Media Sosial, Ruang Publik Alternatif
Oleh M Badri
Baru-baru
ini masyarakat Indonesia dihebohkan tayangan video yang memperlihatkan oknum
polisi memalak turis di Bali. Video berdurasi 4.49 menit berjudul "Polisi
Korupsi di Bali/Corruption Police in Bali" itu beredar di situs video sharing Youtube. Dalam video, dengan
jelas terlihat adegan pemalakan seorang oknum polisi yang berjaga di salah satu
pos, terhadap wisatawan asal Belanda Van Der Spek yang (sengaja) melanggar lalu
lintas.
Video
yang diunggah sejak 1 April 2013 oleh pemilik akun “gil4sekali” semakin
terkenal sejak diberitakan oleh berbagai media massa. Video itu hingga hari
keempat sejak diunggah telah dilihat lebih 100 ribu kali.
Namun
setelah ramai diberitakan dan dibincangkan di berbagai media massa dan
forum-forum online, ditambah ancaman kepolisian
akan mengejar sang pengunggah, video dari akun itu tidak bisa lagi dibuka. Meski
demikian publik masih bisa melihat video serupa, karena beberapa pengguna Youtube
men-share ulang di media sosial yang
sama.
Begitulah
karakteristik media sosial. Masyarakat bisa dengan mudah mengunggah informasi
dan membagikannya. Informasi tersebut semakin menyebar ketika media sosial
berbagi pesan dengan media massa. Maka tidak heran bila informasi yang awalnya
hanya menyebar di media sosial dengan mudah diketahui oleh khalayak luas. Model
pendistribusian informasi seperti ini dapat menjadi contoh pengembangan teori komunikasi
dua tahap (two step flow of communication).
Bedanya, kalau
pada teori klasik yang dikemukakan Paul Lazarsfeld, pesan awal berasal dari
media massa yang pada tahun 1940-an aksesnya masih sangat terbatas. Pesan kemudian
diakses oleh opinion leader (pemimpin
pendapat/tokoh) di suatu komunitas. Baru oleh opinion leader disebarkan kepada anggota komunitasnya.
Sedangkan
pada distribusi pesan dari media sosial ke media massa, justru media massa yang
berperan besar menyebarkan informasi kepada khalayak. Sebab saat ini media
massa, baik cetak maupun elektronik, dapat diakses oleh seluruh masyarakat.
Sementara media sosial baru familiar bagi sebagian orang. Di Indonesia saja, berdasarkan
data Internet World Stats medio 2012, penetrasi internet baru mencapai 22,1%.
Perkembangan
internet memang berpengaruh besar terhadap perkembangan media sosial di jagad
maya. Apalagi didukung oleh teknologi gadged
yang semakin canggih dan memungkinkan akses internet dilakukan di smartphone. Ke depan media sosial
dipastikan bakal menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, karena generasi
mendatang adalah eranya digital native
(anak-anak yang hidup di dunia digital).
Mayfield
(2008) mendefinisikan media sosial sebagai pemahaman terbaik dari kelompok baru
media online. Beberapa jenis media
sosial yang populer antara lain blog, Facebook, Youtube, Twitter, MySpace, Flickr
dan sebagainya. Beragam media sosial tersebut mengakomodir berbagai bentuk
pesan, mulai teks, gambar, audio, video dan animasi.
Media
sosial memiliki beberapa karakteristik. Pertama,
mendorong partisipasi dan kontribusi dari setiap pengguna. Kedua, keterbukaan untuk umpan balik sehingga mendorong pengguna untuk memilih, berkomentar dan berbagi
informasi. Ketiga, memungkinkan untuk
komunikasi dua arah. Keempat, dapat
membentuk komunitas. Kelima, saling
terhubung dengan situs-situs lain dan media massa.
Melihat
karakteristik yang melekat di media sosial, mafhum saja kalau berbagai
informasi yang beredar di media sosial kerap menjadi “trending topic” di ranah publik. Terlepas apakah informasi tersebut
berdampak positif atau negatif bagi pihak yang bersinggungan. Di institusi
kepolisian saja, jauh sebelum video oknum polisi Bali beredar, sudah ada video
Briptu Norman di Youtube.
Realitas bahwa
publik sudah menemukan media yang demokratis dan memberikan kebebasan untuk berekspresi,
seyogianya dijadikan bahan introspeksi semua institusi pelayanan publik di
Indonesia. Sebab integritas institusi dan orang-orang di dalamnya saat ini dapat
dengan mudah diawasi oleh publik. Kalau terdapat penyelewengan, kemudian cepat menyebar
ke media sosial.
Bila
perlu, institusi justru mendorong partisipasi publik untuk mengawasi dan mempublikasikan
perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme yang mereka lihat ke media sosial. Hal
itu diharapkan dapat menjadi efek jera kepada pelaku. Sehingga aparat
pemerintah semakin berhati-hati dalam menjalankan tugas dan kewajibannya.
Ruang Publik Alternatif
Sekarang adalah
eranya publik bebas bersuara. Dimana masyarakat yang mengalami ketidakpuasan
terhadap suatu kondisi, terutama pelayanan publik, dengan mudah akan menulis
atau mengunggahnya ke media sosial. Apalagi kalau yang ditemui adalah
penyelewengan yang dilakukan aparat pemerintah. Sebagai gambaran, pada waktu
berdekatan dengan video oknum polisi memalak turis, juga beredar video yang
menunjukkan petugas bea cukai Bandara Ngurah Rai menerima suap dari turis.
Melihat fenomena
ini media sosial sepertinya sudah menjadi ruang publik (public sphere) alternatif. Dimana media sosial tidak dapat disensor, tidak
dapat dibatasi dan paling penting tidak dapat disuap. Meski demikian, UU No.
11/ 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dalam beberapa
poin memberikan pembatasan terhadap kebebasan menyampaikan informasi.
Misalnya
Pasal 27 poin (3) yang menyebutkan larangan mendistribusikan informasi
elektronik yang memiliki muatan
penghinaan atau pencemaran nama baik. Ancamannya seperti pada Pasal 45
poin (1) bisa berupa pidana penjara enam tahun
atau denda hingga Rp 1 miliar. Masalahnya, dapatkah pihak berwenang
membedakan mana pencemaran nama baik dan mana kritik sosial dari publik?
Untungnya
pengguna media sosial masih dapat berharap pada UU No. 14/2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), yang salah satu tujuannya adalah
mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu transparan, efektif dan
efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan.
Tumbuhnya
ruang publik alternatif di media sosial, memperkuat pandangan salah satu pemikir
Mazhab Frankfurt, Jurgen Habermas. Bagi Habermas, ruang publik memiliki peran
yang cukup berarti dalam proses berdemokrasi. Di dalam ruang publik opini dapat
dibangun, karena menjadi tempat orang-orang beradu pendapat secara adil dan
demokratis. Perdebatan untuk mencapai konsensus menyangkut norma-norma yang
mengatur tingkah laku mereka, tanpa ada dominasi, pemaksaan dan kekerasan di
dalamnya.
Semakin besarnya partisipasi masyarakat dalam berkomunikasi di media sosial,
tentunya dapat membentuk kepekaan publik (sense
of public). Sehingga masyarakat dapat mengawasi ketimpangan dan
penyelewengan yang menjadi perilaku buruk penyelenggaraan negara dan pelayanan
publik.
Pemaknaan
dari isu-isu seperti itu, menurut Ashadi Siregar (2008) dapat mengasah memori
kolektif dan kritisisme warga. Sebab
basis kehidupan warga dalam ruang publik adalah adanya informasi menyangkut
fakta publik yang bersifat benar dan obyektif sehingga warga dapat membentuk
pendapat (public opinion). Kemudian mereka dapat ambil bagian (sharing) secara rasional dalam kehidupan publik.
Sikap
kritis warga yang dibangun di ruang publik alternatif (dalam hal ini media
sosial), diharapkan dapat mendorong partisipasi untuk bersama-sama membangun civil society. Dimana sistem sosial dan
peradaban dibangun berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara
kebebasan individu dengan kestabilan kolektif. (*)
No comments
Post a Comment