Impian Anak Transmigran
Hutan Kuantan
Medio tahun 1980-an, hutan belantara menghampar seperti permadani di
sepanjang perjalanan. Tidak beraturan, mengikuti kontur bukit dan lembah. Lanskap
alam yang baru pertama kali kulihat. Riuh kawanan siamang. Gerombolan babi
hutan. Juga kicau burung-burung. Orkestra alam itu kulihat dari balik kaca bus.
Saat menelusuri jalan tanah, berkelok
dan berlobang, mengikuti alur perbukitan.
Bus renta terasa berat menggerakkan roda-rodanya. Di tanah lempung, yang
menjadi liat dan lekat saat musim penghujan. Hingga roda hitam tanpa gerigi itu,
kerap terperosok di kubangan yang menganga di tengah jalan. Berkali-kali, menjadikan
perjalanan belasan kilometer harus ditempuh nyaris sehari.
Eureka! Akhirnya sampai juga. Di tanah seberang. Tanah asing di pedalaman
Sumatera. Tanah yang selama ini tak pernah sekalipun singgah dalam mimpi. Ya, aku
harus mengikuti orang tua menjadi transmigran. Mengadu nasib di Pulau Swarnadwipa.
Sebab di tanah Jawa, dengan penduduk kian sesak, luas sawah terus menyempit, semakin
menyempitkan impian.
“Meski orang tuamu hanya tamatan sekolah dasar, kamu harus bisa melanjutkan pendidikan
setinggi-tingginya,” kata Ibu, berkali-kali. Hingga kata-kata itu mengkristal
menjadi butiran doa. Menjadi mantra pengusir ketakutan. Japa penumbuh
keberanian.
“Ular-ularnya sebesar pohon kelapa!”
“Banyak harimau dan siluman!”
“Penduduk aslinya pemakan orang!”
Tapi tekad mengubah nasib dan kehidupan mengalahkan segala ancaman dan
ketakutan. Di pedalaman Sumatera,
apalagi tahun 1980-an, hutan-hutan memang masih lebat. Di usia baru melewati
fase balita, aku mulai mengakrabi alam yang berbeda. Hutan. Kata yang
sebelumnya tidak kukenal. Karena di Jawa, aku lahir di dusun kecil jauh di kaki
gunung. Hanya berpengalaman dengan sawah dan lembah.
Perlahan, aku mulai menikmati dekapan lembut pepohonan hutan. Belaian mesra
aliran rawa-rawa. Maka hari-hariku pun tak pernah lepas dari kehidupan
belantara. Menjerat burung, memancing ikan, mencari sulur untuk bergelayutan,
hingga melanglang sampai ke rerimbun tak terjamah. Belajar mengenali tetumbuhan
yang bisa dimakan dan diserap sari airnya. Mencari sumber mata air di antara
belukar. Bertahan menghindari ancaman binatang buas. Belajar hidup dari alam.
Aku tak pernah menemukan ular sebesar pohon kelapa, harimau, siluman, atau
manusia bar-bar. Di alam liar, justru kutemukan persaudaraan. Tidak ada konflik
dan ketakutan. Masing-masing saling menghargai dan bertoleransi. Antarmanusia
atau manusia dengan lingkungan.
“Alam merupakan sumber kehidupan. Belajarlah agar bisa hidup dari sana,”
Ibu dengan bijak membesarkan hatiku.
“Di tengah rimba, kamu harus menjadi lelaki perkasa. Lawanlah segala jenis
ketakutan,” Ayah terus menyepuh keberanianku.
Berbulan-bulan aku hanya berinteraksi dengan orangtua dan rimba. Juga
para tetangga transmigran dari Jawa,
yang sama-sama mengadu keberuntungan dan masa depan. Tak ada hiburan. Kecuali
orkestra serangga dan burung-burung nokturnal. Satu-satunya televisi hanya ada
di kantor perusahaan perkayuan. Jaraknya hampir lima kilometer. Tak ada
listrik. Penerangan kami hanya dari lampu sumbu dan sinar bulan.
“Kamu masih betah, Nak?” kata Ibuku, sambil menyaput cat kapur ke dinding-dinding
papan. Meski mendapat jatah beras dan lauk pauk dari pemerintah, kebiasaan
kerja keras membuat kedua orangtuaku bekerja. Menjadi buruh pengecat
rumah-rumah transmigran yang baru selesai dibangun. Sebab dari Jawa mereka
hanya membawa bekal beberapa ribu rupiah.
Permukiman transmigran adalah rumah kayu berlantai tanah. Rumah mungil
setara tipe 36 meter persegi. Dipancang di tengah ladang dan pekarangan. Bekas
babatan hutan dengan sisa kayu masih berserakan. Membuat kami harus sigap
mengindari sengatan lipan dan kalajengking. Juga ular-ular yang kesasar masuk
ke rumah.
Aku mengangguk. Karena perlahan, aku semakin mencintai tanah ini. Sebab
belantara menjadi laman bermain mengasyikkan. Tanpa video game dan sentuhan
teknologi canggih lainnya. Semua alat permainan kami buat sendiri. Memanfaatkan
kayu dan tumbuhan hutan lainnya.
“Bertahanlah, Nak!” kata Ayahku sambil mengayunkan cangkul. Menggali
kehidupan di tanah-tanah lempung. Tanah keras yang ditumbuhi aneka belukar dan
rerumputan liar. Menaburkan butiran keringat di ladang-ladang yang mulai dibuka.
“Di kampung kita kesulitan mencari tanah garapan. Di sini, kita mendapat
ladang yang luas. Tuhan Maha Pemberi. Kita tidak boleh menyia-nyiakannya,” kata
mereka sambil memupuk mimpi. Menanami ladang-ladang garapan dengan palawija.
Merawatnya seperti merawat anak sendiri. Sejak fajar hingga senja. Kadang harus menginap di gubuk.
Berhari-hari. Menjaganya dari segala jenis hama.
Tak ada kerja keras yang sia-sia. Ladang-ladang kami mulai menghasilkan.
Jagung, padi dan kedelai sudah bisa dipanen. Juga aneka sayuran dan
buah-buahan. Pekarangan yang ditanami ubi dan keladi terus menghasilkan umbi.
Cabai dan bawang juga ikut meramaikan perayaan musim panen. Beberapa tahun
kemudian, aku menulis puisi untuk mengenang romantisme ini:
Biografi Perjalanan
/1/
Masa kanakku mengelupas dari pematang yang tumbuh di
kamar-kamar petani
tikus dan wereng menyusu pada batang-batang padi yang
mati sebelum musim semi
sementara itu, rumah-rumah bambu senantiasa mencumbui
paceklik
sambil menunggu kepundan melelehkan masa depan
ah, dusun kecil itu, warna matahari serupa elegi
dan orang-orang membentangkan peta sehabis kenduri
airmata
"pulau sumatera! pulau sumatera!"
teriak mereka sambil melemparkan caping ke udara
/2/
Belantara lengang dihiasi ratusan siamang
sebuah perkampungan dari semak-semak berbau apak
sunyi selalu menghantui mimpi para pendatang
"bertahanlah nak! kita takkan mati dililit
onak"
teriak ayah, sebelum membuka ladang dengan jemarinya yang
serupa parang
emak menari sambil menebarkan benih-benih padi
kemudian aku terlelap di dahan dalam buaian bahasa hutan
/3/
Kulukis masa kecilku di rawa-rawa dengan warna dari daun
dan kulit kayu
sementara orang-orang menabuh gamelan mengiringi
lagu-lagu melayu
sebuah peradaban baru tumbuh di atas kanvas yang
membentang
sepanjang jalan lintas sumatera
dan anak-anak mulai lahir dari celah-celah pokok kayu,
lalu menyusu pada rembulan
cuaca menjadi begitu bermakna, bukan sekadar pelengkap
perjamuan
/4/
Belasan tahun kemudian ilalang mengelupas dari
lahan-lahan tidur
lalu menjelma batang sawit dan getah karet yang terlipat
di balik kasur
kusimpan sinar matahari di antara lembaran sajak musim
semi
sambil mengeja peta pulau jawa yang telah lama menyendiri
dalam laci
sebuah jembatan, menghubungkan orang-orang yang akan
meniti masa depan
"bangunlah nak! kita telah sampai di tanah
harapan"
kata ayah mengemasi waktu subuh setelah semalaman
menjerang peluh
2004
Sekolah Alam
Hutan dan alam raya menjadi sekolah pertama. Berikutnya, aku mulai masuk ke
sekolah formal. Sekolah dasar, di bangunan kayu berbentuk panggung di atas rawa
kering. Dengan ruang kelas seperti aula. Tanpa meja dan kursi. Maka kami pun
harus membawa meja dan kursi sendiri, dari rumah. Itu, satu-satunya sekolah
yang harus ditempuh hampir dua kilometer berjalan kaki. Kadang melewati semak
belukar, jalanan lempung, kubangan air. Kalau musim hujan, kami harus berjalan
tanpa alasa kaki.
Gurunya sederhana, buku-bukunya juga sederhana. Sesederhana menimba ilmu dasar: baca, tulis dan hitung. Tak ada
permainan modern, apalagi sentuhan teknologi. Hampir semua kegiatan dilakukan di alam bebas.
Segala alat peraga dibuat memanfaatkan sumber daya yang ada. Maka, meski di
sekolah formal kami tidak bisa lepas dari ketergantungan dengan alam. Karena
Tuhan memang menjadikan alam raya sebagai laman belajar.
Kalau sekarang televisi sering menayangkan acara petualangan bocah-bocah di
pedalaman, seperti itulah ilustrasinya. Bahkan petualangan kami di pedalaman
Kuantan lebih liar: vivere veri coloso.
Kami sering berkejaran dengan kawanan babi hutan, mengejar dan dikejar. Terjebak
di semak belukar. Menyelam di rawa-rawa dalam, kadang dihuni ular dan buaya. Tapi
itulah, ketika manusia sudah menyatu dengan alam, kecemasan dan ketakutan bisa
dikalahkan.
Meski di sekolah kekurangan bacaan formal, tapi di rumah aku mendapat
limpahan bahan bacaan. Sejak SD aku sudah terbiasa membaca koran dan majalah.
Bukan terbitan terbaru. Tapi koran kiloan yang dibeli Ibuku setiap minggu.
Koran untuk pembungkus cabai, bawang, ikan asin dan aneka barang harian. Ibuku
memang membuka kedai sederhana. Maka, sebelum nasib koran diserahkan kepada
gunting dan ikan asin, aku lebih dulu membacanya. Mengkliping tulisan yang
menarik. Apalagi cerita bergambar.
Tak heran, di pedalaman hutan Sumatera yang nyaris tak terjamah media
massa, aku sudah mengenal Kompas, Pos
Kota, Suara Karya, Pelita, Singgalang, Haluan, Nova, Bintang serta beberapa tabloid dan majalah terbitan ibukota
lainnya. Aku mulai menyukai teks, mempelajari makna di baliknya. Mencermati
berita-berita di dalamnya. Hingga kemudian, aku akhirnya menyadari, pengalaman
masa kecil berjibaku dengan berbagai media cetak, berpengaruh terhadap
impian-impian yang coba kurangkai.
“Sekolahlah yang rajin, Nak. Menuntut ilmu tidak ada yang sia-sia,” kata
Ibuku, ketika melihatku mulai lebih mementingkan hasrat bermain. Karena, memang
tidak sedikit anak-anak di perkampungan transmigran yang akhirnya berhenti
sekolah. Bahkan sebelum menamatkan sekolah dasar. Bukan karena masalah ekonomi,
tapi karena dikalahkan rutinitas pendidikan yang menjemukan. Perempuan belia putus
sekolah, biasanya menikah atau menjadi buruh di perkebunan kelapa sawit yang
mulai beroperasi. Sedangkan lelaki, bekerja di ladang atau merantau di
perusahaan pengolahan kayu.
Itulah dinamikanya. Hampir separuh teman-teman SD tidak melanjutkan ke
sekolah lanjutan tingkat pertama. Di sekolah berseragam putih biru itu, keadaan
juga tidak jauh lebih baik. Masih berupa sekolah kayu, bahkan awal semester
pertama masih menumpang belajar di gedung SD. Sebuah SMP perintis yang dikelola
LKMD. Satu-satunya sekolah yang bisa dijangkau dengan sepeda ontel. Guru-gurunya
pun kebanyakan pengajar sekolah dasar yang diperbantukan. Maka, setiap akhir
pekan kami beramai-ramai menebang belukar dan ilalang yang mengepung sekolah.
Tentunya agar lebih indah dan lapang, sehingga terlihat seperti layaknya sebuah
sekolah.
Tapi kami masih beruntung, jarak beberapa kilometer masih bisa kami lalui dengan sepeda. Sebab
hingga sekarang pun, masih banyak anak-anak sekolah dasar hingga menengah yang
harus bekerja keras, berjalan kaki menembus belantara, bukit dan lembah, dengan
berjalan kaki. Bahkan ada pula yang mesti bergelantungan di jembatan gantung
hampir rubuh. Kesederhanaan kadang bisa menyepuh kekuatan. Kerja keras
mengajarkan orang untuk lebih mandiri dan berprestasi.
Apalagi, secara ekonomi, awal-awal sekolah menengah pertama merupakan
sebuah titik balik. Ladang-ladang kami diambil perusahaan. Tanaman karet
ditebangi. Tanaman kopi dibabati. Semuanya rata dengan tanah. Begitu juga
hutan-hutan yang mengebung perkampungan. Musnah . Menyisakan tunggul dan batang
bergelimpangan. Sebab saat itu, ada program pembangunan perkebunan kelapa sawit
dengan pola inti-plasma. Masyarakat meyerahkan ladangnya untuk ditanami kelapa
sawit oleh perusahaan. Berhutang untuk penanaman dan perawatan. Lima tahun
kemudian akan dibagikan kembali. Lalu petani menyicil sejumlah pinjaman ke bank
setiap bulan. Bertahun-tahun sampai lunas.
Ladang-ladang mulai ditanami sawit. Sebagai gantinya setiap kepala keluarga
mendapat lahan garapan seperempat hektare. Jumlah yang sangat sedikit, dari
sebelumnya dua hektare. Masa awal pengembangan perkebunan, menjadi masa paling
sulit. Banyak petani yang bangkrut. Imbasnya, jumlah siswa putus sekolah semakin
banyak. Setidaknya setamat SMP tidak bisa lagi melanjutkan ke SMA. Apalagi SMA
terdekat jaraknya mencapai 50 kilometer lebih. Maka aku pun memilih melanjutkan
studi SMA ke tanah kelahiran. Kembali ke Pulau Jawa.
Kota Bertuah
“Lanjutkan sekolahmu, Nak. Supaya masa depanmu lebih baik,” lagi-lagi Ibuku
menasehati. Saat aku mengalami krisis motivasi pendidikan. Masa-masa paling
sulit. Maka setamat SMA, saya memilih istirahat belajar setahun. Hasrat ke
Pulau Dewata mengadu nasib menjadi seniman akhirnya kusimpan. Menggunakan waktu
jeda untuk bekerja serabutan, berkontemplasi, membangun kembali semangat yang
nyaris kandas. Kadang intirahat sejenak membuat kita kembali memiliki semangat.
Memulihkan jiwa dari kejenuhan yang menjebak. Maka aku kembali ke Sumatera.
Akupun akhirnya melanjutkan kuliah stata satu. Meski masuk dalam jurusan
yang sebenarnya tidak kuminati, tapi tak ada gunanya menyesal. Waktu terus
berjalan, tidak ada gunanya menoleh ke belakang. Untuk membangun eksistensi dan
identitas diri, akupun bergabung dengan sejumlah organisasi kemahasiswaan. Internal
dan eksternal kampus. Tapi akhirnya pilihan jatuh pada pers mahasiswa. Lembaga
kemahasiswaan yang banyak mengajarkan sikap kritis dan idealisme.
Berorganisasi di pers mahasiswa cukup menantang. Aku seperti menemukan
duniaku sebenarnya. Jabatan pemimpin redaksi bisa kucapai hanya dalam dua
tahun. Dari reporter langsung melompat menjadi pemimpin redaksi, kemudian
pemimpin umum. Di lembaga yang mengajarkan kebebasan berekspresi itu, aku mulai
menyukai dunia penulisan kreatif. Pilihannya sastra: puisi dan cerpen. Aku kembali
menemukan dunia baru. Kemudian membangun komunitas kecil yang melahirkan
beberapa penulis. Masih di bilik yang sama, di antara kesibukan merangkai kata
dan makna.
Tulisan-tulisanku mulai sering muncul di media massa. Di media cetak lokal
dan media sastra siber yang mulai tumbuh awal 2000-an. Juga mulai memenangi
sejumlah penghargaan, mulai lokal, regional, hingga nasional. Maka selain
menekuni jurnalisme aku semakin menggilai sastra. Sehingga aku pun mulai
dikenal sebagai wartawan yang sastrawan.
Pekerjaan wartawan mulai kugumuli pada pertengahan kuliah. Tapi ternyata
itu tidak cukup. Masih ada impian-impian baru yang coba kurangkai. Pengalaman
memberi materi berbagai pelatihan jurnalisme, membuatku semakin meminati dunia
akademis. Ternyata impian itu, menjadi seorang ilmuwan. Maka, aku memaksakan
diri memperoleh gelar sarjana. Kemudian memutuskan berhenti bekerja untuk
melanjutkan studi ke strata dua. Tujuannya sederhana, mewujudkan tiga impian
itu: menjadi wartawan, sastrawan dan ilmuwan.
Kota Hujan
Pesawat milik maskapai penerbangan swasta itu mendarat di Bandara
Soekarno-Hatta. Hampir tengah malam. Tertunda beberapa jam. Di landasan basah,
baru saja diguyur hujan. Diterangi bulan saparuh dan bintang-bintang. Aku
segera keluar, melanjutkan perjalanan dengan bus yang nyaman. Melewati jalan
lurus tanpa gelombang.
Dalam perjalanan singkat itu, aku kembali terkenang melodia hampir tiga
dekade silam. Melihat ke luar jendela. Tapi hanya ada belantara beton di
sepanjang jalan. Setelah lima tahun pulang dengan gelar magister, aku kembali untuk
melengkapi mimpi di kota ini. Kota Hujan, sebuah kota kecil di pinggiran ibukota.
“Orangtuamu tidak meninggalkan warisan. Hanya pendidikan yang kami berikan.
Sekolahlah setinggi-tingginya, semampu kamu menggapainya,” kata Ibuku,
berkali-kali. Dulu, dulu sekali.
Kata-kata mantra dan doa, sejak aku sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Kini, pada jenjang pendidikan lebih tinggi, kata-kata itu tetap mantra dan doa.
Terus terucap dari bibir mereka yang bersahaja. Di hari tua, sambil menunggu
giliran berangkat ke Tanah Suci. Menikmati senja, setelah rentang usia dilalui dengan
kerja keras, ujian dan impian. Dan di kota ini, di antara pepohonan yang
menjulang tinggi, aku akan terus memupuk mimpi. Sebuah mimpi sederhana yang
berawal dari pelatihan motivasi.
“Apa bintang yang ingin Anda raih?” kata seorang motivator pelatihan
kepemimpinan, hampir sewindu lalu.
Lalu dia menyuruh kami menuliskan impian. Di secarik kertas. Meminta kami
menyimpannya. Mengingatnya. Aku menulisnya singkat: Tahun 2020-an menjadi
Profesor. Hah?! Impian yang rumit. Seorang anak
transmigran menjadi guru besar? Dengan latar belakang pikiran bercabang-cabang,
gagasan-gagasan liar, akibat mengaduk-aduk otak kiri dan kanan. Antara
jurnalisme, sastra dan tradisi keilmiahan. Tapi itulah mimpi,
semua boleh memilikinya bukan?
Aku terus mengingatnya. Menjadikannya marka untuk menapaki tahap demi tahap
kehidupan. Memilih berbagai karir yang muaranya di dunia akademis. Dunia yang
bisa menghantarkanku mencapai impian tadi. Setelah bertahun-tahun meniti karir
di bidang jurnalisme, menjadi profesional di industri media. Berbagai jenis
pekerjaan pernah kujalani: mulai reporter, karikaturis, layouter, desainer grafis,
redaktur, redaktur pelaksana, hingga puncaknya menjadi pemimpin redaksi. Meski
di media lokal, bukan juga media besar, aku yang anak transmigran, merasa bersyukur
bisa melalui tahapan-tahapan itu.
Keputusan memasuki dunia akademis sejak tiga tahun lalu, tak lepas dari
impian-impian kecil tadi. Menjadi pengajar jurnalisme dan rumpun komunikasi
lainnya, di salah satu perguruan tinggi negeri. Seperti sebuah puzzle. Meski
awalnya hanyalah impian-impian terpisah, namun pada akhirnya saling terkait.
Ada sudut-sudut dan celah-celah yang menghubungkan. Dan di Kota Hujan, aku
mencoba merangkai impian tadi. Sebuah impian anak transmigran: menjadi
wartawan, sastrawan dan ilmuwan. Tiga ranah yang tak terpisahkan, tidak saling
mengalahkan. Tapi saling berbagi dan melengkapi. (*)
Pekanbaru-Bogor, 2013
No comments
Post a Comment