Banalitas Politik di Media Sosial
Oleh M Badri
Konstelasi perpolitikan Indonesia semakin memanas menjelang pemilihan pilpres 2014. Terutama setelah publik mengetahui kandidat yang bertarung hanya dua pasang, Jokowi-Jusuf Kalla dan Prabowo-Hatta Rajasa. Dengan demikian konsentrasi dukungan publik mengerucut pada dua pasangan tersebut. Apalagi keduanya juga memiliki pendukung fanatik. Tidak hanya di dunia nyata, media sosial pun menjadi ajang ‘perang’ kedua kelompok pendukung.
Internet yang terus mengalami perkembangan dengan munculnya berbagai platform media sosial memang menjadi euforia tersendiri bagi penggunanya. Apalagi setelah jaringan dan perangkat untuk mengoperasikannya semakin mudah dan murah. Tidak heran kalau Indonesia termasuk 10 negara dengan jumlah pengguna media sosial terbanyak di dunia.
Sebagai media sosial, sejumlah platform populer seperti Facebook, Twitter, YouTube dan Blog kini menjadi ruang publik (public sphere) alternatif untuk menuangkan gagasan dan membangun dialektika. Sehingga penggunanya bebas melakukan interaksi dan transaksi pesan dengan cara mendukung, menolak, melakukan kritik, hingga aksi sosial. Publik tentu saja senang dengan adanya media modern yang mudah, murah, tanpa sekat ruang dan waktu ini.
Tapi kemudian yang menjadi persoalan, kebebasan bermedia di jagat maya tersebut tidak dibarengi dengan perilaku etis penggunanya. Lihat bagaimana akun pengguna media sosial kita, dalam beberapa pekan terakhir dibanjiri beragam pesan politik tidak elok. Pesan-pesan cenderung fitnah dan saling mendiskreditkan, lengkap dengan caci maki terus bermunculan di berbagai media sosial. Pesan ‘sampah’ tersebut saling terhubung dan tertaut, terus muncul meski tidak dikehendaki kehadirannya.
Kebhinekaan Indonesia yang mulai tertata kini dicederai pesan-pesan perusak keharmonisan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) yang disebarkan atas nama politik. Terutama sentimen keagamaan yang masih menjadi persoalan sensitif di negeri ini. Kalau perilaku politik seperti itu terus dibiarkan, tentunya menjadi kemunduran dalam upaya membangun iklim demokrasi yang sehat.
Kebebasan yang ditafsirkan tanpa batas akan menjadi persoalan serius pada hajatan politik di abad digital. Apalagi, kedua tim sukses capres-cawapres sama-sama menyatakan ‘perang’ di dunia maya. Mereka terus membangun kekuatan pasukan siber dengan koalisinya masing-masing. Tapi sangat disayangkan, kalau yang terjadi justru perang kampanye hitam (black campaign). Bukan beradu gagasan politik cerdas dan ide-ide pembangunan brilian.
Fenomena tersebut sangat kontraproduktif dengan hakikat keberadaan media sosial itu sendiri. Sebab media sosial, terutama dengan platform utama jejaring sosial, hadir untuk membangun interaksi sosial para penggunanya. Tujuannya agar saling terhubung dan mempererat pertemanan di antara pemilik akun. Tapi kalau konten yang disebarkan justru pesan-pesan kebencian, fitnah, caci maki, dan beragam energi negatif lainnya, media tersebut justru menjadikan penggunanya sebagai mahluk antisosial.
Fanatisme Buta
Kalau diamati, pengguna media sosial yang paling agresif menebar kebencian dan hujatan, sebagian besar bukan tim sukses resmi capres-cawapres. Tapi para penggembira (simpatisan) yang memuja idolanya setinggi langit dan membenci pesaingnya sedalam perut bumi. Sebab sebuah tim kampanye siber yang terorganisir akan mengkonstruksi pesan secara sistematis. Melakukan kampanye di dunia maya dengan perencanaan, pengorganisasian dan eksekusi yang matang. Tujuannya juga jelas dengan terukur.
Berbeda dengan para penggembira yang saling serang hanya berdasarkan fanatisme buta. Dengan logika kacamata kuda yang melihat kebenaran hanya dari persepsi dan pencitraan terhadap idolanya semata. Mereka menutup mata, hati, dan pikiran di luar tokoh yang mereka fanatikkan. Sehingga menafikan kebenaran dan kebaikan-kebaikan tokoh lainnya. Akibatnya, para penggembira tersebut tidak bisa lagi membedakan fakta dan rekayasa. Sebab logika berpikirnya sudah diracuni virus kebencian dan pemujaan semu.
Para penggembira barangkali tidak berpikir, siapa pun presiden yang terpilih mereka tidak bakal menjadi apa-apa. Sebab posisi menteri dan jabatan strategis lainnya sudah milik mitra koalisi. Jatah para elit yang mungkin bisa berkomunikasi lebih bijak dan menggunakan retorika lebih cerdas. Ketika pemilihan presiden usai, para penggembira tetap seperti itu juga. Dengan rutinitas dan status sosial yang sama.
Mungkin yang bakal berbeda adalah hubungan sosial dengan orang-orang yang masuk dalam lingkaran jejaring sosialnya. Merekalah yang selama ini menjadi musuh debat kusir, adu kebencian dan propaganda negatif. Teman Facebook dan follower Twitter yang sebelum pilpres bisa saling tegur sapa, kini dan setelahnya barangkali akan berubah menjadi saling benci.
Ketidaknyamanan pengguna media sosial yang akunnya dipenuhi ‘sampah’ politik dikhawatirkan juga akan meningkatkan angka golput. Sebab mereka yang bukan penggembira beraliran fanatisme buta, semakin lama semakin muak dengan pesan-pesan banal (KBBI: kasar, tidak elok) tersebut. Sehingga mereka yang sedang menimang dan menimbang pilihan, semakin apatis dengan demokrasi yang dikotori oleh perilaku komunikasi para penggembira itu.
Tidak ada yang bisa menghentikan banalitas politik di media sosial tersebut, selain pengguna media sosial itu sendiri. Sebab Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengatakan bahwa kampanye hitam di media sosial, saat ini belum tersentuh oleh hukum. Peraturan KPU masih terbatas pada media mainstream. Belum menjangkau konten komunikasi politik di media sosial yang berkembang pesat dan liar. Bukankah berkomunikasi di media sosial dengan santun mencerminkan diri kita sebagai makhluk beradab?***
Dimuat di Riau Pos: 3 Juni 2014
No comments
Post a Comment