Ihwal Kebebasan Mimbar Akademik
Ini sebenarnya tulisan lama. Namun saya simpan setelah
redaktur media tempat saya sering menulis membalas email saya. Dia bilang,
“tidak berani” memuat tulisan ini karena khawatir berdampak tidak produktif dan
memicu polemik. Padahal justru itu yang saya inginkan, adanya polemik dan
diskursus. Bukan sekadar debat kusir di media sosial.
Tulisan ini merupakan kritik terhadap salah satu perguruan
tinggi yang gagal memperjuangkan kebebasan mimbar akademiknya, karena tekanan
kelompok tertentu yang antidialog. Seminar yang digelar perguruan tinggi
tersebut, batal diisi salah seorang pemateri, tokoh muda yang pemikirannya
dipandang kontroversial. Dunia akademik pun semakin kehilangan dinamika dan
tradisi kritisnya.
Pemboikotan diskusi-diskusi ilmiah merupakan tindakan yang
kontraproduktif dengan kebebasan mimbar akademik yang diperjuangkan kalangan
akademisi sendiri. Kewibawaan perguruan tinggi dicederai dan kebebasan
berpendapat yang dijamin undang-undang dikebiri oleh sekelompok orang.
Kondisi seperti ini justru akan merugikan perkembangan
pemikiran ilmuwan-ilmuwannya. Sebab ruang untuk membangun diskursus semakin
tertutup dan ditutupi.
Kejadian itu juga menjadi pencitraan buruk bagi perguruan
tinggi tersebut. Dengan datangnya tokoh yang dipandang kontroversial,
seharusnya menjadi momentum penting bagi mereka untuk menghadirkan
pemikir-pemikir yang (mungkin) hebat ada di dalamnya untuk ambil bagian dalam
panggung diskursus pemikiran skala nasional dan global.
Kalau memang tidak tidak sependapat dengan pemikiran tokoh
tersebut, alangkah bijak kalau perguruan tinggi melawannya dengan dialektika.
Mengujinya dengan polemik-polemik ilmiah sehingga institusi perguruan tinggi
diperhitungkan tradisi keilmiahannya, diperhitungkan pendapat ilmuwannya.
Bukan memelihara budaya represif seperti yang dilakukan Orde
Baru terhadap kelompok yang dicap sebagai ekstremis kiri dan ekstremis kanan.
Namun saya berpikiran positif kalau penolakan bukan
dilakukan secara kelembagaan, tetapi oleh segelintir kelompok yang anti
terhadap diskursus. Dari pengalaman saya di dunia aktivisme, kelompok tersebut
biasanya melihat persoalan dengan logika kacamata kuda.
Memandang permasalahan secara subyektif, dengan perspektif
ideologinya semata sehingga mengabaikan kebenaran-kebenaran lain di sekitarnya.
Bahkan lupa kalau kebenaran manusia itu tidak ada yang absolut.
Mimbar akademik
Dalam UU pendidikan tinggi dijelaskan, kebebasan akademik
adalah kebebasan sivitas akademika dalam pendidikan tinggi untuk mendalami dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab melalui
pelaksanaan tridharma. Kebebasan mimbar akademik tersebut merupakan kebebasan
ilmiah yang dikembangkan dalam pendidikan tinggi dan terbebas dari pengaruh
politik praktis.
Dalam praktiknya, kebebasan tersebut juga menyangkut upaya
membangun iklim demokrasi di perguruan tinggi, dengan memberikan kebebasan
kepada dosen dan mahasiswa untuk mengembangkan tradisi ilmiahnya sehingga tidak
ada lagi pemasungan terhadap kebebasan berpikir, berpendapat, dan
berorganisasi.
Dengan demikian, mimbar akademik diharapkan dapat melawan
tradisi fasis dan pengebirian gagasan. Di mimbar itulah perguruan tinggi
berproses menciptakan ilmuwan yang cendekiawan, yang tidak hanya berasyik
masyuk dengan dunianya sendiri, tetapi juga harus mampu memberikan sumbangan
pemikiran kepada masyarakat untuk kemajuan dan perbaikan peradaban manusia,
melalui tridharma yang dijalankannya.
Mengutip naskah orasi ilmiah mantan menteri pendidikan Prof.
Dr. Fuad Hassan (Alm.) pada Dies Natalis UI ke-56, dengan berlakunya kebebasan
akademik dan kebebasan mimbar akademik serta diakuinya otonomi keilmuan,
lengkaplah landasan untuk menjadikan tiap lembaga pada jenjang pendidikan
tinggi sebagai wahana pembelajaran dengan ciri khasnya.
Kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik sekaligus
membuka kesempatan bagi warga sivitas akademika untuk saling menguji pikiran
dan pendapat.
Fuad Hasan juga menegaskan bahwa keterbukaan ini penting
dijadikan sebagai semangat dalam segala diskursus antara sesama warga
masyarakat akademik, karena betapa hebatnya pun seseorang dalam penguasaan
disiplin ilmunya, tak ada alasan baginya untuk beranggapan bahwa pikiran dan
pendapatnyalah satu-satunya yang benar. Keterbukaan dalam diskursus menjauhkan
seorang dari arogansi akademik dan menghidupkan saling-toleransi dalam berbeda
pendapat.
Kalau pengebirian terhadap kebebasan akademik terus
dipelihara, perguruan tinggi hanya akan menghasilkan ilmuwan semata.
Membenarkan pernyataan Prof. Mahfud MD di salah satu media, kalau Indonesia
memiliki banyak ilmuwan, tetapi miskin cendekiwan.
Karena Ilmuwan hanyalah orang yang banyak ilmu. Sedangkan
cendekiawan orang yang mempunyai ilmu dan bertanggung jawab atas ilmunya untuk
kemajuan bangsa dan negara. Untuk itu, pemangku kebebasan mimbar akademik harus
berani melawan kelompok-kelompok penekan yang menggangu kewibawaan perguruan
tinggi.
Kenapa takut pada
tokoh kontroversial?
Kembali kepada konteks permasalahan, ada pertanyaan yang
terus berkecamuk di pikiran saya: kenapa harus takut kepada tokoh
kontroversial? Ketakutan terhadap pemikiran kontroversial justru akan
menyuburkan pemikiran itu di kalangan intelektual muda. Sebab “menghantukan”
hal itu justru akan membangun pengikut-pengikut baru.
Seperti Orde Baru “menghantukan” gerakan-gerakan bawah tanah
masa itu. Kenapa gerakan mahasiswa Islam dan gerakan mahasiswa yang disebut
kiri berkembang pesat pasca-Rreformasi?
Karena mereka sudah membangun pengikut dan menyatukan
pikiran melawan kekangan dan arogansi kekuasan. Sebab mahasiswa adalah kaum
muda yang memiliki pola pikir liar sehingga tertantang mempelajari hal-hal yang
“dilarang” oleh hegemoni tertentu.
Ketakutan akan ajaran tertentu akan merasuk dan merusak
kampus seperti teori jarum hipodermik, di zaman digital ini sangat tidak logis.
Di ruang siber siapapun dapat mempelajari sesuatu semudah mengoperasikan
komputer dan gadget.
Ilmu dan pengetahuan saat ini menjadi konsumsi global, tidak
terperangkap ruang dan waktu. Mudah diakses dan dipelajari tanpa perlu masuk ke
lembaga-lembaga formal. Karena pemikiran-pemikiran tersebut menyebar di
berbagai media virtual.
Karena itu, saya berpendapat intelektual muda kampus harus
berpikir jernih dan ilmiah menghadapi berbagai polemik pemikiran. Apalagi
sangat kontradiktif, kalau organisasi-organisasi kampus yang notabene gemar
berdemonstrasi, menuntut demokrasi dan kebebasan berpartisipasi, justru menjadi
pembungkam demokrasi di rumahnya sendiri.
Kalau orang-orang di perguruan tinggi terus menolak
diskursus pemikiran, alergi terhadap dialektika, niscaya akan terjebak di
labirin sempit. Seperti katak dalam tempurung intelektualitas semu.
Tulisan ini sebelumnya dimuat di selasar.com: https://www.selasar.com/jurnal/34861/Ihwal-Kebebasan-Mimbar-Akademik
No comments
Post a Comment