Tiga Belas Jam di Baduy Dalam
Malam baru
saja merayap. Samar-samar kami mulai melihat siluet gubuk-gubuk bambu leuit. Lumbung padi tradisional itu berjejer
rapi di tepi hutan. Aroma kehidupan segera tercium dari kejauhan. Berpadu
dengan harum lumpur dan dedaunan basah. Senja yang mistis. Hening berbaur
dengan suara hewan nokturnal yang mulai keluar sarang. Setelah melalui jembatan
bambu dengan air sungainya yang deras, kami sampai di perkampungan itu.
Warga Kampung Cibeo yang dihuni suku Baduy Dalam segera menyambut dengan ramah, pada Sabtu (17/5/2014) sore. Jauh dari kesan
kaku dan seram. Seperti persepsi kebanyakan warga kota terhadap suku-suku
pedalaman. Salah satu warga Baduy, dengan ramah mengantar kami mencari rumah
tempat bermalam. Dalam gelap, kami mengikuti gerak kakinya yang lincah menjejak
batu-batu di jalan setapak mengitari rumah-rumah warga. Tak ada penerangan
memadai. Hanya lampu minyak dan lilin yang samar-samar menerangi perkampungan.
Hap! Setelah
melompati batu terakhir, akhirnya rumah yang dituju terlihat juga. Sebuah rumah
panggung dari bambu, berlantai kayu. Di sana beberapa rekan kami yang lebih
dulu tiba sudah menunggu. Pak Fajrid, pemilik rumah mempersilahkan kami masuk.
Dua anak kecilnya nongol dari balik bilik. Mereka tersenyum ramah. Bahasa
tubuhnya menyiratkan persahabatan.
“Kalau mau
bersih-bersih silahkan ke sungai,” kata pemilik rumah, sambil menunjuk ke arah suara
gemericik air yang terlindung sebuah pohon besar. Terlihat seram dan gelap. Sungai
itu juga terlindung rumpun bambu. Setelah istirahat sejenak saya pun segera
menuju sungai. Melalui jalan setapak yang sepi.
Sungai di
Kampung Cibeo itu mengalir lembut setinggi lutut. Airnya bersih dan sejuk.
Meskipun hujan baru saja mengguyur perkampungan. Mandi di sungai berbatu menjadi
sensasi luar biasa. Tak ada sampah dan benda pencemar. Sifat alaminya menyatu
dengan kehidupan penduduknya yang bersahaja. Secara administratif, Kampung Cibeo merupakan bagian dari Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.
“Mandi, Kang?”
tiba-tiba saya dikejutkan oleh suara orang yang baru muncul dari kegelapan. Sambil
membawa sebatang lilin, ia menuruni tangga batu menuju dasar sungai. Setelah
melepas ikat kepala dan pakaian, ia segera menyeburkan diri. Namanya Pak An,
warga kampung itu juga.
Setelah kenalan
dan basa-basi sebentar, ia pun berbagi bercerita. Seperti kebanyakan warga
Baduy Dalam, mereka senang menceritakan kampung halamannya. Sungai itu bersih
dan segar karena memang penduduk menjaganya. Ada aturan adat tidak boleh mengotori
lingkungan. Aturan itu juga berlaku bagi para pendatang.
“Di sini tidak
boleh pakai sabun dan sampo,” katanya. Persis seperti yang disampaikan pemandu perjalanan
kami ke Baduy Dalam. Memang kedua perlengkapan mandi itu, plus pasta gigi
diharamkan di kawasan itu. Mandi cukup dengan menyiram air ke tubuh. Harum sumber air alami sudah
cukup menyegarkan. Apalagi di sekitar sungai tumbuh kembang-kembang liar nan wangi.
Dari cerita
Pak An, sungai itu sendiri dibagi menjadi tiga kawasan. Kawasan untuk warga
biasa ada di bawah. Salah satunya tempat kami mandi. Di atasnya ada kawasan
untuk Jaro (pemimpin pemerintahan) dan
keluarganya. Semakin ke hulu diperuntukkan untuk Pu’un (pemimpin adat) dan keluarganya.
“Saya duluan
ya, Kang,” katanya ramah, sambil bergegas beranjak dari sungai. Tapi saya yang
sudah belasan tahun tidak merasakan berendam di sungai, masih ingin
berlama-lama di sana. Berendam sambil memandangi bintang-bintang yang
meramaikan dirgantara. Juga bulan yang membagikan cahayanya melalui celah
daun-daun bambu.
Segarnya air sungai
Kampung Cibeo menghilangkan lelah dan penat 10 jam perjalanan. Bermula dari stasiun
Tanahabang, sekitar pukul 07.30 kami berangkat dengan kereta api yang merangkak
pelan-pelan menuju stasiun Rangkasbitung, Lebak, Banten. Perjalanan dilanjutkan
dengan angkutan minibus menuju Ciboleger, desa terluar sebelum masuk ke perkampuangan
suku Baduy.
Setelah istirahat dan memenuhi kebutuhan logistik,
sekitar jam 13.00 kami mulai berjalan kaki melewati perkampungan suku Baduy
Luar. Baru beberapa langkah, hujan mengguyur deras. Tapi kami tetap melanjutkan
perjalanan, karena tidak ingin kemalaman di jalan. Sebab medan menuju
perkampungan suku Baduy Dalam cukup berat. Melalui jalan setapak yang licin dan
berlumpur kala hujan. Jalurnya naik turun dengan terjal. Membelah punggung
bukit dan lembah.
Memang, dari
sejumlah literatur yang pernah saya baca, masyarakat Baduy Dalam merupakan salah
satu suku yang hidupnya masih terasing atau mengasingkan diri dari keramaian.
Mereka tidak mau tersentuh oleh kegiatan pembangunan. Praktis perkampungan
tersebut tidak teraliri listrik, tidak memiliki
fasilitas kesehatan dan pendidikan formal, apalagi sarana transportasi. Permukiman penduduknya juga
sangat sederhana. Mereka bermukim di bagian dalam atau hulu Sungai Ciujung. Ada
tiga kampung yang mereka tinggali, yaitu Cikeusik, Cikawartana dan Cibeo. Mereka
tidak pernah menambah jumlah kampung.
***
Malam mulai
larut. Binatang nokturnal semakin riang mengeluarkan bunyi-bunyian dari tempat
persembunyiannya. Menciptakan harmoni irama alam yang merdu. Kerlap-kerlip
lampu minyak dan lilin di rumah-rumah warga, berbaur dengan cahaya
kunang-kunang yang rajin mengitari permukiman. Malam yang eksotis. Apalagi di langit bulan terang diapit gugusan awan.
Romantis bukan?
Malam itu,
kami beruntung mendapat kesempatan berdialog dengan Jaro Sami. Kepala Kampung
Cibeo itu, sudah menunggu di rumahnya yang sederhana. Saya dan puluhan
pengunjung lainnya, segera berkumpul
di beranda dan halaman rumahnya. Mencari posisi yang nyaman untuk duduk sambil mendengarkan
berbagai cerita dari Jaro Sami. Tentang perkampungan dan sejarah Suku Baduy,
yang selama ini hanya kami baca dari cerita-cerita di laman maya.
“Saya
mengucapkan terimakasih kepada adik-adik yang sudah jauh-jauh datang
mengunjungi perkampungan kami. Memang beginilah keadaannya, kampung kami
sederhana,” kata Jaro Sami, memulai dialog. Tokoh kampung itu terlihat
berwibawa. Suaranya datar tapi menggema. Wajahnya terlihat tegas dengan kumis
dan jenggot tipis. Raut mukanya menunjukkan tanda seorang pemimpin yang
disegani di komunitasnya.
Dari penuturan
Jaro Sami, Suku Baduy merupakan bagian dari komunitas masyarakat Sunda. Mereka
menganut keyakinan Sunda Wiwitan, suatu
kepercayaan yang lekat dengan suku Sunda masa lampau. Selain mempercayai keberadaan
Tuhan, mereka mempercayai pikukuh nenek
moyang. Aturan adat yang menjadi pedoman bagi aktivitas masyarakat Baduy Dalam.
Mereka juga menjadikan alam sebagai sandaran kehidupan. Tidak heran kalau hidup
mereka menyatu dengan alam raya.
“Kami sangat
menjaga kelestarian alam dan lingkungan. Tidak boleh merusak alam karena akan
mengganggu keseimbangan kehidupan,” kata Jaro Sami dengan bijak. Perkataan itu,
menyiratkan betapa mereka menjadi benteng terakhir perlindungan alam dan lingkungan yang semakin rusak ini. Kearifan
lokal yang mereka pertahankan dan wariskan turun-temurun, menjadikan komunitas
tersebut bertahan dari gempuran kemajuan.
Untuk
membedakan masyarakat Baduy Dalam dengan Baduy Luar cukup mudah. Warga Baduy
Dalam selalu berpakaian dan ikat kepala putih. Sedangkan Baduy Luar umumnya berpakaian
hitam dan ikat kepala batik. Bila masyarakat Baduy Dalam tidak boleh
menggunakan perangkat teknologi apa pun, tidak demikian Baduy Luar. Bahkan
Baduy Luar sudah familiar dengan teknologi komunikasi modern.
Dalam beberapa
tahun terakhir ini Baduy Dalam memang menjadi destinasi alternatif. Lingkungan
perawan, magnet bagi wisatawan. Mengunjungi Baduy Dalam, pelancong mendapatkan
tiga hal sekaligus. Pertama, wisata
alam menjelajahi jalan setapak membelah perbukitan dan ladang-ladang. Kedua, wisata budaya melihat kearifan
lokal dengan nilai-nilai tradisi yang masih dipertahankan. Ketiga, wisata spiritual menghayati harmoni manusia, lingkungan dan
Sang Pencipta.
Kawasan Baduy
Dalam memang terbuka bagi wisatawan. Kecuali pada bulan Kawalu, masa panen tiga
bulan berturut-turut sekitar Februari hingga April, Baduy Dalam tertutup bagi orang
luar. Sebab warga merayakannya dengan penuh khidmat dan khusyuk. Berdoa kepada
Tuhan agar diberi rasa aman, damai dan kesejahteraan. Saya sendiri berkunjung
tidak lama setelah Kawalu usai.
Tapi kehadiran
wisatawan diakui Jaro Sami memberikan sedikit perubahan pada kehidupan
masyarakat Baduy Dalam. Tetapi perubahan yang terjadi masih sebatas pada pola konsumsi.
Tidak sampai pada adat istiadat yang sudah diwariskan oleh nenek moyang mereka.
Misalnya pada pola makan, sebelum kehadiran wisatawan mereka mengkonsumsi produk
hasil pertanian saja. Namun setelah ada wisatawan mereka mulai tertarik mengkonsumsi
produk kemasan seperti kue, sarden, mi instan, dan sebagainya.
“Kalau
kebiasaan makan memang ada perubahan. Kalau dulu kita tidak kenal kue tapi
sekarang kita juga banyak makan makanan kemasan. Tapi kalau masalah pakaian dan
adat-istiadat tidak ada perubahan dari dulu sampai sekarang,” kata Jaro Sami
ketika saya tanya tentang kemungkinan terjadinya perubahan, akibat kerap dikunjungi
wisatawan.
Selain pola
konsumsi yang berubah, generasi muda mereka juga mulai banyak yang memahami
Bahasa Indonesia. Terutama mereka yang sering ke luar kampung dan berinteraksi
dengan dunia luar. “Belajarnya satu sama lain, tidak di sekolah,” Jaro Sami
menjelaskan dengan Bahasa Indonesia yang fasih.
Di kampung itu
sekolah formal memang masih menjadi sesuatu yang tabu. Bertentangan dengan
aturan adat. Sehingga transfer pengetahuan hanya dilakukan secara informal.
Saling belajar di antara mereka. Sekolah formal dikhawatirkan akan merusak
tatanan adat yang telah moyang mereka bangun sejak dulu. Tapi mereka tidak
bodoh. Daya tangkap mereka terhadap hal-hal baru sangat luar biasa. Mereka
cepat menyerap informasi, tapi mampu menyaringnya. Pengetahuan yang tidak
bertentangan dengan adat masih bisa mereka terima. Sebaliknya, hal-hal baru
yang berpotensi merusak tatanan akan mereka hindari.
Dari beberapa
cerita yang kami dengar, orang asing tidak boleh masuk kawasan Baduy Dalam. Baik
selama di perjalanan maupun di perkampungan mereka, tidak sekalipun terlihat
wajah bule dan oriental. “Memang warga asing tidak boleh sampai ke sini, mereka
hanya boleh sampai Baduy Luar saja. Sudah dari dulu begitu, pantangan dari
nenek moyang,” kata Jaro Sami menjawab pertanyaan penasaran salah seorang rekan
kami.
Pantangan dari
nenek moyang. Larangan adat. Kata itu sering kami dengar ketika bertanya
tentang laku kehidupan mereka yang tidak biasa. Dua kata itu berarti selesai.
Titik. Tidak boleh lagi diperdebatkan. Kalau sudah menyangkut pikukuh nenek moyang dan aturan adat,
berarti sudah menyangkut harga diri dan nasib komunitas. Pelanggar pasti
mendapat sanksi adat. Paling berat, dikeluarkan dari komunitas mereka. Diusir
dari kampung dan tidak diakui sebagai warga Baduy Dalam. Lebih apes lagi, mereka
bisa mendapat malapetaka.
Contoh kecil,
mereka pergi ke mana-mana tidak boleh memakai alas kaki. Tidak boleh menumpang
alat transportasi. Jika mereka melanggar akan mendapat sanksi adat yang berat.
Dianggap murtad sebagai Baduy Dalam. Bahkan bisa celaka di perjalanan. “Pernah
ada yang melanggar terus mengalami kecelakaan,” kata salah seorang warga.
Soal cinta
juga sekarang menjadi masalah serius di kampung tersebut. Memang, suku Baduy
Dalam hanya boleh melakukan perkawinan di antara mereka. Gadis Baduy Dalam tidak
boleh kawin dengan suku Baduy Luar, apalagi pendatang. Mungkin itu salah satu
cara untuk mempertahankan keberadaan komunitas mereka. Menjaga keluarga mereka
dari kontaminasi budaya luar. Sehingga pikukuh
nenek moyang masih bisa diwariskan turun-temurun.
“Tapi sekarang
sudah agak longgar. Orang tua tidak bisa begitu saja menjodohkan anaknya.
Anak-anak harus setuju kalau dijodohkan. Kalau tidak ya akan dicari pasangan
lain yang cocok,” kata Jaro Sami.
Tapi untuk
urusan kawin dengan sesama Baduy Dalam tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kalau ada
yang nekat kawin dengan orang luar, sama dengan melanggar adat dan keluar dari
Baduy Dalam. Tidak boleh lagi tinggal di lingkungan tersebut. “Tapi ada juga
satu dua yang melanggar. Namanya juga anak muda sekarang kalau sudah cinta bisa
nekat,” Jaro Sami tersenyum sinis menceritakan perilaku sebagian kecil pemuda
kampungnya.
Mungkin itu
juga jawabannya, mengapa kami tidak pernah menjumpai gadis kampung Baduy Dalam.
Gadis-gadis kampung itu seperti dipingit. Tidak boleh menampakkan diri kepada kaum
Adam pendatang. Mereka hanya keluar setiap pagi buta, itu pun hanya untuk pergi
ke sungai. Padahal, konon gadis-gadis kampung Baduy Dalam cantik jelita.
Kulitnya putih bersih. Parasnya cantik alami tanpa polesan. Gadis pedalaman
yang sejak kecil disepuh harum kembang hutan.
***
Pagi berangsur-angsur
membuka tirai kehidupan Kampung Cibeo. Permukiman yang sebelumnya terlihat
samar kini semakin benderang. Rumah-rumah bambu beratap ijuk dan rumbia
berjejer rapi. Dikelilingi hutan dan rimbun bambu. Suasananya tenang. Dibungkus
hawa dingin, sejuk tidak menusuk. Kebisingan hanya terdengar dari aktivitas
para pendatang. Wisatawan yang ramai berkunjung saat akhir pekan.
Saya segera
bergegas ke sungai. Menikmati aliran airnya yang sejuk. Mengalir perlahan
membelah gugusan bebatuan. Melihat anak-anak kecil bermain riang di jembatan
bambu gantung. Memandangi para pendatang dengan penuh persahabatan. Seorang
pemuda kampung, terlihat berdiri di pinggir sungai. Tersenyum ramah.
“Sedang apa,
Kang?” kataku membuka percakapan.
“Mengantar
tamu ke tempat pembuangan,” katanya sambil tertawa lirih. Aku paham maksudnya.
Menunjuk ke salah satu tempat tidak jauh dari sungai yang khusus digunakan
untuk pembuangan sisa pencernaan. Agar tidak mengotori sungai. Sebab sampai ke
hilir juga masih digunakan warga untuk mandi dan keperluan sehari-hari.
Kami pun
berbincang-bincang ringan, tentang Baduy Dalam. Dia tidak keberatan berbagi
cerita tentang kampung halamannya. Ceritanya juga persis seperti yang saya
dengar dari Jaro Sami dan warga lainnya.
“Saya sering
ke Jakarta, bahkan sampai ke Bogor dan Bekasi,” kata Yan, pemuda berusia 20-an
tahun itu. Logat Bahasa Indonesianya terdengar agak gaul. Memang beberapa bulan
sekali dia kerap ke luar kampung. Selain untuk berjualan hasil hutan dan
kerajinan, juga untuk menyambangi kenalan yang ada di kota.
“Seringnya nganter madu dan golok pesanan,”
ujarnya. Ia selalu berjalan tanpa alas kaki ke kota-kota yang dituju itu. Lama perjalanan
bisa seminggu hingga setengah bulan. Memang, madu dan golok Baduy Dalam cukup
terkenal di kalangan luar. Harga satu botol madu sekitar 75 - 100 ribu rupiah.
Sedangkan golok kualitas terbaik mencapai 300 ribu rupiah. Bahkan ada yang
lebih mahal.
“Kalau malam
di perjalanan, biasa menginap di mana?”
“Seringnya
kalau tidak di rumah kenalan ya di kantor polisi. Kadang juga di rumah
perangkat desa yang kita lewati,” katanya bercerita ihwal pengalaman
perjalanannya. Untuk menemukan alamat yang dituju juga bukan persoalan sulit.
Dengan bermodalkan secarik kertas berisi alamat, dipastikan dia dapat
menemukannya.
“Biasanya
tanya ke tukang ojek, mereka banyak tahu, he-he-he...”
“Naik ojek?”
“Ya tidaklah, cuma
bertanya...”
“Ngomong-ngomong,
sudah kawin belum?”
“Belum...”
Dia tersenyum
malu-malu.
“Kalau kawin
maunya dengan gadis Baduy Dalam apa luar?”
“Belum tahu
juga, ha-ha-ha...”
Begitulah,
kaum muda Baduy Dalam kini banyak yang semakin terbuka. Memahami perubahan
sebagai sebuah realitas. Tapi tetap saja, pikukuh
nenek moyang dan aturan adat menjadi pagar kasat mata yang membentengi
kehidupan mereka dari kontaminasi budaya luar. Meski tidak signifikan, kehadiran
wisatawan yang mencapai ratusan orang setiap akhir pekan, tetap memancing terjadinya
perubahan. Sebab bagaimanapun, interaksi dengan masyarakat berbeda budaya akan
menghasilkan pengetahuan dan pengalaman baru. Pengalaman baru itulah yang
kemudian perlahan-lahan memberikan warna berbeda bagi kehidupan suku Baduy
Dalam.
Namun sampai
kapan mereka akan bertahan? Apalagi, kami melihat sebagian pendatang mulai
tidak menaati aturan. Pada beberapa bagian sungai, saya menemukan sampah yang
dibuang sembarangan. Ada juga yang tidak mematikan telepon genggam. Meski sekadar
untuk melihat jam atau menghidupkan alarm. Lebih dari itu, nilai-nilai komersil
sudah mulai masuk ke kawasan tersebut. Nyaris tidak ada lagi sistem barter
seperti pada masa lalu. Semuanya kini dapat dinilai dengan uang.
“Mungkin
setelah ini, saya akan membatasi kunjungan ke sini,” kata Gress, pengelola
kegiatan wisata yang beberapa kali membawa rombongan pelancong ke Baduy Dalam.
“Kalau terlalu
sering didatangi wisatawan, saya khawatir adat-istiadat mereka, kebudayaan
mereka, lingkungan mereka akan semakin rusak. Sebab tidak semua wisatawan
mematuhi aturan. Takutnya ada yang membawa pengaruh buruk bagi kehidupan
mereka,” katanya, sambil menyeruput segelas kopi manis di gelas bambu. Di
balai-balai rumah panggung tempat kami bermalam.
Lalu, kami pun
segera berkemas. Sebab pengunjung hanya boleh menginap satu malam. Menata
perlengkapan pribadi ke dalam ransel. Tidak lupa memasukkan sampah-sampah
plastik, membawanya pulang. Tidak ada yang kami tinggalkan, selain beberapa
bungkus makanan kemasan untuk keluarga tuan rumah. Kami pun hanya membawa
pulang pengalaman dan beberapa hasil kerajinan. Keelokan perkampungan tersebut
masih tabu untuk diabadikan dalam kamera. Tapi keramahan, ketulusan dan
persahabatan warga Baduy Dalam tetap lekat di memori kami.
Matahari
menyembul di balik bukit. Semburat cahayanya memendar dari rumpun bambu. Terang
dan eksotis. Kami segera berkumpul di tanah lapang. Berdoa untuk keselamatan
perjalanan pulang. Kembali melewati jalan setapak, naik turun bukit dan lembah.
Setelah satu malam melihat dan berinterakasi dengan kehidupan suku Baduy Dalam. Meresapi kearifan
budayanya. Lokalitasnya yang terpelihara. Menghayati laku hidupnya. Melihat
bagaimana manusia merawat alam, alam merawat manusia. (*)
No comments
Post a Comment