Ihwal Sarjana Abal-abal
Dunia pendidikan baru-baru ini cemar
oleh peristiwa wisuda abal-abal di Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Banten. Praktik
culas ‘perguruan tinggi’ dan ‘mahasiswa’ pemuja jalan pintas. Alhasil, prosesi sakral
itu pun harus terhenti di tengah jalan, digerebek Kemenristek Dikti. Calon ‘wisudawan’
gigit jari, bukan ijazah justru malu yang didapat. Kabar buruk itu melengkapi santernya
pemberitaan kampus abal-abal produsen ijazah palsu.
Menanggapi maraknya kejahatan
dunia akademis itu, Kemenristek Dikti kemudian menonaktifkan sejumlah perguruan
tinggi. Hingga September 2015 jumlahnya mencapai 243 kampus yang tersebar di
seluruh Indonesia. Tapi tidak semua kampus yang dinonaktifkan statusnya
abal-abal. Sebagian kampus berizin yang melakukan pelanggaran. Duh!
Umumnya pelanggaran yang
dilakukan masalah laporan akademis, masalah nisbah dosen/ mahasiswa,
pelanggaran peraturan perundang-undangan, kelas jauh tanpa izin, perguruan
tinggi/ program studi tanpa izin, penyelenggaraan kelas Sabtu-Minggu, jumlah
mahasiswa over kuota, ijazah palsu/ gelar palsu, dan sebagainya (Detik.com, 01/10/2015).
Kampus abal-abal, penyelenggaraan
wisuda abal-abal, akan melahirkan sarjana abal-abal. Jalan pintas memperoleh ijazah
tanpa kuliah. Tanpa proses SPMB yang (kadang) bikin deg-degan, tanpa orientasi
mahasiswa baru yang (kadang) menakutkan, tanpa mengikuti perkuliahan yang (kadang) menjemukan,
tanpa ujian semester yang (kadang) menguras pikiran, tanpa membuat karya ilmiah
yang (kadang) melelahkan, dan tanpa melewati ujian skripsi yang (kadang)
membuat jantungan.
Semua pasti sepakat jalan
pintas memperoleh gelar adalah perbuatan tercela. Namun entitas sarjana
abal-abal, sebenarnya tidak hanya terjadi di kampus abal-abal. Ada juga di
kampus legal, bahkan kampus tersohor. Mereka ini, segelintir mahasiswa yang
proses perkuliahannya tercemar praktik cela. Mengikuti model jalan pintas mirip
laku sarjana abal-abal.
Sarjana abal-abal seperti ini jumlahnya
tidak banyak, tapi merupakan fenomena gunung es. Orientasi mereka masuk
perguruan tinggi bukan menuntut ilmu. Demi gelar belaka. Padahal perguruan
tinggi lumbung pengetahuan, bukan pabrik gelar. Banyak hal yang bisa diperoleh
di kampus. Selain pengetahuan akademis, kita bisa mengembangkan softskill (non akademis). Karena itu ada
empat tipe lulusan perguruan tinggi:
Pertama, sarjana yang memiliki prestasi akademis sekaligus non akademis.
Tipe ini menggambarkan mahasiswa yang daftar nilainya bertebaran huruf A. Mereka
juga aktif berorganisasi di kampus dan menempati posisi-posisi penting.
Kualitasnya sebagai sarjana tidak diragukan.
Kedua, sarjana yang memiliki prestasi akademis. Tipe ini merujuk
pada mahasiswa yang sepanjang waktunya dihabiskan di bangku kuliah, mengerjakan
tugas-tugas, praktikum, agar cepat lulus. Mereka tidak sempat mengikuti
kegiatan kampus, bahkan menganggap organisasi sebagai pengganggu studi.
Biasanya mereka lulus kurang dari empat tahun, tapi kelabakan mencari pekerjaan
(kecuali orangtuanya pejabat/ pengusaha).
Ketiga, sarjana yang memiliki prestasi non akademis. Tipe ini
menggambarkan mahasiswa yang waktunya banyak digunakan untuk kegiatan
kemahasiswaan dan pengembangan softskill.
Lama studinya biasanya di atas empat tahun. Prestasi akademisnya tidak tidak
terlalu menonjol, tapi memiliki banyak pengalaman dan jejaring luas di luar
kampus. Begitu lulus (bahkan sebelum lulus) mereka tidak sulit mencari kerja
atau berwirausaha. Jejaring adalah modal sosial mereka.
Keempat, sarjana yang tidak memiliki prestasi akademis dan non akademis.
Mereka golongan mahasiswa yang tidak memiliki visi saat masuk perguruan tinggi.
Tipikal pemalas kuliah sekaligus alergi berorganisasi. Aktivitasnya sebatas
rumah, kampus dan tempat kongko. Tipe terakhir inilah yang berpotensi menjadi
‘sarjana abal-abal’.
Nah, untuk mengidentifikasi
sarjana abal-abal bukan perkara mudah. Tapi berdasarkan pengamatan subjektif
penulis, setidaknya ada tiga ciri-ciri golongan ini:
Pertama, disorientasi studi. Mereka mengabaikan proses perkuliahan
dan tutup mata atas keberadaan kampus sebagai lumbung pengetahuan. Sering bolos
bukan karena sibuk berorganisasi atau melakukan aktivitas pengembangan diri. Tapi
karena malas dan menghabiskan waktu sia-sia di tempat kongko, karaoke, nonton, atau
tidur di kost. Hadir di kelas pun hanya sebagai kaum pengganggu.
Kedua, tukang copas (copy paste). Mereka melakukan cara
instan dan praktik curang setiap diberi tugas membuat makalah. Meng-copas karya orang lain yang diakui
sebagai tulisan sendiri. Malas ke perpustakaan untuk membaca literatur. Biasanya
mengambil bahan di blog-blog yang bertebaran di dunia maya. Kadang juga meng-copas tugas teman sendiri. Sehingga
kemampuan analisisnya juga lemah.
Ketiga, skripsi dibuatkan joki. Karena kebiasaan pertama dan kedua,
mereka akan linglung ketika membuat skripsi. Akhirnya jalan pintas pun
ditempuh. Membayar orang lain alias joki untuk membuat skripsi. Herannya, praktik
cela perusak tatanan akademis ini ada di mana-mana. Apalagi, perguruan tinggi
kesulitan mendeteksi tuga akhir mahasiswa yang menggunakan joki (Kompas, 29/05/2015).
Bila ketiga hal di atas
dilakukan mahasiswa dan dia lulus kuliah, maka setaralah derajatnya dengan
sarjana abal-abal dari kampus abal-abal tadi. Bedanya, dia lulusan kampus
legal, bahkan kampus tersohor, baik negeri maupun swasta. Kenapa pantas disebut
abal-abal? Mereka tidak mengikuti kuliah dengan semestinya dan tidak pernah membuat
karya ilmiah (copas dan dibuatkan
joki). Ah, saya berharap sarjana abal-abal ini tidak ada yang lahir dari UIR.
Semoga!
No comments
Post a Comment