Revitalisasi Masyarakat Peduli Api
Foto: gurindam12.co |
Oleh M Badri
Penyelesaian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Provinsi Riau masih jauh panggang dari api. Indikasinya, setiap musim kemarau kasus karhutla terus terjadi. Misalnya dalam beberapa hari terakhir, kabut asap semakin pekat dan kualitas udara terus memburuk. Dampaknya juga masih sama, mengganggu kegiatan pendidikan, perekonomian dan transportasi. Melihat realitas ini, sudah saatnya pemerintah merevitalisasi Masyarakat Peduli Api (MPA) untuk melakukan pencegahan.
Penyelesaian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Provinsi Riau masih jauh panggang dari api. Indikasinya, setiap musim kemarau kasus karhutla terus terjadi. Misalnya dalam beberapa hari terakhir, kabut asap semakin pekat dan kualitas udara terus memburuk. Dampaknya juga masih sama, mengganggu kegiatan pendidikan, perekonomian dan transportasi. Melihat realitas ini, sudah saatnya pemerintah merevitalisasi Masyarakat Peduli Api (MPA) untuk melakukan pencegahan.
Hal itu penting dilakukan agar upaya pemerintah melakukan
pemadaman karhutla tidak hanya menjadi kebijakan reaktif. Karena tidak sedikit anggaran
yang harus dikeluarkan untuk pemadaman karhutla, baik konvensional, bom air,
maupun menciptakan hujan buatan dengan teknologi modifikasi cuaca. Logikanya,
mencegah lebih baik daripada memadamkan.
Berkaca dari kasus karhutla 2014 lalu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) harus mengeluarkan dana hingga Rp355 miliar untuk mengatasi karhutla yang sebagian besar terpakai untuk menanggulangi karhutla di Riau. Pada kebakaran 26 Februari-4 April 2014, BNPB menghabiskan dana Rp134 miliar. Tahun sebelumnya bencana asap menelan dana Rp103 miliar. Meski biayanya besar, mau tidak mau BNPB harus keluar dana karena bencana tersebut bisa berdampak luas pada masyarakat (riaupos.co, 26 Juni 2014).
Alokasi dana untuk mengatasi karhutla yang mencapai ratusan
miliar itu baru dari BNPB. Belum termasuk anggaran yang dikeluarkan Pemprov Riau
maupun Pemkab/ Pemko di Riau yang daerahnya dilanda bencana karhutla. Ratusan
miliar anggaran yang digunakan untuk pemadaman api seharusnya dapat dikurangi, bila
pemerintah serius memberdayakan masyarakat di sekitar kawasan rawan karthutla.
Pentingnya pemberdayaan masyarakat melalui pembentukan
kelompok MPA ini cukup logis dan ilmiah. MPA menurut Peraturan Dirjen PHKA
Kemenhut No: P. 2/IV-SET/2014 yaitu masyarakat yang secara sukarela peduli
terhadap pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang telah dilatih/ diberi
pembekalan serta dapat diberdayakan untuk membantu kegiatan pengendalian
kebakaran hutan.
Dimana tugas MPA antara lain memberikan informasi kepada
pihak berwenang terkait kejadian kebakaran dan pelaku pembakaran, menyebarluaskan
informasi peringkat bahaya kebakaran hutan dan lahan, melakukan penyuluhan
secara mandiri atau bersama-sama dengan petugas, serta melakukan pertemuan
secara rutin dalam rangka penguatan kelembagaan.
Pembentukan MPA penting dilakukan karena dalam UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana disebutkan bahwa bencana kebakaran hutan dan lahan merupakan
salah satu potensi bencana yang disebabkan oleh faktor alam maupun nonalam (faktor
manusia). Apalagi studi dan analisis yang dilakukan oleh berbagai pihak
berkompeten, baik lembaga pemerintahan maupun organisasi-organisasi nasional
dan internasional menyimpulkan bahwa hampir 100 persen kebakaran hutan dan
lahan di Indonesia disebabkan oleh perbuatan manusia (Syaufina, 2008).
Penguatan MPA
Saat ini di Provinsi Riau sebenarnya sudah terdapat puluhan,
bahkan mungkin lebih 100-an MPA. Kelompok tersebut umumnya merupakan hasil
binaan dari berbagai instansi pemerintah, perusahaan perkebunan dan kehutanan,
dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Namun tidak semua MPA menjalankan
fungsinya dengan baik dalam pencegahan karhutla. Banyak MPA yang dibentuk hanya
berdasarkan kepentingan jangka pendek
dan tidak melalui proses pendampingan secara berkesinambungan.
Sedikitnya kelompok MPA yang berfungsi, antara lain terlihat
dari hasil Focus Group Discussion
(FGD) tentang pemaksimalan peran MPA yang difasilitasi Yayasan Mitra Insani,
akhir April 2015 lalu. Dimana dari puluhan kelompok MPA di Riau, hanya beberapa
MPA yang bisa dijadikan percontohan. Misalnya MPA Desa Harapan Jaya (Inhil),
MPA Desa Tanjung Leban dan Desa Sepahat (Bengkalis), serta MPA Desa Pelintung
(Dumai).
Tidak adanya pendampingan secara holistik menyebabkan keberadaan
MPA hanya sekadar nama. Padahal sejatinya MPA merupakan garda terdepan dalam
pencegahan karhutla yang ada di wilayahnya. Secara spesifik revitalisasi MPA
dapat dilakukan melalui:
Pertama, penguatan
kelembagaan MPA dengan membuat regulasi terpadu secara nasional tentang MPA dan
lembaga-lembaga terkait di dalamnya. Hal ini diperlukan untuk mengatur sistem
koordinasi, memberikan perlindungan hukum dan jaminan sosial ekonomi kepada
anggota MPA. Sebab terdapat kasus, MPA yang menjalankan tugas pencegahan
karhutla berbenturan dengan kepentingan pengusaha dan aparat.
Kedua, memberikan
pelatihan teknis pemadaman api. Kegiatan ini dapat melibatkan instansi
pemerintah maupun perusahaan yang memiliki kompetensi dalam pemadaman api. Teknis
pemadaman dini perlu dilakukan agar api tidak membesar dan menyebar secara
masif. Pelatihan ini juga harus dibarengi dengan pemberian bantuan peralatan
dan perlengkapan yang memadai.
Ketiga, memberikan
pelatihan dan pendampingan strategi komunikasi pencegahan karhutla. Aspek
komunikasi ini penting dikuasai MPA, sebab pencegahan juga identik dengan
kegiatan sosialisasi, penyuluhan, maupun penyadaran masyarakat. Dalam konteks
ini, selain kemampuan komunikasi interpersonal dan kelompok, MPA perlu menguasai
penggunaan media komunikasi, baik media sosial, media massa, maupun media
rakyat.
Keempat,
memberikan insentif sebagai pengganti tenaga dan waktu anggota MPA yang mereka
alokasikan untuk pencegahan karhutla. Insentif tersebut dapat berupa insentif
langsung maupun pengembangan usaha produktif bagi keluarga anggota MPA. Bila kelompok
MPA sejahtera secara ekonomi maka mereka dapat lebih fokus dalam menjalankan
tugasnya.
Revitalisasi MPA di Provinsi Riau sudah mendesak dilakukan.
Sebab karhutla merupakan bencana yang dapat diprediksi kejadiannya, yaitu
setiap musim kemarau panjang. Dimana dalam manajemen bencana terdapat fase pengurangan
risiko pra-bencana, yang meliputi mitigasi dan kesiapan. Dalam fase itulah MPA
memiliki peran penting untuk melakukan pencegahan. Sehingga dampak bencana
karhutla dapat diminimalisir. (*)
Dimuat di Riau Pos, Kamis, 3 September 2015
No comments
Post a Comment