TNI dan Pertahanan Cyber
Oleh M Badri
Pada 5 Oktober 2012 ini Tentara Nasional Indonesia (TNI)
merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-67. Dengan tema “Dilandasi Profesionalisme, Semangat Juang dan
Soliditas TNI Bersama Segenap Komponen Bangsa Siap Menjaga Kedaulatan dan
Keutuhan Wilayah NKRI”, TNI menyadari semakin besarnya tantangan dalam menjaga
kedaulatan bangsa dan negara. Dalam konteks yang lebih luas dan modern,
kedaulatan suatu bangsa pada saat ini tidak hanya dalam ruang lingkup tanah,
air dan udara. Tapi juga memasuki kedaulatan di jagad maya (cyberspace).
Kedaulatan cyberspace
saat ini perlu diperhitungkan. Sebab dunia modern yang ditandai dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, sudah
menjadikan ranah teknologi
sebagai
metode baru dalam
peperangan (cyber warfare). Perang cyber yang disebut sebagai perang modern
ini juga dipandang sebagai ancaman baru terhadap keamanan dan ketertiban
dunia.
Salah satu perang cyber
yang menarik perhatian dunia adalah serangan yang
dilakukan Rusia terhadap Estonia pada 10
Mei 2007 lalu.
Serangan cyber Rusia telah
melumpuhkan situs kepresidenan, jaringan
keuangan, hingga situs berita. Kasus lainnya yang diduga serangan cyber Israel berupa malware Stuxnet terjadi di pangkalan
misil Iran pada 12 November 2011. Hal itu
diperkuat dengan pengakuan mantan kepala staf Israel Defense Forces (IDF) bahwa
Stuxnet merupakan salah satu keberhasilan utama dia saat memimpin lembaga itu.
Korea Utara dengan Korea Selatan, dua negara bertetangga yang lama
bermusuhan juga sering terlibat dalam perang cyber. Pada
9 Juli 2009, puluhan ribu komputer terinfeksi virus ‘diperalat’
menyerang situs-situs web perbankan dan infrastruktur
penting Korsel. Intensitas
penyerangan pun semakin tinggi ketika hubungan kedua negara memanas.
Bahkan, Gedung Putih yang memiliki infrastuktur
pertahanan cyber mumpuni juga tak
luput dari serangan serdadu cyber. Ada
dugaan, serangan dilakukan oleh para hacker
asal Cina yang memang tengah gencar mengincar fasilitas-fasilitas pertahanan AS.
Serangan cyber oleh hacker Cina meningkat dalam beberapa
bulan belakangan, terutama terhadap fasilitas militer AS di Pentagon. Bahkan hacker Cina juga menyerang Google dengan
membobol akun Gmail pejabat pemerintah AS dan personel militer (Riau Pos, 3/10/2012).
Berdasarkan data ID-SIRTII (Indonesia Security Incident Response Team On Internet Infrastructure)
tahun 2011, rata-rata jumlah insiden serangan cyber per hari pada tahun 2010 mencapai 1,1 juta insiden dan
aktivitas ini cenderung akan semakin meningkat. Terutama pada situasi
geopolitik tertentu dan 50% di antara insiden tersebut tergolong high priority alert.
Matra Pertahanan
Melihat kekuatan dan ancaman yang dapat terjadi akibat
kemajuan teknologi informasi, banyak negara mulai membangun kekuatan angkatan
perang cyber. Sebab perang cyber saat ini bukan lagi sekadar game
virtual dan cerita fiksi, tapi sudah menjadi bagian dari percaturan dunia. Al Jazeera (19/2/2012) menyebutnya
sebagai 'fifth dimension of warfare'
selain darat, laut, udara dan ruang angkasa. Alasannya, inovasi teknologi
sedang mengubah taktik perang modern, mengubah dunia cyber menjadi garis depan pertempuran.
Dijadikannya cyberspace
sebagai matra perang kelima cukup beralasan, karena semua negara pasti ingin
meningkatkan kemampuan untuk mengamankan diri dari serangan musuh. Sebab kemajuan
pesat teknologi informasi dan komunikasi
dewasa ini akan
menjadi landasan penting bagi
pengembangan doktrin militer di masa mendatang. Dengan demikian teknologi
informasi dan komunikasi akan
sangat mempengaruhi perubahan
strategi militer (Widodo, 2011).
Deputi Menteri Pertahanan AS William J. Lynn (2010) menyatakan
bahwa Pentagon telah secara resmi mengakui dunia maya sebagai domain baru dalam
perang. Domain tersebut sama pentingnya dengan darat, laut, udara, dan ruang
angkasa dan dioperasikan secara doktrinal militer. Sebab skala ancaman cyberwarfare untuk keamanan nasional dan
ekonomi AS sangat jelas terlihat, sehingga Pentagon membangun pertahanan
berlapis dan kuat di sekitar jaringan militer dan meresmikan U.S. Cyber Command untuk
mengintegrasikan operasi cyberdefense
di militer.
Korea Utara juga memiliki unit perang cyber cukup tangguh. Departemen Rahasia
Musuh Korea Utara memiliki angkatan cyber
yang mengkhususkan diri pada peperangan informasi lewat internet. Kekuatannya diperkirakan
sekitar 3000 hacker. Mereka terlatih
menyabot jaringan komando, kontrol, dan komunikasi militer musuh (Vivanews, 5/8/2011).
Karena itulah banyak negara kini telah membangun
inisiatif National Cyber Security
yang bertugas untuk menyusun aturan dan kebijakan nasional menyangkut upaya
pengamanan sumber daya informasi, perlindungan infrastruktur strategis dan
mengembangkan kemampuan respon serta koordinasi lintas sektoral.
Pertahanan militer berbasis cyber penting bagi Indonesia. Karena di negara ini semakin banyak
infrastruktur strategis dan layanan publik yang bergantung pada sistem
informasi, teknologi dan jaringan internet. Sehingga rentan terhadap ancaman,
gangguan dan serangan dari pihak lain. Seperti sistem transmisi dan distribusi energi,
sistem pertahanan udara, sistem transportasi, layanan publik, perbankan dan
sebagainya.
Posisi
TNI
Banyaknya negara yang mulai memperkuat basis pertahanan
dan angkatan perang cyber memang
cukup beralasan. Sebab berdasarkan data Internet World Stats per 31 Desember
2011 menunjukkan jumlah pengguna internet dunia mencapai 2.267.233.742 atau 32,7%
dari populasi penduduk. Sedangkan pengguna internet di Indonesia sudah mencapai mencapai 55
juta pengguna atau 22,4% dari populasi.
Menurut analisa Lemhanas, secara
teori pada prinsipnya hal tersebut sangat dimungkinkan, apabila melihat berbagai potensi, kapabilitas dan
infrastruktur komunikasi serta jaringan komputer internet yang dimiliki TNI
saat ini. Berbagai potensi di bidang Air
Power, Territory, Maritime, ISR (Intelligence, Surveillance & Reconaisance),
serta potensi kemampuan sumber daya personil militer dan pasukan tempur yang
dimiliki TNI, merupakan modal dasar yang kuat dan cukup signifikan. Sehingga sistem
komando dan kendali (Siskodal) seperti sistem komando kendali militer modern berupa NCW
(Network Centric Warfare) juga dapat
diimplementasikan dalam operasi militer TNI dalam rangka menghadapi cyber warfare.
Dalam membangun kekuatan pertahanan cyber ini, berbagai keahlian yang perlu dimiliki misalnya di bidang
strategi keamanan dan pengamanan serta serangan informasi (information security and warfare), ahli meretas (hacking), spionase (espionage), forensik digital (digital
forensic) dan analis keamanan jaringan (network
security analyst).
Melihat berbagai realitas tersebut, penulis
menyimpulkan ketika logika perang mengalami perubahan dari konvensional menuju perang cyber, maka TNI pun
dituntut kesiapannya mengimplementasikan teknologi perang modern guna menjaga
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ditambah lagi saat ini semakin
banyak infrastruktur kritikal Indonesia yang bergantung pada teknologi elektromagnetik dan teknologi
informasi dan komunikasi. Kalau infrastruktur komando pasukan cyber tidak disiapkan sejak dini, maka
dikhawatirkan Indonesia berada di posisi inferior dan tidak memiliki posisi
tawar dalam percaturan sistem pertahanan dunia modern masa mendatang.
Apalagi dalam konteks komunikasi internasional,
keharmonisan hubungan antarnegara tidak menjamin terlepas dari bahaya laten
pertempuran cyber. Meski secara
eksplisit negara-negara menjalin hubungan diplomatik yang baik. Hal tersebut
tidak banyak diketahui publik, karena tidak semua negara mau merilis terjadinya
pertempuran dunia maya dengan berbagai alasan. Salah satunya menghindari
provokasi perang konvensional. (*)
No comments
Post a Comment