Mitigasi Bencana Asap
Bencana kabut asap
akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumatra dan Kalimantan masih
terus terjadi. Dampak dan kerugian yang ditimbulkan juga sangat besar. Pada
bencana asap di Riau pada 2014 lalu saja kerugian ekonomi mencapai lebih Rp 20
triliun. Sedangkan, biaya penanggulangannya menyedot dana sekitar Rp 164
miliar.
Tahun ini, diperkirakan lebih besar karena melanda lebih banyak daerah. Padahal, bila pemerintah serius melakukan mitigasi bencana asap, kerugian tersebut dapat diminimalisasi.
Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (UU No 24/ 2007 tentang Penanggulangan Bencana). Mitigasi merupakan bagian dari siklus manajemen bencana, baik bencana alam, maupun karena ulah manusia. Namun, selama ini aspek mitigasi bencana lebih banyak dilakukan pada bencana alam, seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, dan longsor.
Dalam penjelasan UU Penanggulangan Bencana disebutkan, kebakaran hutan atau lahan merupakan salah satu potensi bencana yang disebabkan faktor alam maupun nonalam (faktor manusia). Berbagai studi dan analisis yang dilakukan pihak berkompeten, baik lembaga pemerintahan maupun organisasi nasional dan internasional juga menyimpulkan bahwa hampir 100 persen kebakaran hutan dan lahan di Indonesia disebabkan oleh perbuatan manusia (Syaufina, 2008).
Melihat karakteristik karhutla dan potensi kerugian yang ditimbulkan maka mitigasi bencana asap merupakan kebutuhan mendesak. Mitigasi ini harus menjadi kebijakan aktif yang dikelola secara nasional dan lintas sektoral. Kegiatannya berupa penyuluhan dan sosialisasi pencegahan karhutla, peningkatan penegakan hukum, meningkatkan modal sosial dan partisipasi masyarakat, pembuatan kanal dan embung, dan sebagainya.
Mitigasi dalam manajemen bencana termasuk ke dalam fase pengurangan risiko prabencana. Pada fase ini dilakukan tindakan pengurangan risiko jangka panjang. Untuk kasus bencana karhutla, upaya mitigasi masih belum efektif karena tidak ada lembaga khusus penanggulangan karhutla. Saat ini, baru melalui satuan-satuan tugas. Akibatnya, bencana asap yang melanda Indonesia sejak 1997 itu dari tahun ke tahun semakin parah.
Melihat potensi bencana karhutla sudah selayaknya pemerintah membentuk lembaga khusus untuk menanggulangi karhutla. Hal ini cukup realistis bila melihat potensi bencana karhutla di Indonesia yang umumnya melanda kawasan gambut, perkebunan, dan hutan. Saat ini, baru Sumatra dan Kalimantan. Ke depan, berpotensi melanda Sulawesi dan Papua seiring pengembangan kawasan perkebunan di daerah tersebut.
Selain itu, karhutla merupakan bencana dengan karakteristik berbeda dibanding bencana lainnya. Hal ini karena melibatkan banyak pemangku kepentingan terkait kehutanan, lingkungan, perkebunan, hingga penegakan hukum. Institusi yang terlibat dalam penanganannya pun lintas sektoral.
Penelitian Olsen dkk (2014) tentang penanganan bencana asap akibat kebakaran hutan di Amerika Serikat yang dipubliksikan di jurnal Environmental Management juga menemukan permasalahan sama, yaitu perlunya meningkatkan komunikasi antarlembaga, intralembaga, dan masyarakat. Prioritas utamanya adalah komunikasi antarlembaga yang berhubungan dengan kebakaran dan alokasi sumber daya lembaga untuk kegiatan mitigasi. Selain itu, perlu membangun jejaring sosial di masyarakat dan membangun hubungan jangka panjang antara pemerintah dan masyarakat.
Dengan adanya lembaga khusus ini, diharapkan sistem birokrasi, koordinasi, dan penegakan hukum karhutla semakin baik. Lembaga itu juga dapat mengatasi lambannya kepala daerah dalam mengatasi bencana asap. Menunggu parah baru minta bantuan ke pusat. Bahkan, Presiden pun harus turun tangan mengatasi bencana asap karena banyak kepala daerah gengsi dan ragu-ragu menyatakan darurat asap.
Selain penguatan kelembagaan, mitigasi bencana asap harus melibatkan masyarakat di lokasi rawan karhutla. Revitalisasi Masyarakat Peduli Api (MPA) untuk pencegahan karhutla bisa menjadi salah satu solusi kegiatan mitigasi. MPA merupakan kelompok masyarakat yang diberdayakan dalam pengendalian karhutla. Tugasnya, antara lain, melakukan penyuluhan pencegahan kahutla, pemadaman dini, serta memberikan informasi kepada pihak berwenang terkait kejadian karhutla dan pelakunya.
Beberapa daerah sebenarnya memiliki MPA yang tersebar di desa rawan karhutla. MPA ini umumnya bentukan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, dan LSM. Namun, tidak semua MPA berfungsi. Banyak yang dibentuk hanya berdasarkan proyek, kepentingan jangka pendek, dan tidak mendapat pendampingan berkelanjutan. Padahal, MPA merupakan garda terdepan pencegahan karhutla.
Belum maksimalnya pemberdayaan MPA disebabkan kurangnya koordinasi lintas sektoral di pusat dan daerah, sehingga pembinaan dan pendampingan MPA belum merata. Bahkan, di Riau terdapat kasus, anggota MPA yang melakukan pemadaman dini di lokasi kebakaran lahan malah ditangkap aparat keamanan. Untuk itu, dalam merevitalisasi MPA perlu dilakukan beberapa langkah.
Pertama, penguatan kelembagaan yang didukung oleh regulasi untuk memberikan perlindungan hukum dan jaminan sosial kepada anggota MPA. Kedua, membangun jejaring pendampingan MPA yang melibatkan pemerintah, swasta, dan LSM.
Ketiga, mengoptimalkan alokasi kegiatan corporate social responsibility (CSR) perusahaan perkebunan dan kehutanan untuk MPA. Keempat, memberikan insentif kepada MPA melalui kegiatan ekonomi produktif.
Penguatan kelembagan dan revitalisasi MPA di atas merupakan faktor penting dalam mitigasi bencana asap. Sebab, karhutla merupakan bencana yang dapat diprediksi kejadiannya, setiap musim kemarau dan El Nino. Upaya mitigasinya tidak cukup mengandalkan pemerintah, tapi perlu melibatkan banyak pihak, terutama masyarakat. (*)
Tahun ini, diperkirakan lebih besar karena melanda lebih banyak daerah. Padahal, bila pemerintah serius melakukan mitigasi bencana asap, kerugian tersebut dapat diminimalisasi.
Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (UU No 24/ 2007 tentang Penanggulangan Bencana). Mitigasi merupakan bagian dari siklus manajemen bencana, baik bencana alam, maupun karena ulah manusia. Namun, selama ini aspek mitigasi bencana lebih banyak dilakukan pada bencana alam, seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, dan longsor.
Dalam penjelasan UU Penanggulangan Bencana disebutkan, kebakaran hutan atau lahan merupakan salah satu potensi bencana yang disebabkan faktor alam maupun nonalam (faktor manusia). Berbagai studi dan analisis yang dilakukan pihak berkompeten, baik lembaga pemerintahan maupun organisasi nasional dan internasional juga menyimpulkan bahwa hampir 100 persen kebakaran hutan dan lahan di Indonesia disebabkan oleh perbuatan manusia (Syaufina, 2008).
Melihat karakteristik karhutla dan potensi kerugian yang ditimbulkan maka mitigasi bencana asap merupakan kebutuhan mendesak. Mitigasi ini harus menjadi kebijakan aktif yang dikelola secara nasional dan lintas sektoral. Kegiatannya berupa penyuluhan dan sosialisasi pencegahan karhutla, peningkatan penegakan hukum, meningkatkan modal sosial dan partisipasi masyarakat, pembuatan kanal dan embung, dan sebagainya.
Mitigasi dalam manajemen bencana termasuk ke dalam fase pengurangan risiko prabencana. Pada fase ini dilakukan tindakan pengurangan risiko jangka panjang. Untuk kasus bencana karhutla, upaya mitigasi masih belum efektif karena tidak ada lembaga khusus penanggulangan karhutla. Saat ini, baru melalui satuan-satuan tugas. Akibatnya, bencana asap yang melanda Indonesia sejak 1997 itu dari tahun ke tahun semakin parah.
Melihat potensi bencana karhutla sudah selayaknya pemerintah membentuk lembaga khusus untuk menanggulangi karhutla. Hal ini cukup realistis bila melihat potensi bencana karhutla di Indonesia yang umumnya melanda kawasan gambut, perkebunan, dan hutan. Saat ini, baru Sumatra dan Kalimantan. Ke depan, berpotensi melanda Sulawesi dan Papua seiring pengembangan kawasan perkebunan di daerah tersebut.
Selain itu, karhutla merupakan bencana dengan karakteristik berbeda dibanding bencana lainnya. Hal ini karena melibatkan banyak pemangku kepentingan terkait kehutanan, lingkungan, perkebunan, hingga penegakan hukum. Institusi yang terlibat dalam penanganannya pun lintas sektoral.
Penelitian Olsen dkk (2014) tentang penanganan bencana asap akibat kebakaran hutan di Amerika Serikat yang dipubliksikan di jurnal Environmental Management juga menemukan permasalahan sama, yaitu perlunya meningkatkan komunikasi antarlembaga, intralembaga, dan masyarakat. Prioritas utamanya adalah komunikasi antarlembaga yang berhubungan dengan kebakaran dan alokasi sumber daya lembaga untuk kegiatan mitigasi. Selain itu, perlu membangun jejaring sosial di masyarakat dan membangun hubungan jangka panjang antara pemerintah dan masyarakat.
Dengan adanya lembaga khusus ini, diharapkan sistem birokrasi, koordinasi, dan penegakan hukum karhutla semakin baik. Lembaga itu juga dapat mengatasi lambannya kepala daerah dalam mengatasi bencana asap. Menunggu parah baru minta bantuan ke pusat. Bahkan, Presiden pun harus turun tangan mengatasi bencana asap karena banyak kepala daerah gengsi dan ragu-ragu menyatakan darurat asap.
Selain penguatan kelembagaan, mitigasi bencana asap harus melibatkan masyarakat di lokasi rawan karhutla. Revitalisasi Masyarakat Peduli Api (MPA) untuk pencegahan karhutla bisa menjadi salah satu solusi kegiatan mitigasi. MPA merupakan kelompok masyarakat yang diberdayakan dalam pengendalian karhutla. Tugasnya, antara lain, melakukan penyuluhan pencegahan kahutla, pemadaman dini, serta memberikan informasi kepada pihak berwenang terkait kejadian karhutla dan pelakunya.
Beberapa daerah sebenarnya memiliki MPA yang tersebar di desa rawan karhutla. MPA ini umumnya bentukan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, dan LSM. Namun, tidak semua MPA berfungsi. Banyak yang dibentuk hanya berdasarkan proyek, kepentingan jangka pendek, dan tidak mendapat pendampingan berkelanjutan. Padahal, MPA merupakan garda terdepan pencegahan karhutla.
Belum maksimalnya pemberdayaan MPA disebabkan kurangnya koordinasi lintas sektoral di pusat dan daerah, sehingga pembinaan dan pendampingan MPA belum merata. Bahkan, di Riau terdapat kasus, anggota MPA yang melakukan pemadaman dini di lokasi kebakaran lahan malah ditangkap aparat keamanan. Untuk itu, dalam merevitalisasi MPA perlu dilakukan beberapa langkah.
Pertama, penguatan kelembagaan yang didukung oleh regulasi untuk memberikan perlindungan hukum dan jaminan sosial kepada anggota MPA. Kedua, membangun jejaring pendampingan MPA yang melibatkan pemerintah, swasta, dan LSM.
Ketiga, mengoptimalkan alokasi kegiatan corporate social responsibility (CSR) perusahaan perkebunan dan kehutanan untuk MPA. Keempat, memberikan insentif kepada MPA melalui kegiatan ekonomi produktif.
Penguatan kelembagan dan revitalisasi MPA di atas merupakan faktor penting dalam mitigasi bencana asap. Sebab, karhutla merupakan bencana yang dapat diprediksi kejadiannya, setiap musim kemarau dan El Nino. Upaya mitigasinya tidak cukup mengandalkan pemerintah, tapi perlu melibatkan banyak pihak, terutama masyarakat. (*)
Dimuat di REPUBLIKA, Selasa, 15 September 2015
No comments
Post a Comment