yang artinya gaun panjang.
3  Tentang kapitalisme China didasari tulisan “Bangkitnya Sang Naga” di TEMPO, edisi 23-29 Januari 2012.
4  Tentang lelaki di depan tank terinspirasi tulisan “Kisah Manusia Tank” di KOMPAS, Minggu, 3 Juni 2012.
5  Guzheng: kecapi China.
6 Tentang perpaduan musik antarbudaya ini terinspirasi tulisan “Alunan Teduh Angin Selatan” di KOMPAS, Minggu, 10 April 2011.
7  Sebagian lirik lagu “Laksamana Raja Dilaut” yang dipopulerkan Iyeth Bustami.

No comments