Mimpi Green City
Dalam dua dekade terakhir ini pembangunan Kota Pekanbaru berjalan
sangat pesat. Terutamanya terus bertumbuhnya pembangunan fisik, seperti
perkantoran, pusat perbelanjaan, perhotelan, pertokoan, pergudangan dan
sebagainya. Namun proram pembangunan selama ini baru sebatas implementasi model
developmentalisme. Sementara faktor lingkungan sebagai akar keberlanjutan ekologi
nyaris terabaikan.
Developmentalisme menurut ekonom-cendekiawan Prof. Dawam Rahardjo merupakan kemistri ideologis antara kepentingan negara industri maju dan kepentingan elite politik negara dunia ketiga, sehingga dalam konteks Indonesia hingga kini masih bertahan sebagai ideologi pembangunan elite politik (Tempo, 2009). Pasalnya ukuran dan kriteria keberhasilan pembangunan kita masih berkisar pada warisan konsep pertumbuhan ekonomi Orde Baru seperti pengendalian inflasi, berkurangnya kemiskinan, peningkatan ekspor, dan pertumbuhan ekonomi.
Marginalisasi atribut lingkungan dalam pembangunan bukan hanya menjadi masalah dalam agenda pembangunan nasional, tapi juga pada pembangunan daerah. Hal ini terlihat jelas pada pembangunan perkotaan seperti di Kota Pekanbaru. Lihat saja bagaimana pemerintah terus memberikan izin pembangunan rumah pertokoan (ruko) padahal ratusan unit ruko yang ada masih kosong atau pembangunannya terbengkalai. Selain itu pembangunan ruko juga kerap mengabaikan konsep pembangunan berkelanjutan yang notabene selain untuk keberlanjutan bisnis, juga keberlanjutan lingkungan dan sosial.
Konsep tata kota yang abai dengan masalah lingkungan dalam
jangka panjang akan memunculkan dampak laten selaras dengan persoalan global akibat
perubahan iklim: panas ekstrim dan banjir. Dampak negatif developmentalisme
level perkotaan tersebut bukan musibah yang tiba-tiba terjadi. Tapi ada hukum
sebab akibat yang bermuara pada kelalaian penyelenggara pemerintahan dalam
melakukan pengawasan pembangunan. Misalnya terjadi pembiaran pembangunan ruko sudah
menghilangkan ruang untuk tumbuhnya tanaman. Semenisasi total pada sebagian
besar kompleks ruko juga menutup area resapan air.
Melihat persoalan ini sepertinya laku ekonomi di Pekanbaru mengarah
pada kapitalisme-materialisme akut, sehingga setiap jengkal tanah dinilai
dengan materi. Nyaris tidak ada sisa ruang untuk tanaman pelindung di
sentra-sentra ekonomi dan kompleks perumahan. Belum lagi sedikitnya Ruang
Terbuka Hijau (RTH) yang sejatinya merupakan paru-paru sebuah kota. Bila
persoalan ini tidak segera dicarikan solusi, maka kota sebagai mesin
pertumbuhan masa depan, akan mengendalikan manusia dalam belenggu logika
industri. Bukan sebaliknya, manusia yang mengendalikan kota untuk keberlanjutan
hidupnya.
Konsep Green City
Kritik terhadap pembangunan perkotaan yang hanya
berorientasi pada bangunan fisik kemudian mendorong gagasan green city (kota hijau) di berbagai kota
besar dunia. Green city merupakan
konsep kota yang mengedepankan keseimbangan
ekosistem sehingga fungsi dan
manfaatnya berkelanjutan (Smith, 2009). Tujuan green city adalah mewujudkan pembangunan kota berkelanjutan dengan
mengurangi dampak negatif pembangunan terhadap lingkungan. Strateginya melalui
penerapan delapan atribut yaitu: Green
planning and design, Green open space,
Green waste, Green transportation, Green
water, Green energy, Green building, dan Green Community.
The Economist Intelligence Unit (EIU) bersama Siemens
melakukan proyek riset green city
pada 120 kota di dunia dalam kurun 2009-2012 dan dipublikasikan dalam The Green City Index. Untuk kawasan Asia
menempatkan Singapura sebagai kota nomor satu yang menerapkan konsep green city. Kota di negara kecil minus
sumberdaya alam itu dinilai serius memperhatikan aspek lingkungan dalam proses
pertumbuhannya. Sejak merdeka pada 1965 pemerintah Singapura telah menekankan
pentingnya keberlanjutan melalui perencanaan holistik, pengembangan berdensitas
tinggi dan konservasi ruang hijau.
Penilaian indeks kota hijau tersebut meliputi 16 indikator
kuantitatif dan 14 indikator kualitatif terdiri dari sembilan kategori yaitu:
emisi CO2, energi, bangunan, penggunaan lahan, transportasi, air dan
sanitasi, pengelolaan limbah, kualitas udara dan tata kelola lingkungan. Salah
satu poin menarik dalam riset EIU tersebut adalah adanya penilaian tata kelola
pemerintahan kota, yaitu aspek tata kelola lingkungan dengan indikator rencana
aksi hijau, manajemen hijau, dan partisipasi masyarakat dalam kebijakan hijau.
Di Indonesia sejumlah kota yang konsep pembangunannya mulai
mengarah pada kota hijau antara lain Kota Bandung dan Kota Surabaya. Kalau
Bandung mengembangkan lingkungan hijau melalui estetika arsitektur dan lanskap,
Surabaya melalui revitalisasi taman-taman kota. Kesamaannya kedua kota tersebut
dipimpin walikota yang secara intensif menjalankan program hijau dengan terjun
langsung bersama masyarakat. Sebuah kolaborasi kreatif membangun kota secara
partisipatif.
Program green city
ini diperlukan sebagai antitesis atas pemahaman manusia yang keliru tentang
dirinya dan alam semesta, sehingga melahirkan perilaku tidak peduli terhadap
alam dan lingkungan. Tidak ada kesadaran untuk menjaga lingkungan hidup karena
pemahaman yang keliru seakan manusia tidak mempunyai kewajiban dan tanggungjawab
moral untuk itu. Hal tersebut berakibat fatal bagi manusia, karena secara tanpa
sadar menusia pada akhirnya bunuh diri karena menjadi korban dari perilakunya
sendiri yang tidak ramah lingkungan, tidak bermoral terhadap alam (Keraf,
2010).
Mimpi untuk Pekanbaru
Berbagai literatur menyebutkan bahwa model ideal
pengembangan green city yaitu
menerapkan delapan atribut. Namun pada tahap awal setidaknya direkomendasikan
untuk mengaplikasian tiga atribut yaitu green
planning and design, green open space, dan green community. Ketiga atribut di atas mudah dilaksanakan asalkan Pemerintah
Kota Pekanbaru memiliki komitmen politis dengan menerapkan kebijakan pengembangan
green city. Sebelum kota ini semakin
lama semakin dipenuhi hutan beton dengan desain monoton.
Pertama, pada atribut
Green planning and design, perencanaan
dan desain Kota Pekanbaru saat ini belum sepenuhnya berpihak pada konsep
pembangunan kota yang berkelanjutan. Lihat saja pembangunan ruko dan
pergudangan masih dilakukan secara sporadis tanpa memberikan ruang untuk Daerah
Hijau Bangunan (DHB). Bahkan lubang resapan air tidak pernah kita temui di
kawasan ruko, sehingga air hujan langsung mengalir dan melimpah ke selokan.
Drainase yang buruk kemudian menambah derita warga saat musim hujan, karena
mengakibatkan banjir di berbagai kawasan dan jalan utama.
Desain bangunan pertokoan di Kota Pekanbaru yang cenderung
seragam dan jauh dari nilai estetika sebuah kota juga memunculkan kritik dari publik.
Bahkan seniman kartun yang tergabung dalam Sindikat Kartunis Riau (SiKari)
secara khusus menggelar pameran bertajuk “PekanbaRuko” pada 17 sampai 30
Agustus 2015 lalu. Poin utama kritik satiris tersebut adalah pembangunan yang
hanya mengutamakan aspek pertumbuhan ekonomi semata, dan menomorduakan
aspek-aspek lain seperti sosial, budaya, hingga lingkungan, yang membuat kota
ini tidak berpihak memanusiakan warganya (Riau
Pos, 6 September 2015).
Melihat kondisi ini pemerintah mestinya lebih selektif dalam
memberikan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) ruko dengan mempertimbangkan arsitektur
dan komitmen penerapan DHB. Misalnya mewajibkan penanaman pohon pelindung seperti
pohon tanjung, mahoni, trembesi, dan sebagainya di depan pertokoan dengan
jumlah minimal sama dengan banyaknya pintu ruko. Kemudian mewajibkan pengembang
perumahan menanam pohon peneduh produktif (penghasil buah) di setiap unit rumah
yang dibangun. Semakin baik kalau dilakukan pembuatan lubang biopori untuk
resapan air.
Selain itu pemerintah perlu meninjau ulang penanaman dan
perawatan pohon pelindung di jalan tepi jalan raya dan memberi sanksi tegas
terhadap aksi vandalisme. Selama ini, penanaman pohon tidak disertai dengan
perawatan dan pemupukan. Akibatnya pohon yang ditanam pun hidup segan mati tak
mau. Lebih ironis, banyak tindakan tidak terpuji oknum masyarakat dan pengusaha
yang sengaja merusak pohon penghijauan dengan
memasang iklan, banner, dan baliho dengan cara dipaku. Beberapa pohon juga
diketahui sengaja dikikis dan diberi racun agar mati perlahan (Riau Pos, 14 Oktober 2016).
Kedua, pada elemen
Green open space kita melihat
pekanbaru sebagai kota yang miskin Ruang Terbuka Hijau (RTH). Padahal RTH
merupakan salah satu elemen penting sebuah kota agar ramah terhadap warga. Keberadaan
RTH selain menjadi bagian dari estetika sebuah kota juga sebagai pengendali
polusi. Memang akhir-akhir ini pemerintah mulai melakukan revitalisasi beberapa
sudut kota menjadi kawasan RTH, seperti eks Taman Kaca Mayang dan eks Kantor
Dinas PU Riau tempat tegaknya Tugu Anti Korupsi. Sementara kawasan peruntukan RTH
seperti Jalan Garuda Sakti, karena terbengkalai kini berubah menjadi Rumah
Sakit, meskipun infrastruktur ini juga penting.
Sebelum seluruh kawasan Kota Pekanbaru penuh sesak bangunan
sepertinya pemerintah perlu menata ulang kawasan RTH dengan memperhatikan pemerataan
distribusi kawasannya. Jangan sampai RTH hanya menumpuk di pusat kota,
sementara kawasan pinggiran yang juga sedang mengalami pertumbuhan terabaikan. RTH
juga diperlukan dalam skala mikro misalnya pada kawasan perumahan, pertokoan
dan pergudangan.
Semakin mahalnya harga tanah di Pekanbaru saat ini
menjadikan para pengembang berpikiran pragmatis-bisnis, sehingga mengabaikan
keberadaan RTH sebagai elemen pendukung keberlanjutan ekologi. Padahal sejumlah
regulasi menekankan 30 persen peruntukan RTH, dan secara proporsional
diterapkan pada level kecamatan hingga RW/RT. Faktanya saat ini rata-rata pengembang
perumahan hanya menyediakan ruang untuk bangunan fasilitas umum belaka.
Ketiga, elemen Green Community juga jarang kita jumpai.
Pemerintah selama ini belum mengoptimalkan pelibatan stakeholders dari kalangan bisnis maupun masyarakat dalam
pembangunan kota yang hijau. Keterlibatan stakeholders
penting dilakukan karena pemerintah tidak bisa menjalankan program tanpa
dukungan banyak pihak. Apalagi menjaga lingkungan bukan hanya tanggungjawab
pemerintah saja, tetapi seluruh komponen masyarakat. Sinergi antar komponen inilah
kunci keberhasilan green community.
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT)
mewajibkan dunia usaha melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Implementasinya dalam bentuk program Corporate
Social Responsibility (CSR) yang salah satu alokasi utamanya untuk
keberlanjutan lingkungan, sesuai konsep triple
bottom line perusahaan-perusahaan modern yaitu 3P (profit, people, planet). Selain itu perusahaan Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) juga menjalankan program CSR dengan nama Program Kemitraan dan
Bina Lingkungan (PKBL).
Pada level masyarakat di Kota Pekanbaru saat ini selain
masyarakat geografis (warga) juga terdapat komunitas-komunitas psikografis yang berkumpul berdasarkan kesamaan hobi,
nilai-nilai, minat, dan sebagainya. Komunitas geografis dapat digerakkan
melalui peran RW/RT setempat. Sedangkan partisipasi komunitas psikografis digerakkan
oleh opinion leader komunitas
tersebut. Bahkan komunitas psikografis lebih mudah digerakkan untuk membangun
kota hijau karena umumnya berisi kaum muda perkotaan.
Tingginya minat kaum muda perkotaan terhadap masalah
lingkungan dapat dilihat dengan semakin banyaknya komunitas pecinta alam yang
rutin melakukan aktivitas ourdoor
seperti mendaki gunung dan jelajah alam. Belum lagi munculnya komunitas “berbagi”
sebut saja komunitas sedekah, akademi berbagi dan sebagainya. Keberadaan
komunitas psikografis ini merupakan modal sosial dalam pembangunan sebuah kota.
Merangsang kepekaan, kepedulian, dan peran aktif masyarakat dan
dunia usaha di Pekanbaru sangat diperlukan untuk mewujudkan green city. Dalam konteks ini Pemerintah
Kota Pekanbaru dapat menjadi inisiator kemitraan untuk menghidupkan atribut Green Community. Tentu saja pemimpin
kota ini harus mau turun dan bergerak bersama
masyarakat, bukan menjalankan tata kelola lingkungan hanya dari belakang
meja.
Komitmen Walikota
Salah satu poin menarik dalam riset EIU The Green City Index di atas adalah penilaian tata kelola pemerintahan
yang berpihak terhadap lingkungan. Ketika membahas tata kelola pemerintahan
maka dibutuhkan komitmen walikota bersama jajarannya sebagai penggerak
pembangunan melalui rencana aksi hijau (Green
action plan), manajemen hijau (Green
management), dan partisipasi masyarakat (Public participation in green policy). Komitmen dapat dituangkan dalam
bentuk Peraturan Daerah (Perda) atau regulasi lainnya yang secara politis mendukung
green city.
Belajar dari Copenhagen
yang memimpin indeks kota hijau di Eropa, walikota ibukota Denmark tersebut berhasil
melakukan upaya kolaboratif yang kuat untuk menetapkan kebijakan green city. Kota ini juga menunjuk
koordinator lingkungan pada setiap unit administrasi yang secara teratur
bertemu untuk bertukar pengalaman. Bahkan walikota membuat program kampanye
untuk memotivasi perubahan gaya hidup ramah lingkungan dan melibatkan warga
dalam mengembangkan solusi untuk pemecahan masalah.
Dalam pengembangan green
city walikota adalah komunikator utama untuk mengomunikasikan paradigma pembangunan
kota yang pro keberlanjutan ekologi. Hal ini menurut Keraf (2010) harus menjadi
komitmen politik pembangunan, kalau tidak kehancuran lingkungan hidup dan
ancaman bagi kehidupan manusia di planet ini semakin tidak teratasi. Untuk
itulah penulis berharap siapa pun walikota Pekanbaru yang terpilih dalam
Pilkada nanti, memiliki komitmen untuk membangun kota ini dengan perspektif
hijau. Semoga!
Artikel ini dipubliksikan di Riau Pos, 18-02-2017: http://www.riaupos.co/5052-opini-mimpi-green-city-.html#.WP1nOGnyjDc
No comments
Post a Comment