Biografi Perjalanan
1.
Masa kanakku mengelupas dari pematang yang tumbuh di kamar-kamar petani
tikus dan wereng menyusu pada batang-batang padi yang mati sebelum musim
semi
sementara itu, rumah-rumah bambu senantiasa mencumbui paceklik
sambil menunggu kepundan melelehkan masa depan
ah, dusun kecil itu, warna matahari serupa elegi
dan orang-orang membentangkan peta sehabis kenduri airmata
"pulau sumatera! pulau sumatera!"
teriak mereka sambil melemparkan caping ke udara
2.
Belantara lengang dihiasi ratusan siamang
sebuah perkampungan dari semak-semak berbau apak
sunyi selalu menghantui mimpi para pendatang
"bertahanlah nak! kita takkan mati dililit onak"
teriak ayah, sebelum membuka ladang dengan jemarinya yang serupa parang
emak menari sambil menebarkan benih-benih padi
kemudian aku terlelap di dahan dalam buaian bahasa hutan
3.
Kulukis masa kecilku di rawa-rawa dengan warna dari daun dan kulit kayu
sementara orang-orang menabuh gamelan mengiringi lagu-lagu melayu
sebuah peradaban baru tumbuh di atas kanvas yang membentang
sepanjang jalan lintas sumatera
dan anak-anak mulai lahir dari celah-celah pokok kayu lalu menyusu pada
rembulan
cuaca menjadi begitu bermakna, bukan sekadar pelengkap perjamuan
4.
Belasan tahun kemudian ilalang mengelupas dari lahan-lahan tidur
lalu menjelma batang sawit dan getah karet yang terlipat di balik kasur
kusimpan sinar matahari di antara lembaran sajak musim semi
sambil mengeja peta pulau jawa yang telah lama menyendiri dalam laci
sebuah jembatan, menghubungkan orang-orang yang akan meniti masa depan
"bangunlah nak! kita telah sampai di tanah harapan"
kata ayah mengemasi waktu subuh setelah semalaman menjerang peluh
2004
Pencari Kayu
Kau pun terbangun dari pagi bisu
jalan setapak telah menunggu
sebilah kapak dan sebiji matahari menemani
setiap kilometer sambil menambang peluh
tak ada cerita,
sampai anak-anak terlelap dalam buaian
bahasa ibu, bahasa hutan
Semak belukar mulai tumbuh
dari mata yang nanar
pun lebah madu dan seikat kayu masih setia
memberikan setangkup cahaya
bukan sekedar liur dan arang
Detak jam terus bergerak
sejarah mulai menua, seperti puisi
di rawa-rawa dan ujung belati
setajam asap, sepedas api
yang mengekalkan nyali
Di musim kabut mata mulai keriput
dan gurat wajah mengisyaratkan maut
akar-akar mengekarkan dendam
yang menancap di pancang gubuk-gubuk
sebelum membangunkan mimpi buruk
2005
Di Tepi Indragiri Kukayuh
Sunyi
1. Malam bulan
Sekejap aku menyeduh secangkir hening
di setiap tikungan dan jembatan-jembatan besi
sebelum akhirnya sampai ke kota
lalu menelan rembulan yang menyala
“Aku terhempas dari keramaian
ketika kabar duka meremas jantung
dan membakar murung”
Nun di seberang, perempuanku mabuk rindu
dan merepet seperti terompet
lalu mendera telinga yang mengaga
ketika kutanggalkan peta suatu siang
sambil memetik kerikil perjalanan panjang
Duhai, mimpiku memeluk bulan
dan kenduri belum juga usai
ketika kumaknai aroma sepi
2. Angin dermaga
Matahari luruh di dermaga yang melepuh
kapal-kapal kayu merajut gelombang
dan menambatkan sauh di dasar sungai
yang mengalir ke hilir
Jemariku letih memetik senja
dalam desir semilir langit
yang mengawini laut
“Telah kukayuh setiap mendung
yang berarak menuju hulu
sunyi dan beku”
3. Gerimis pagi
Kujerang gerimis yang runtuh
setelah adzan mencumbui subuh
di pagi yang keruh
Konon, di dalam peta terpampang
jalan pulang yang lengang
berkelok dan berlobang
Tiba di rumah, pintu masih basah
dan dinding kamar gelisah
menunggu kata-kata pulang ke sarang
2005
Senandika
Aku menabur sajak cinta di rahimmu yang subur
jagalah dari hama dan nafsu purba
yang mengintai di setiap pematang tubuhmu
dan aliran darah yang menggelora
kelak akan kupetik setelah jemarimu menguning
dalam lingkaran abadi matahati
Siramilah dedaunan yang mulai tumbuh
setiap kering sebelum bunga-bunganya layu
dihempas badai waktu
sebab telah kau curi tulang rusukku
lalu kau tancapkan di jantungmu
dan aku, hanya diam sambil mengemasi
dadaku yang membiru
Lihatlah, telah kusemai setiap sajak
meski bahagia dan luka saling menikam
dan burung-burung melengking nyaring
hingga makna jarak begitu berserak
di kebun yang kutanami dan kaumaknai
sampai musim panen tahun depan
2005
Debu Bulan Mei
Kuasah jantung yang kilau dipahat risau
mesiu dan lemparan batu-batu
melekat di jantung kota, membara
oleh sumpah serapah yang menjadi sejarah
tentang sayatan lidah dan darah
Sia-sia kulukis batu nisan di tubuhku
sebab api tetap saja menyala
beraroma kelopak bunga yang merana
dan moncong senapan terikat di kepala
duh, luka itu belum sembuh
Mei berdebu
di atas kalender yang terbakar
dan angka-angka luruh dari dinding memar
bergambar garuda terbang letih
di langit merah di langit putih
karena nyeri belum pulih
2005
Lukisan Hutan di Atas Perapian
Malam ini aku menemukan reruntuhan airmata
dan sepenggal dongeng tentang masa kanakku
di tengah belantara
Sebuah lukisan di perkampungan petani
berhias hutan dan aliran sungai
semak belukar yang nanar
menggores keringat beraroma sungkai
gigil pagiku bersama embun
yang menetes dari daun-daun rimbun
tanah basah, cericit pipit dan warna sinar matahari
membasuh waktu subuh
ketika kulepas pelukan rembulan sambil menjerang air
hujan
“Selamat pagi nak! bebaskan jantungmu dari lilitan onak”
teriak abah sambil membelah jalan setapak
emak menari-nari mengemasi batang-batang padi
Malam ini aku menemukan sunyi
dan lukisan hutan di atas kanvas yang selalu muram
Tubuhku dihiasi batang-batang ilalang
dan aliran sungai beraroma bangkai
suara gergaji seperti raungan harimau besi
yang siap mencabik-cabik kehidupan
bersama anjing hutan yang menyalak
di antara semak-semak berbau apak
dan lebah yang tumbuh di sepanjang batang sialang
menyusu pada kapak
saat kabut membungkus musim kemarau
yang selalu membuat galau
Malam ini aku mendendangkan gurindam kehancuran
ketika lukisan hutan menjerit di atas perapian
Ratusan binatang lintang pukang
dan jalanan kota menjadi lengang
kegelisahan tak lebih bermakna dari sunyi
yang menghiasi bahasa puisi
kata-kata mengelupas dari keriuhan zaman
yang semakin suram
daun-daun kering, tanah retak
dan pohon tumbang
berguguran dari kanvas terbakar
lalu hanyut bersama aliran mata air
yang menyerupai airmata
2004
Sketsa Negeri dalam
Secangkir Kopi
: riau yang galau
Malam membawaku ke pucuk kelam tanpa rembulan
lalu mengirimiku sebaris gurindam: beraroma elegi
Selalu saja kantukku berkabut
setiap cuaca meriwayatkan mendung
di ujung tahun yang murung
dan kata-kata tercemar lentik api
yang singgah di halaman-halaman
lalu tumbuh sebagai cendawan
dalam secangkir kopi
di negeri tanpa lazuardi––tanpa puisi
(Konon dalam sebuah hikayat:
anak-anak menyusu pada petuah melayu
ketika doa-doa masih mengalirkan airmata)
Tapi kini perjalanan menjadi rakaat-rakaat panjang
yang melelahkan
ketika kegelisahan tak lebih bermakna
dari pada pantun kanak-kanak
beriring adzan dengan irama yang mengambang
masihkah batu-batu selalu tumbuh di setiap gerak tubuh kita?
saat menterjemahkan amuk
dengan tarian-tarian memabukkan
Kemudian, dalam secangkir kopi kutemukan sebuah kota
dan kampung yang merambat pelan-pelan
sementara ladang minyak tumbuh subur dalam dengkur panjang
yang mengental seperti jantung yang ditumbuhi pipa-pipa
dan bangkai rimba yang membuat merah mata tetangga
(secangkir kopi tersebut diseduh bersama darah dan airmata
yang mengalir gemulai pada sebuah musim tak bernama)
selalu saja kopi yang kuseduh menciptakan sketsa-sketsa
dari negeri-negeri tanpa warna
2004
Kamar Penyair #1
Di lambungku tumbuh kata-kata, mesin ketik tua
sederet cerita seperti gerbong kereta, melaju seperti desing peluru
dan lembaran-lembaran buku bercumbu dengan mata yang sayu
secangkir kopi sebatang rokok menemani kokok ayam dari televisi tetangga
yang setiap pagi menyajikan berita mirip telenovela
sebab, keindahan bahasa telah menguap dari rahimnya
Lalu, menulis lebih baik daripada menangis
atau menyumpahi sejarah dengan darah
karena tanah ini masih terlalu subur untuk dikubur
dalam sebuah sajak atau dilukis seperti sketsa
tanpa warna tanpa cinta
dan nyala lilin mengisyaratkan semesta
lengkap dengan bara dengan air mata
Di sini hanya ada segelas aqua, keripik ubi
sebab lidah masih gagap dengan coca cola, spagetti
apalagi volvo yang bikin bising suara radio
hei, selarik puisi telah selesai
namun di luar tetap saja sunyi
2004
Kamar Penyair #2
Good morning,
pagi masih kering
pekerja kebun menyapa gulma yang tumbuh di ketiaknya
di depan jendela, embun membasuh kata-kata
yang menyelinap di dalam mimpiku semalam
seperti grafiti di dinding kayu
yang mulai lapuk dan berlumut
ah, itu laron atau semut, atau orang-orang yang bersujud?
Ilalang tak pernah menanggalkan kenangan
di ladang-ladang dan pekarangan
saat diksi hinggap di setiap lembaran kertas bergaris
di musim gerimis atau musim tangis
dan nyamuk berebut menyanyikan puisi
malam tadi
Sisa teh celup tetap hening
dalam cangkir yang tiba-tiba seperti bersayap
kamar tetap senyap, alfabet bercengkerama
bersetubuh dan mungkin mengadu domba
setiap bahasa yang lahir menjadi cinta
air mata atau luka
2004
No comments
Post a Comment